Filsafat barat era skolastik
Problema Filsafat Abad PertengahanFilsafat Abad Pertengahan di Barat dikenal dengan sebutan Skolastik. Sebutan ini muncul dari kenyataan bahwa ilmu pengetahuan di Abad Pertengahan sudah diusahakan dalam bentuk sekolah-sekolah dan bahwa ilmu itu terletak pada tuntutan pengajaran di sekolah - sekolah itu. (Nurasiah, 2010:80) Filsafat abad pertengahan adalah suatu pemikiran yang pada zaman ini di tandai dengan munculnya para filosofi yang membahas tentang pemikiran agama. Wilayah ini meliputi kekuasan di Romawi baik di timur maupun barat, yang hampir seluruhnya dikuasai oleh agama Kristen (Katolik). Filsafat abad pertengahan disebut sebagai “abad gelap”. Karena manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para filsuf juga tidak memiliki kebebasan berpikir. Pihak gereja/doktirn-doktrin gereja membatasi para pendapat filosof dalam berfikir, sehingga ilmu pengetahuan di Eropa terhambat dan tidak bisa berkembang, dan akhirnya banyak terjadi kelaparan, perang, dan pandemi yang berlangsung selama kurang lebih dari abad ke-5 hingga abad ke-15. Selain itu masa ini diawali dengan lahirnya Filsafat Eropa atau Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen atau didominasi agama Kristen yang menonjol sehingga corak pemikiran kefilsafatannya pun bersifat teosentris atau mengakar pada keyakinan Tuhan. Untuk mengetahui corak pemikiran filsafat abad pertengahan, perlu dipahami karakteristik. Karakteristik filsafat abad pertengahan ini diantaranya adalah : a. Cara berfilsafatnya dipimpin oleh pimpinaan Gereja b. Berfilsafatnya menurut ajaran Aristoteles c. Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus. Tujuan pemikiran filsafat ini ke arah hidup yang baik tetapi malah bersifat mengekang kehidupan sendiri dikarenakan patuh kepada para pimpinan Gereja Filsafat Abad Pertengahan Terbagi menjadi 2 Masa yaitu: 1) Masa Patristik Patristik berasal dari kata “patres” berarti bapa – bapa dalam lingkungan Gereja. Yaitu para pendeta atau pimpinan Gereja dan tokoh-tokoh Gereja yang berperan sebagai peletak dasar intelektual kekristenan (Muliadi, 2020:191-192) Para pemikir Kristen pada zaman Patristik mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap filsafat Yunani. Ada yang menolak sama sekali filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran manusia semata, sehingga setelah ada wahyu Tuhan dianggap tidak diperlukan lagi dan berbahaya bagi “keimanan” umat Kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima filsafat Yunani, karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai persiapan bagi Injil. Kedua macam sikap ini yang mewarnai di zaman pertengahan itu 2) Masa Skolastik Kristen Masa skolastik terbagi menjadi tiga periode, yaitu: a) Masa Skolastik Awal ( abad 9-12 M) Skolastik berasal dari kata school atau schuler yang berarti ajaran atau sekolahan. Jadi, skolastik berarti aliran atau kaitan dengan sekolah. Setelah sebelumnya terjadi serangan terhadap Romawi, masa ini kembali bangkit dengan ditandai berdirinya sekolah ajaran duniawi, seperti sekolah tata bahasa, retorika, ilmu hitung, ilmu musik dan lainnya Dalam persoalan pemikiran pada masa ini yang menonjol adalah hubungan antara akal dengan wahyu, rasio dengan agama, dan antara pikir dan dzikir, namun akhirnya agama lebih mendominasi dibandingkan akal, akal dan agama sama sama memndominasi, dan akal lebih mendominasi dari pada agama (rasio dengan wahyu). b) Masa Keemasan atau Puncak ( 1200 – 1300 M) Masa ini disebut dengan “Masa Berbunga” karena ditandai dengan beberapa universitas dan ordo - ordo yang menyelenggarakan Ilmu Pendidikan muncul secara bersamaan. Secara umum ada faktor yang mempengaruhi atau menjadikana masa Skolastik mencapai keemasan yaitu: a. Adanya pengaruh pemikiran Aristoteles, Ibn Rusyid, Ibnu Sina. Sejak abad 12 dan 13 yang tumbuh menjadi ilmu pengetahuan yang luas. b. Didirikannya Universitas Almamater di Prancis c. Berdirinya ordo – ordo c) Skolastik Akhir (1300 – 1450 M) Pada masa ini ditandai dengan mulainya sifat malas berfikir para filosofi yang menyebabkan pemikiran filsafat Kristen berhenti dikarenakan keterbatasan akal dan panca indra.Tokoh yang terkenal adalah Nicholous Cusanus yang menurutnya ada 3 cara untuk mengenal yaitu lewat indra, akan dan intuisi. (Ahmad, 2014: 48 – 54) Periode Pertama Neo-platonismeNeo-platonisme berasal dari kata “neo” artinya baru, “plato” nama seorang filsof dan “isme” berarti faham. Jadi jika dirangkai Neoplatonisme adalah ide-ide baru yang muncul dari ide-ide filsafat yang telah dimunculkan oleh Plato. Faham ini bertujuan untuk menghidupkan kembali filsafat yang telah dikemukakan oleh Plato Neoplatonisme lahir di Lycopolis, Mesir, pada tahun 204 M. Pada tahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat, pada seorang guru yang bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Ada yang mengatakan ia mulai tertarik filsafat pada usia 28 tahun dan meninggal di Minturnae, Campania, Italia, pada tahun 270 M. Plotinus berguru pada Saccas selama 11 tahun. Ia mempelajari falsafah Yunani sejak berusia 27 tahun. Menurut Plato (427-347 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakekat. Neoplatonisme adalah istilah yang digunakan untuk menentukan untaian filsafat Platonik yang dimulai dengan Plotinus pada abad ke 3 M dengan latar belakang filsafat Helenistik dan agama Dapat disimpulkan juga bahwa aliran neoplatonisme merupakan sintesa dari semua aliran filsafat sampai saat itu, dimana Plato diberi tempat istimewa. Faham ini dicetuskan pertama kali oleh Plotinus dari Mesir. Faham neoplatonisme memiliki ciri-ciri umum, diantaranya : a. Aliran ini menggabungkan filsafat Platonis dengan tren-tren utama lain dari pemikiran kuno, kecuali epikuarisme. Bahkan sistem ini mencakup unsur-unsur relegius dan mistik. b. Menggunakan filsafat Plato dan menafsirkannya dengan cara khusus. Cara interpretasi itu cenderung mengaitkan Allah dengan prinsip kesatuan seperti yang tampak dalam proses emanasi (Ahmad Tafsir, 2004 : 67) Muridnya mengumpulkan tulisannya berjumlah 54 karangan. Karangan itu menjadi 6 set. Tiap set isinya 9 karangan, masing – masing set ini disebut Enead yang semuanya ada 6 Enead yaitu: 1) Masalah etika mengenai masalah kebajikan kebahagiaan dan masalah pencabutan dari kehidupan 2) Membicarakan fisik alam semesta berisi kritik pedas terhada oop Gnostisisme 3) Membahas implikasi filsafat tentang dunia seperti masalah iman 4) Membicarakan sifat dan fungsi jiwa 5) Pembahasan roh ke Tuhanan. 6) Pembahasan tentang berbagai topik seperti kebebasan kemauan (Haris Dermawan, 2010: 55) Ringkasan pendapat Plotinus adalah sebagai berikut: 1) Sistem metafisika plotinus ditandai oleh konsep transenden 2) Didalam pikiran terdapat tiga realitas yaitu: the one, the mind, the soul The one : tuhan dalam pandangan philo yaitu suatu realitas yang tidak mungkin diphami melalui metode sains dan logika, the mind : gambaran tantang Esa yang didalamnya mengandung idea plato dan melalui perenungan, the soul : bentuk alam semesta dan semua fenomena yang ada di alam ini. 3) Plotinus menganggap sains lebih rendah dari metafisika, metafisika lebih rendah dari keimanan 4) Jiwa manusia bebas karena bagian dari jiwa ilahi. Manusia diberi kebebasan untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya 5) Untuk memperoleh kemampuan memilih kita digerakkan oleh cinta 6) Keindahan menyatakan diri dalam penglihatan, pendengaran. Pikiran merupakan keindahan tinggi. Lebih tinggi lagi keindahan argumen (ibid, 57) Jadi secara umum ajaran Plotinus disebut Neo-Platonisme. Jadi ajarannya itu tentu ada keterkaitan dengan filsafat plato. Dalam berbagai hal Plotinus memang bersandar pada doktrin-doktrin Plato. Sama dengan Plato, ia menganut ralitas idea. Akan tetapi ada sebuah perbedaan antara ide yang di tuangkan oleh Plato dengan Plotinus. Perbedaannya ialah, pada Plato idea itu bersifat umum ; artinya setiap jenis objek hanya ada satu ideanya, akan tetapi Plotinus mengatakan bahwa idea itu bersifat partikular, sama dengan dunia yang partikular. Pebedaan mereka yang pokok ialah pada titik tekan ajaran mereka masing-masing. Plotinus kurang memperhatikan masalah-masalah sosial seperti halnya Plato (Ahmad Tafsir, 2004:. 68) Periode Kedua AristotelianismeAristotelianisme merupakan pandangan filsafat yang berasal dari Aristoteles (384-322 SM), yang dibandingkan dengan aliran Plato yang sebelumnya lebih bersifat realis. Pada mulanya gereja tidak mengindahkannya atau melawannya, namun kemudian etika, logika dan teori kausalitas serta pandangan Aristoteles mengenai jiwa manusia sebagai forma tubuh (tidak sama dengan Platonisme yang memandang tubuh sebagai penjara jiwa), besar pengaruhnya selama abad pertengahan, melalui dukungan para ahli filsafat Arab (Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina), Moses Maimonides (1135-1204) dan Thomas Aquinas (1255-1274). Thomas Aquinas mengembangkan bukti-bukti adanya Allah atas dasar pemikiran Aristoteles, tetapi juga merintis pandangan bahwa jiwa itu kodratnya tidak dapat mati, hal yang tampaknya ditolak dalam Aristotelianisme. Arti dasar dari Aristotelianisme adalah aliran yang mengikuti ajaran Aristoteles. Meski demikian filsafat para pengikut Aristoteles tidak seluruhnya seragam. Untuk menunjuk para pengikut Aristoteles biasanya digunakan istilah netral “Aristotelian” dan bukan “paripatetik”. Alasannya, istilah yang belakangan bisa saja menimbulkan kesan keliru bahwa metode pengajaran Aristoteles adalah percakapan sambil jalan-jalan Aristoteles adalah Seorang filsuf yunani, Murid dari plato dan guru dari alexander agung. Ia mendirikan sebuah sekolah, Lyceum, yang hidup selama 139 tahun (339 SM – 200 SM). Sekolah itu semula berfungsi sebagai pusat penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah tetap merupakan tema utama selama berdirinya, walau kadang-kadang perhatian pada ilmu dikalahkan oleh perhatian pada polemik dengan aliran-aliran filsafat yang lain dan monograf-monograf tentang sejarah filsafat. Sekolah ini mundur sejak pertengahan abad ke-3 SM. Aristoteles mendasarkan kebenaran pengetahuan manusia bukan pada dunia gagasan yang transeden terpilah dan terpisah dari hal-hal pengalaman sehari-hari seperti dalam Platonisme, melainkan pada forma (ide) yang termuat dalam benda-benda dan yang berhubungan dengan konsep-konsep manusia yang objektif dan nyata. Pengalaman inderawi dan abstraksi intelektual bekerja sama dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan manusia Referensi
|