Fondasionalisme

Fondasionalisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa terdapat keyakinan yang mendasar dan menjadi landasan utama bagi semua pengetahuan yang dibangun di atasnya.[1] Hal ini berhubungan dengan epistemologi. Fondasionalisme ini menjadi salah satu ciri utama filsafat modern sejak Descartes.[1][2] Tugas pokok filsafat modern adalah mencari fondasi segala pengetahuan (fondasionalisme).[2] Fondasionalisme menggunakan epistemologi yang merupakan gabungan dari rasionalisem, empirisme dan kritisisme.[3]

Rene Descartes, pelopor modernisme

Tugas para filsuf, menurut paham ini, adalah mengesahkan pernyataan ilmiah dari disiplin-disiplin ilmu yang ada dengan cara menemukan fondasi atau dasar utamanya.[1] Hal tersebut berkaitan dengan asumsi modernitas bahwa ilmu pengetahuan semestinya bergerak dalam garis lurus hingga mencapai satu titik aksiomatis, di mana pengetahuan tidak membutuhkan pembenaran apapun lagi.[1] Rasio dipandang sebagai satu-satunya alat yang mampu mengerjakan hal tersebut.[1] Di sinilah, tampak warisan dari Rene Descartes yang memusatkan filsafat pada rasio manusia dengan slogan 'aku berpikir maka aku ada' (cogito ergo sum).[1] Dengan demikian, menurut paham fondasionalisme, kebenaran adalah persesuaian antara sesuatu dengan fondasinya dan sekaligus persesuaian antara akal dan kenyataan yang teramati.[1]

Doktrin

Secara historis fundasionalisme dikaitkan dengan dua doktrin:[4]

  1. Beberapa proposisi (dan/atau keyakinan, kalimat, dll) bersifat dasar dalam pengertian bahwa mereka benar-benar pasti dan jelas dengan sendirinya. Mereka pasti karena mereka tanpa bisa disangkal lagi adalah benar. Mereka jelas dengan sendirinya karena mereka tidak membutuhkan bukti. Kebenarannya sudah jelas: orang hanya perlu membayangkan proposisi dasar seperti itu dan kebenaran mereka akan menjadi terang. (Contoh paling terkenal dari proposisi yang jelas dengan sendirinya adalah 'saya sedang berpikir'. Hanya dengan berpikir tentang proposisi ini, betapapun singkatnya, orang menjadikannya benar. Juga selama ini diklaim bahwa proposisi yang menggambarkan sensasi fisik seseorang sendiri adalah benar apabila hal itu diyakini secara sungguh-sungguh. Misalnya,"Saya merasakan sakit di lutut saya")
  2. Proposisi lainnya tidak bersifat dasar. Mereka memerlukan pembenaran. Secara khusus, mereka harus disimpulkan dari proposisi dasar.

Konsep

Justifikasi kebenaran

Justifikasi kebenaran dalam fondasionalisme dikhususkan kepada pembenaran dan pengetahuan yang tidak melalui kesimpulan. Fondasionalisme melakukan proses justifikasi kebenaran dengan membandingkan antara pembenaran melalui kesimpulan dengan pembenaran yang tidak melalui kesimpulan. Proses membandingkan dapat dilakukan secara keseluruhan maupun sebagian. Kegiatan ini dilandasi oleh adanya keyakinan lain yang dibenarkan atau adanya pengetahuan lain.[5]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g Joas Adiprasetya. 2002. Mencari Dasar Bersama. Jakarta: UPI STT Jakarta & BPK Gunung Mulia. 16-17.
  2. ^ a b Bambang Sugiharto. 1996. Postmodernisme:Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta:Kanisius. 33.
  3. ^ Zulfis (2019). el-Badri, Muhammad Yusuf, ed. Sains dan Agama: Dialog Epistemologi Nidhal Guessoum dan Ken Wilber (PDF). Sakata Cendikia. hlm. 13. ISBN 978-602-5809-11-8. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2020-07-10. Diakses tanggal 2021-12-28. 
  4. ^ Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran, Bandung: Nusa Media, 314.
  5. ^ Santosa, Nyong Eka Teguh Iman (2019). Buku Ajar Filsafat Ilmu. Sidoarjo: UMSIDAPress. hlm. 40. ISBN 978-623-7578-21-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-28. Diakses tanggal 2021-12-28. 
Kembali kehalaman sebelumnya