Fokas
Fokas (bahasa Latin: Flavius Phocas Augustus; bahasa Yunani: Φωκάς, Phokas) adalah Kaisar Romawi Timur (Bizantium) yang berkuasa dari tahun 602 hingga 610. Tidak banyak catatan sejarah terkait kehidupan masa mudanya, dan baru dikenal ketika muncul sebagai pemimpin pemberontakan di Kekaisaran Bizantium. Phocas merebut ibu kota Konstantinopel pada 23 November 602 dengan menggulingkan Kaisar Maurice. Fokas merupakan kaisar yang tidak populer karena dianggap sebagai perampas kekuasaan dan melakukan politik tangan besi, karenanya ia sering kali menjadi target konspirasi senat. Karena dianggap tidak mampu memimpin Kekaisaran Bizantium dan atas dukungan senat dan para pembesar di Konstantinopel, exarchate (gubernur) Afrika, Heraklius Senior, melakukan pemberontakan pada tahun 608. Putranya yang tertua, Heraklius, akhirnya berhasil merebut Konstantinopel pada 5 Oktober 610 dan menjatuhkan Fokas. BiografiFokas diperkirakan lahir sekitar tahun 547 masehi, hal itu berdasarkan catatan sejarah yang menyebutkan ia menjadi kaisar saat berusia 55 tahun.[1] Ia diduga berasar dari wilayah Trako-Romawi[2] atau Kapadokia.[3] Hingga menjadi kaisar, kehidupan Fokas sebelumnya tidak banyak diketiahui; ia hanya tercatat sebagai salah satu perwira rendah di mana Kaisar Maurikius. Awal PemberontakanPada tahun 602 sebagian besar prajurit Bizantium memberontak terhadap pemerintahan Maurikius karena para prajurit merasa tidak diperlakukan adil dengan perintah melancarkan peperangan di utara Danube pada musim salju sementara gaji mereka dipotong. Para prajurit Bizantium mengangkat Fokas sebagai kaisar dengan sumpah di atas perisai, lalu pada 23 November 602 dikukuhkan oleh patriark Cyriacus di gereja John sang Pembatis di Hebdomon. Dua hari kemudian, pada 25 November 602, Fokas memasuki Konstantinopel.[4] Kudeta yang dilancarkan oleh Fokas terbukti fatal karena raja Khosrau II dari Sassaniyah menggunakannya sebagai dalih untuk melancarkan perang melawan Bizantium. Sebelumnya, pada tahun 591 kerajaan dari Persia ini telah melakukan kesepakatan damai dengan Bizantium. Pasca Fokas melakukan kudeta atas Maurikius, pada 603 Persia kembali melakukan invasi ke wilayah-wilayah Bizantium. Administrasi dan PolitikFokas umumnya digamarkan sebagai tiran dan perampas kekuasaan yang sah. Hal itu dapat dipahami karena sebagian besar catatan tentang Fokas ditulis pada era Kaisar Heraklius yang menaklukannya, sehingga dapat dipandang tidak netral.[5] Salah satu warisan yang bertahan dari era Fokas adalah pemakaian janggut di kalangan para pembesar Bizantium.[6] Sebelumnya, Konstantinus Agung melakukan perubahan budaya di Romawi Timur sejak Konstantinopel didirikan pada 330, dengan menetapkan mode imperial yang ditandai wajah klimis tanpa janggut; tetapi Fokas mengembalikan pemakaian janggut di masa pemerintahannya. Dengan latar belakang yang kurang dikenal dan ketidakpercayaan sebagian besar bangsawan di Konstantinopel, Kaisar Fokas terpaksa menempatkan keluarga dan kerabatnya dalam posisi-posisi penting. Tidak berhenti sampai di situ, Fokas menyingkirkan para pembesar lain yang tidak sejalan dengannya.[7] Fokas mengangkat saudaranya Domentziolus sebagai pemangku magister officiorum (pejabat administrasi tertinggi di Romawi) pada 603; mengangkat keponakannya sebagai magister militium per Orientem (jendral militer wilayah Timur) pada 604, sebelum digantikan saudaranya Comentiolus pada 610; dan juga mengankat menantunya, Priskus, sebagai kepala comes excubirorum (pasukan pengawal kerajaan) pada 603. Di tengah konflik dan konspirasi internal yang tak henti-henti, Romawi Timur dihadapkan pada peperangan panjang dengan Persia di perbatasan timur, serta serangan Avar dan Slavia di wilayah Balkan. Satu per satu wilayah Bizantium jatuh ke tangan Kerajaan Sassaniyah di bawah Shah Khosrau II; dan tercatat hingga tahun 607, Persia sudah berhasil merebut seluruh wilayah Mesopotamia, Damaskus, dan sebagian besaw wilayah Asia Minor (sekarang Turki) hingga ke Selat Bosphorus. Sementara itu Avar dan Slavia berhasil merebut seluruh wilayah Balkan. Di belahan lain, Romawi Barat juga sedang menghadapi serbuan kaum Gotik dari Lombard, dan Fokas tidak dapat mengirimkan bantuan sama sekali sehingga namanya semakin pudar di kalangan elit Romawi, tetapi tidak demikian dengan keuskupan. Hubungan dengan GerejaHubungan antara Fokas dengan kalangan gereja awalnya berlangsung mulus. Saat Fokas berhasil merebut tahta dari tangan Maurikius, Uskup Agung Roma, Gregorius Agung, sempat memujinya dan menjulukinya sebagai "pemulih kebebasan". Pada Mei 603, ketika lukisan Fokas dan istrinya tiba di Roma, Paus Gregorius tidak sungkan untuk menempatkannya di mihrab Santo Caesarius di istana keuskupan Palatinus.[7] Gregorius Agung meninggal pada 12 Maret 604. Pada masa itu pengangkatan Uskup Roma harus mendapat persetujuan Kaisar Romawi. Setelah Gregorius Agung, Sabianus naik sebagai Uskup Roma namun hanya sempat memimpin kurang dari 2 tahun sebelum meninggal pada 22 Februari 606. Kekuasaan keuskupan di Roma sempat kosong beberapa lama hingga Uskup Bonifasius diangkat sebagai Uskup Roma pada 19 Februari 607. Di saat pengangkatan Bonifasius inilah Fokas mengeluarkan dekrit kekaisaran paling berpengaruh di masa kekuasaannya, yakni menyatakan Keuskupan Roma sebagai "Kepala semua Gereja" dan "Uskup Universal" [7] Dengan dekrit ini Fokas mengalihkan gelar "Uskup Universal" dari Keuskupan Konstantinopel ke Keuskupan Roma, dan secara efektif mengakhiri upaya Patriark Cyriacus dari Konstantinopel untuk menetapkan dirinya sebagai "Uskup Universal". Berdasarkan dekrit ini, Bonifasius kemudian membuat pernyataan: "Tahta dari Rasul Petrus yang diberkati harus menjadi kepala dari semua Gereja."[8] Referensi
Bacaan lanjut
|