Fez
Fes (atau Fez, atau Fas, bahasa Arab: فـاس [Fās], bahasa Prancis: Fès) adalah kota terbesar ketiga Maroko, yang terletak di bagian utara pedalaman Maroko, dan merupakan ibukota wilayah administrasi Fes-Meknes. Menurut sensus 2014, Fes memiliki populasi 1,15 juta jiwa. Terletak di arah timur laut dari Pegunungan Atlas, Fes terhubung dengan kota-kota penting di berbagai bagian Maroko: sekitar 206 km di tenggara Tangier, 246 km dari Casablanca, dan 189 km di sebelah timur Rabat. Rute dagang lintas Sahara dapat dimasuki melalui Marrakesh yang terletak 387 km di barat laut Fes. Fes dikelilingi perbukitan, dan Sungai Fes (Oued Fes atau Wadi Fas) mengalir di tengah-tengah kawasan kota tuanya. Fes didirikan pada masa dinasti Idrisiyah pada abad ke 8 atau 9 M, awalnya terdiri dari dua pemukiman yang mandiri dan saling bersaing. Gelombang perpindahan penduduk dari Ifriqiyah (sekarang Tunisia) dan Al-Andalus (Spanyol dan Portugal) memperbesar kota ini dan membawa budaya Arab. Setelah jatuhnya dinastri Idrisiyah, berbagai kerajaan datang dan pergi di kota ini, hingga pada abad ke-11 M Sultan Yusuf bin Tasyfin dari Dinasti Murabithun menyatukan dua pemukiman awal ini menjadi Fes el-Bali. Pada masa Murabithun, Fes mulai dikenal sebagai pusat ilmu agama dan perdagangan. Fes mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti Mariniyah (abad 13-15 M), dan kembali dijadikan ibu kota kerajaan. Pada masa ini berbagai madrasah dan masjid besar didirikan; banyak bangunan-bangunan ini masih berdiri hingga sekarang, dan sebagian yang lain telah dipulihkan kembali. Bangunan-bangunan ini termasuk ciri khas langgam arsitektur Andalusia maupun Maghreb/Maroko. Pada tahun 1276 Sultan Mariniyah Abu Yusuf Yaqub mendirikan distrik Fes Jdid yang menjadi pusat pemerintahan dan tempat berdirinya Darul Makhzen (Istana Kerajaan) dan kelak Taman el-Mosara. Pada masa ini juga, kaum Yahudi di kota ini berkembang dan sebuah Mellah (distrik Yahudi) didirikan di bagian selatan Fes Jdid. Setelah jatuhnya Kesultanan Mariniyah, Fes mengalami kemunduran dan pengaruhnya di bidang politik dan kebudayaan disaingi oleh Marrakesh. Fes kembali menjadi ibu kota saat berdirinya Dinasti Alawi di Maroko, hingga tahun 1912. Saat ini, kota Fes terdiri dari dua kota tua (madinatul qadimah), yaitu Fes el-Bali dan Fes Jdid, dan bagian modern yang lebih luas, yang didirikan pada masa kolonial Prancis dan disebut Ville Nouvelle (Kota Baru). Kota tua Fes masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO dan dianggap sebagai kawasan pejalan kaki tertua di dunia. Kota ini juga merupakan lokasi Universitas Al-Qarawiyyin yang didirikan pada tahun 857 dan menurut sebagian pihak (tergantung kriteria yang digunakan) merupakan lembaga pendidikan tinggi tertua di dunia yang masih beroperasi hingga sekarang. Tempat Penyamakan Chouara (Syuwarah) di kota ini (didirikan abad ke-11 M), merupakan salah satu tempat penyamakan tertua di dunia. Kota ini dianggap sebagai pusat keagamaan dan kebudayaan Maroko saat ini, dan dijuluki "Mekkah dari Maghreb" dan "Athena dari Afrika". Asal namaNama kota ini, yaitu فاس (Fas) dalam bahasa Arab, atau dieja Fes dalam bahasa Inggris (kecuali bahasa Inggris Amerika yang mengejanya dengan "Fez") ataupun Fès dalam bahasa Prancis, berasal dari kata Arab فأس Faʾs yang berarti gancu (alat seperti cangkul yang berujung runcing untuk menggali atau membelah). Ada beberapa legenda yang menjelaskan asal usul nama ini, salah satunya menyebut keberadaan gancu emas saat pembangunan kota ini. Legenda lain menyebut bahwa pendiri Dinasti Idrisyah, Sultan Idris I, menggunakan gancu emas dan perak untuk melakukan penggalian bersama para pekerjanya.[4][5][6] Penulis abad ke-14 Ibnu Abi Zar meriwayatkan satu versi lain, yang menyebut bahwa sebuah kota tua "Sef" pernah berdiri di lokasi yang sama, dan Idris I membalik namanya sehingga kota baru ini disebut Fes.[4][5] Selama masa Idrisiyah, kota ini sebenarnya terbagi dua: Fas yang didirikan oleh Idris I,[7] dan al-'Aliyyah yang didirikan putranya, Idris II. Kawasan ibukota kerajaan berada di Al-'Aliyyah, sedangkan nama Fas hanya digunakan untuk kawasan di seberang sungai. Dinar emas yang dicetak pada masa Idrisiyah hanya mengandung nama al-'Aliyyah atau al-'Aliyyah Madinah Idris, dan tidak ditemukan kepingan dinar dengan nama Fas. Tidak diketahui apakah nama Al-'Aliyyah juga digunakan untuk menyebut gabungan kedua kota ini. Kedua kota ini dilebur pada tahun 1070 dan nama Fas dipakai untuk menyebut kota gabungan yang terbentuk.[8] SejarahBerdirinya kota dan masa IdrisiyahMadinah Fas (Kota Fas) didirikan pada tahun 789 di sisi tenggara Sungai Jauhar (kini dikenal sebagai Sungai Fes) oleh Idris I yang juga merupakan pendiri Dinasti Idrisiyah. Putranya, Idris II[9] membangun Al-'Aliyyah di seberang sungai Madinah Fas, dan memindahkan ibukota kerajaan dari Walili (Volubilis) ke Al-'Aliyyah.[10][11][12] Penduduk awalnya mayoritas berasal dari suku Berber, bersama dengan ratusan prajurit Arab dari Al-Qayrawan (kini berada di Tunisia) yang datang bersama Idris II.[10][12] Selanjutnya, populasi Arab di kota ini meningkat dengan adanya migrasi. Salah satu gelombang besar adalah pendatang dari Al-Andalus, dengan komposisi ras Arab maupun Eropa,[13] yang terusir dari Córdoba (Qurthubah) setelah adanya pemberontakan melawan Amir Al-Hakam I pada tahun 817–818. Para pendatang dari Al-Andalus ini bermukim di Madinah Fas.[10] Gelombang lain adalah penduduk Arab yang diasingkan dari Al-Qayrawan setelah pemberontakan di sana sekitar tahun 825, juga datang dan bermukim di Al-'Aliyyah.[10] Kedua gelombang ini memberi Fes karakter Arabnya, dan merupakan asal usul dari nama distrik Udwah al-Andalusiyyin dan Udwah al-Qarawiyyin.[14] Pada masa itu, kota ini juga memiliki penduduk Yahudi dengan komunitas yang kuat, yang berasal dari kabilah Zanatah yang telah memeluk agama tersebut, dan juga penduduk Kristen yang telah bermukim sejak lama. Sebagian besar penduduk Yahudi bermukim di kawasan timur laut Al-'Aliyyah, di sebuah distrik yang di sebut Funduq al-Yahudi (kini dekat gerbang Bab Guissa).[10] Saat Idris II meninggal pada tahun 828, daerah kerajaan dibagi oleh putra-putranya. Fes diberi kepada putra tertuanya, Muhammad bin Idris, tetapi adik-adiknya berupaya memisahkan diri dari kekuasaannya sehingga terjadilah perang saudara. Daulah Idrisiyah dipersatukan kembali pada masa putra Muhammad, yaitu Ali bin Muhammad dan Yahya bin Muhammad, tetapi kemudian mengalami kemunduran pada abad ke-9 M.[15] Menurut buku Raudhal Qirthas karya Ibnu Abi Zar, yang merupakan salah satu sumber sejarah utama tentang masa ini, Masjid dan Universitas al-Qarawiyyin ("Masjid orang-orang Al-Qayrawan") didirikan pada 859 oleh Fatimah al-Fihri, seorang putri keluarga pendatang dari Al-Qayrawan yang menjadi pedagang yang makmur. Konon saudari dari Fatimah yang bernama Maryam juga mendirikan Masjid Al-Andalusiyyin ("Masjid orang-orang Al-Andalus") pada tahun yang sama.[16][10] Pada abad ke-10, kota ini diperebutkan oleh Kekhalifahan Umayyah di Córdoba dan Kekhalifahan Fatimiyyah di Ifriqiya (Tunisia), yang mengendalikan kota ini melalui penguasa-penguasa perantara dari suku Zanatah.[12][15][17] Pertama, Kekhalifahan Fatimiyyah merebut kota ini dari Dinasti Idrisiyah pada tahun 927, dan menempatkan sekutunya dari kabilah Miknasah (salah satu kabilah dari suku Zanatah) untuk memerintah kota ini. Kendali atas Fes dan kota-kota lain di utara Maghreb terus berganti antara sekutu-sekutu Umayyah maupun Fatimiyyah selama beberapa dekade. Pasukan Buluggin bin Ziri merebut kota ini pada 979 dan kemudian Dinasti Fatimiyah menguasai Fes dalam jangka pendek, tetapi selanjutnya pasukan Muhammad al-Mansur dari Córdoba menaklukkan kawasan ini dan mengakhiri kekuasaan Fatimiyyah. Sejak tahun 980 (atau 986[18][10]), Fes diperintah oleh sebuah dinasti dari kabilah Maghrawah, anggota suku Zenata yang bersekutu dengan Kekhalifahan Umayyah. Dinasti ini terus memerintah Fes bahkan setelah runtuhnya kekhalifahan Umayyah di Córdoba, hingga ditaklukkan oleh dinasti Murabithun sekitar tahun 1070.[11][18][12] Fes terus berkembang pada masa kekuasaan Maghrawa ini, meskipun terjadi pertikaian politik antara Madinah Fas dan Al-'Aliyyah. Ziri bin 'Atiyyah adalah pemimpin pertama dinasti ini, dan masa kekuasaannya tidak berjalan dengan mulus.[10] Namun, keturunannya Dunas bin Hamamah (berkuasa 1037-1049) membangun banyak infrastruktur kota.[19] Ia membangun sistem pengadaan air bersih, yang masih bertahan hingga kini.[19][20] Ia juga membangun berbagai hamam (rumah pemandian), masjid-masjid, dan jembatan-jembatan untuk menyeberangi Sungai Jauhar.[10][19][21][22] Madinah Fas dan Al-'Aliyyah menjadi semakin tersatukan: kawasan di antara kedua kota ini dipenuhi rumah-rumah baru dan enam jembatan di atas Sungai Jauhar memudahkan transportasi antar kedua belahan ini.[4] Antara tahun 1059 dan 1061, kedua kota ini terpecah di bawah dua saudara yang saling bertikai: Al-'Aliyyah dikuasai Al-Gisa dan Madinah Fas dikuasai Al-Futuh. Kedua pemimpin ini memperkuat kubunya masing-masing, dan nama mereka diabadikan dalam nama dua dari gerbang-gerbang kota yang masih ada saat ini: Bab Guissa (Bab al-Gisa) di utara dan Bab Ftouh (Bab al-Futuh) di selatan.[23][10] Masa keemasan di bawah dinasti Murabithun, Muwahidun, dan MariniyunPada 1069–1070 (atau beberapa tahun setelahnya[18]), Fez ditaklukkan oleh dinasti Murabithun di bawah pimpinan Yusuf bin Tasyfin. Pada tahun penaklukan ini Yusuf bin Tasyfin melebur Madinah Fas dan Al-'Aliyyah menjadi satu kota. Tembok yang memisahkan kedua kota diruntuhkan, jembatan-jembatan penghubung dibangun atau diperbaiki, dan tembok kota baru dibangun untuk melingkari kedua belahan tersebut. Sebuah qasbah (benteng) didirikan di pinggir barat kota (sebelah barat Bab Bou Jeloud saat ini) untuk ditempati wali kota dan prajurit kota.[10][20] Di bawah kekuasaan Murabithun, Masjid al-Qarawiyyin mengalami perluasan dan renovasi terbesarnya, yaitu antara 1135–1143.[24] Walaupun dinasti ini memindahkan ibukota ke Marrakesh, Fes tetap menjadi pusat penting perdagangan dan ekonomi, dan menjadi pusat keilmuan fikih (hukum) mazhab Maliki.[10][11] Pengaruh dinasti Murabithun dalam arsitektur kota begitu besar sehingga kadang Yusuf bin Tasyfin dianggap sebagai pendiri kedua Fes.[25] Pada tahun 1145 pemimpin dinasti Muwahidun dibawah pimpinan Abdul Mukmin mengepung dan menaklukkan kota Fes, di tengah perang yang berakhir dengan digulingkannya dinasti Murabithun oleh dinasti Muwahidun. Karena sengitnya perlawanan penduduk Fes saat dikepung, pasukan Muwahidun kemudian meruntuhkan struktur pertahanan kota.[10][20] Namun, karena pentingnya posisi Fes secara militer maupun ekonomi, Khalifah Muwahidun Yaqub al-Mansur memerintahkan pertahanan kota dibangun kembali.[23][20] Lingkaran tembok pertahanan yang baru ini lebih besar dari tembok sebelumnya dikarenakan perkembangan kota.[20] Pembangunan ini selesai pada masa putranya Muhammad an-Nasir pada tahun 1204.[23] Tembok ini menentukan geografi dan batas kota yang bertahan untuk Fes el-Bali.[10][20][26] Dinasti Muwahidun membangun Qasbah Bou Jeloud di lokasi bekas qasbah buatan Murabithun, dan juga membangun qasbah pertama yang sekarang menjadi bagian kompleks Qasbah An-Nouar.[4][23] Tidak semua lahan di dalam tembok kota dipadati penduduk, masih banyak kawasan yang belum dibangun dan ditanami kebun dan taman untuk digunakan para penduduk.[26] Pada abad ke-12 M, Fes adalah salah satu kota terbesar di dunia, dengan perkiraan populasi 200.000.[27] Pada 1250, Fes kembali menjadi ibu kota kerajaan, di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyyah. Pada 1276, terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan Mariniyyah, yang diikuti dengan pembantaian kaum Yahudi sebelum dihentikan oleh intervensi Sultan Abu Yusuf Yaqub.[28][29] Setelah pemberontakan ini, Abu Yusuf Yaqub mendiirkan Fes Jdid sebagai pusat pemerintahan dan militer baru. Di bawah kekuasaan Mariniyyah, banyak bangunan-bangunan penting di kota ini dibangun, dan kota Fes mendapat reputasi sebagai pusat keilmuan yang penting.[10][30] Antara 1271 dan 1357 dibangun tujuh madrasah yang termasuk bangunan yang paling terhias di kota ini, dan kini bernilai penting dalam arsitektur Maroko.[31][32][33] Masa kekuasaan Mariniyah ini dianggap sebagai puncak masa keemasan Fes.[34][10][11] Distrik Yahudi di kota Fes, yaitu Mellah, didirikan di dalam Fes Jdid pada masa Mariniyyah. Tahun maupun asal-usulnya tidak begitu pasti,[35][29] tetapi sejarawan memperkirakan pemindahan penduduk Yahudi ke Mellah ini terjadi pada abad ke-15 saat terjadi gejolak politik. Tulisan-tulisan peninggalan Yahudi menyebut bahwa pemindahan ini terjadi setelah ditemukannya jasad Idris II di tengah kota pada 1437, yang mengakibatkan kawasan sekitarnya dianggap "suci" sehingga kaum non-Muslim dipindahkan dari kawasan tersebut.[35][36][37][38] Penduduk Yahudi di Fes awalnya merupakan masyarakat pribumi, tetapi kemudian ditambahi oleh kaum Yahudi Sefardi dari bekas wilayah Al-Andalus (mereka disebut Megorasyim, "Para Terusir"), terutama setelah Pengusiran kaum Yahudi oleh penguasa Katolik Spanyol pada tahun 1492.[39] Sultan Mariniyyah terakhir, Abdul Haqq II, digulingkan dalam pemberontakan tahun 1465. Pada 1492, Dinasti Wattasiyun, yang berasal dari kabilah suku Zanatah lain yang menjadi wazir pada masa Mariniyah, menjadi penguasa Maghreb dengan pusat di Fes.[17][40] Dinasti ini mempertahankan struktur pemerintahan maupun kebijakan politik Mariniyyah, tetapi tidak mampu menancapkan kekuasaannya ke seluruh Maghreb. Dinasti ini tidak meninggalkan banyak pengaruh ke struktur kota Fes.[41] Kekuasaan para syarif: Dinasti Saadiyun dan AlawiyunPada abad ke-15 Dinasti Saadiyun, yang mengklaim status syarif (keturunan Nabi Muhammad) berkuasa di selatan Maghreb dan menyaingi dinasti Wattasiyun. Pada masa yang sama Turki Utsmani juga mendekati wilayah ini setelah menaklukkan Aljazair. Pada Januari 1549, Sultan Saadiyah Muhammad asy-Syaikh menaklukan Fes dan menggulingkan sultan terakhir Wattasiyah Ali Abu Hasun. Dinasti Wattasiyun merebut kembali kota ini dengan bantuan Utsmaniyah, tetapi kekuasaan mereka berumur pendek dan pada tahun yang sama Dinasti Saadiyun mengalahkan Wattasiyun.[14] Pasukan Utsmaniyah menyerang Maghreb setelah kematian Muhammad asy-Syaikh pada tahun 1558, tetapi serangan ini dihentikan putranya, Abdullah al-Ghalib, dalam Pertempuran Wadi al-Laban yang terjadi di utara Fes.[14] Setelah meninggalnya Abdullah al-Ghalib terjadi perebutan kekuasaan. Salah seorang saudara Abdullah, Abdul Malik, merebut Fes pada 1576 bersama dengan pasukan Turki Utsmani, dan menggulingkan keponakannya Abu Abdullah. Abu Abdullah kemudian melarikan diri ke Portugal dan di sana meminta Raja Sebastian untuk membantunya kembali ke takhta, sedangkan Abdul Malik mengakui kekhalifahan Utsmaniyah. Pertikaian ini berujung ke Pertempuran Wadi al-Makhazin (disebut juga Pertempuran Tiga Raja atau Pertempuran Qasr al-Kabir/Alcácer Quibir) pada 1578. Pasukan Abdul Malik berhasil mematahkan serangan Portugis dan pengikut Abu Abdullah. Abdul Malik sendiri tewas dalam pertempuran, tetapi kemenangan pasukannya menjaga kemerdekaan Negeri Maghreb dan ia digantikan oleh saudaranya Ahmad al-Mansur.[42] Dinasti Saadiyun, yang beribukota di Marrakesh, tidak begitu banyak melakukan pembangunan di Fes. Satu-satunya pembangunan besar adalah pembuatan tempat wudu penuh hiasan di halaman Masjid al-Qarawiyyin.[24] Para penguasa Saadiyah membangun berbagai benteng dan menara di sekitar kota Fes, kemungkinan untuk memperketat pengawasan karena seringnya terjadi ketegangan antara penduduk kota dengan pihak kerajaan. Benteng-benteng ini didirikan di tanah tinggi di sekitar Fes al-Bali, yang memungkinkan penempatan meriam untuk membombardir kota yang berada di tanah lebih rendah. Di antara benteng-benteng ini adalah Qasbah Tamdert dekat Bab Ftouh, Borj Nord di utara, Borj Sud di selatan, serta Borj Sheikh Ahmed, Borj Twil, and Borj Sidi Bou Nafa' di barat. Struktur-struktur ini dibangun oleh Ahmad al-Mansur di abad ke-16, dan memiliki pengaruh Eropa (kemungkinan dari Portugal).[10][26][43] Setelah masa pemerintahan Ahmad al-Mansur yang cukup panjang (1578–1603), terjadi perang takhta antara putra-putranya maupun anggota dinasti yang lain. Fes sering dijadikan ibukota tandingan oleh salah satu pihak yang ingin menantang anggota dinasti lain yang berkuasa di Marrakesh. Baik Fes maupun Marrakesh sering berpindah tangan hingga berakhirnya perang saudara pada tahun 1627.[42][44] Walaupun Daulah Saaidiyah kembali bersatu setelah 1627, kerajaan ini terus mengalami kemunduran dan kota Fes mengalami kerusakaan akibat seringnya terjadi pertempuran di kota itu.[18] Pada 1641, Muhammad al-Haj dari tarekat Sufi Dila'iyah dan suku Sanhaja menduduki Fes.[45] Masa-masa ini juga dianggap sebagai masa sulit untuk kaum Yahudi kota ini.[45] Dinasti Alawiyun, yang juga mengklaim status syarif, merebut Fes di tahun 1666 di bawah pimpinan pendiri dinasti, Maulay Rasyid ("Tuanku Rasyid"). Kota ini diangkat menjadi ibu kota lagi dan mengalami kemajuan, walaupun ini tidak berlangsung lama.[26] Maulay Rasyid mencoba memulihkan kota ini setelah lama terlantar. Ia membangun Qasbah Syarardah (atau Cherarda, dalam ejaan Prancis, atau disebut juga Qasbah al-Khamis, "benteng Kamis") di utara Fes Jdid sebagai tempat tinggal pasukan sukunya.[10][26] Ia juga membangun (atau memulihkan kembali) qasbah yang kini disebut Qasbah an-Nouar, yang menjadi tempat tinggal pengikutnya dari wilayah Tafilalt yang merupakan kampung halaman asal dinasti ini. Karena ini, qasbah tersebut disebut Qasbah Filalah ("Qasbah orang-orang Tafilalt").[10][4] Maulay Rasyid juga membangun madrasah baru yang besar, Madrasah Syarathin (Cherratine), pada tahun 1670.[32] Setelah ia meninggal, Fes kembali mengalami kemunduran. Pengganti Maulay Rasyid, Maulay Ismail, tampaknya tidak menyukai kota ini, kemungkinan karena terjadi pemberontakan di sana pada awal masa pemerintahannya, dan memilih kota Meknes (yang berlokasi tidak begitu jauh) sebagai ibukotanya.[10] Walaupun ia memulihkan atau membangun kembali beberapa bangunan penting kota ini, seperti Zawiyah Maulay Idris II, ia juga menarik pajak yang tinggi dari penduduk kota dan beberapa kali memaksa sebagian penduduknya pindah untuk mengisi kota-kota lain di negeri Maghreb.[10] Setelah Maulay Ismail meninggal, negeri ini jatuh ke anarki dan perang saudara antara putra-putranya yang memperebutkan kekuasaan selama puluhan tahun. Fes terlibat serangkaian konflik dengan kabilah Udayah, sebuah kabilah militer (guisy) yang sebelumnya ditempatkan di Qasbah Syarardah oleh Maulay Ismail. Sultan Maulay Abdullah, salah satu pesaing takhta yang berkuasa selama beberapa selang waktu, menjadikan Fes sebagai ibukotanya. Ia awalnya disambut (1728–29) karena memerangi suku Udayah, tapi hubungannya dengan penduduk kota karena pilihan wali kotanya tidak disukai warga. Ia lalu membuat istana Dar Dbibegh di kawasan pedesaan di luar kota sebagai tempat tinggalnya. Selama sekitar 30 tahun selanjutnya, Fes terus berada dalam kondisi konflik baik dengan suku Udayah maupun dengan sultan-sultan Alawiyun.[10] Pada masa pemerintahan Maulay Muhammad bin Abdullah, antara 1757 dan 1790, negeri Maghreb kembali stabil lagi dan keadaan Fes pun membaik. Fes tetap mendapat status ibukota meskipun status ini dimiliki bersama Marrakesh, selama dinasti Alawiyun hingga pertengahan abad ke-20.[10][11] Sempat terjadi periode ketidakstabilan pada masa pemerintahan Maulay Yazid (1790–1792) dan Maulay Sulaiman (1792–1822), dan sultan yang bertakhta di Fes kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah Negeri Maghreb antara 1790 dan 1795.[14] Namun, kota Fes berada dalam kondisi relatif damai dan tetap menjadi pusat ekonomi, bahkan saat terjadi konflik singkat tersebut.[10] Penguasa Dinasti Alawiyun terus membangun atau memulihkan bangunan-bangunan penting dan memperluas istana kerajaan di kota ini.[32][46] Para sultan dan orang-orang dekatnya menjalin hubungan erat dengan petinggi kota Fes maupun kota-kota besar lainnya, dan ulama Fes pun memiliki pengaruh besar. Setelah kematian Maulay Sulaiman, keluarga-keluarga terkemuka dari Fes menjadi pemain penting dalam medan politik dan keilmuan negeri ini.[14] Tarekat Sufi Tijaniyyah, yang didirikan oleh Ahmad at-Tijani (meninggal 1815) memiliki pusat spiritual di Fes sejak kedatangan at-Tijani dari Aljazair pada tahun 1789.[14] Tarekat ini menyebar dengan cepat di kalangan terpelajar kawasan Afrika Maghribi, dan para ulamanya memiliki pengaruh besar dalam bidang agama, politik, dan keilmuwan di Fes dan kota-kota lainnya.[47] Hingga abad ke-19, kota ini adalah satu-satunya kota penghasil kopiah yang disebut "fez" atau "tarbus".[9] Perubahan besar terakhir dalam topografi kota Fes sebelum abad ke-20 terjadi pada masa Maulay Hasan I (1873-1894), yang membangun koridor bertembok untuk menghubungkan Fes Jdid dan Fes el-Bali.[10][26] Di sekitar koridor ini dibangun taman-taman dan istana musim panas, yang digunakan oleh keluarga kerajaan maupun masyarakat kalangan atas, misalnya Taman Jnan Sbil (جنان السبيل) maupun Istana Dar al-Batha (دار البطحاء).[10][46] Maulay Hasan juga memperluas istana raja, sehingga pintu masuknya berada (sampai saat ini) di lokasi Alun-Alun (Mesywar) Tua dan menambahkan Alun-Alun Baru beserta kawasan pabrik Darul Makinah di utara. Perluasan ini menyebabkan distrik Maulay Abdullah menjadi terpisah dari Fes Jdid.[46] Fes memiliki peran penting dalam Perang Hafiziyah, perang saudara singkat yang meletus ketika takhta Sultan Abdul Aziz ditentang oleh kakaknya Abdul Hafiz. Ulama Fez, dipimpin oleh ulama Sufi modernis Muhammad al-Kattani, memberikan baiat bersyarat kepada Abdul Hafiz. Syarat yang diberikan penduduk Fez dalam baiat ini adalah Abdul Hafiz harus senantiasa bermusyawarah dengan umat, dan melancarkan jihad untuk membebaskan Negeri Maghrib, karena Ujdah telah diduduki Prancis sejak April 1907 dan Casablanca sejak Agustus. Dukungan bay'ah ini memperkuat posisi Abdul Hafiz,[48][49] dan pasukannya mengalahkan pasukan Abdul Aziz pada Agustus 1908.[48] Namun pemerintahan Abdul Hafiz tidak berjalan lancar; suku-suku dari kawasan tengah Pegunungan Atlas mengepung sultan di Fez pada awal 1911. Abdul Hafiz pun meminta bantuan Prancis; pasukan Prancis yang dipimpin Kolonel Charles Émile Moinier tiba di Fes pada 21 Mei dan mendirikan markasnya di Dar Dbibegh.[18][14][48] Masa penjajahanPada 1912, pemerintahan kolonial Prancis mulai berkuasa di Maghreb/Maroko (walaupun dinasti Alawiyun tetap dipertahankan sebagai protektorat) dengan ditandatanganinya Perjanjian Fes. Akibatnya, terjadi kerusuhan pada tahun 1912 di Fes, melibatkan pemberontakan rakyat dan serangan terhadap orang-orang Eropa maupun penduduk Yahudi pribumi di Mellah. Kerusuhan ini dibalas dengan kekerasan oleh pihak penguasa..[50][51] Residen Jenderal Prancis yang pertama di Maroko, Hubert Lyautey, memutuskan pemindahan ibu kota pemerintahan dari Fes ke Rabat pada tahun 1912 atai 1913. Hingga saat ini Rabat masih menjadi ibu kota negara Maroko modern.[52][53][54] Sejumlah perubahan sosial dan fisik terjadi pada masa ini hingga abad ke-20. Sejak masa Lyautey, diterapkan satu kebijakan yang memiliki dampak jangka panjang, yaitu menghindari pembangunan di dalam tembok kota-kota tua bersejarah di Maroko, dan mempertahankannya sebagai situs warisan sejarah, dengan sebutan madinatul qadimah (kota tua) atau cukup "medina". Sebagai gantinya, pemerintahan kolonial Prancis membangun kota baru yang modern (villes nouvelles, "kota-kota modern") yang terletak diluar tembok kota tua, ditinggali para pendatang Eropa dan diberi fasilitas ala Barat. Ini merupakan bagian dari "politik asosiasi" yang diterapkan Lyautey, tak seperti "politik asimilasi" yang kadang-kadang diterapkan Prancis di tempat lain. Dalam politik asosiasi, pemerintahan kolonial dilakukan dengan berbagai bentuk yang tidak langsung, sembari mempertahankan institusi dan kalangan elit setempat.[55][56][57] Distrik Ville Nouvelle Fez juga disebut Dar Dbibegh oleh pendudukk Maroko, dan istana tua yang dulu dimiliki Maulay Abdullah juga terletak di kawasan ini.[18] Berdirinya ville nouvelle bercorak Prancis di sebelah barat Fes memiliki dampak besar terhadap perkembangan kota ini. Di satu sisi, kebijakan kolonial ini berhasil melestarikan bangunan-bangunan bersejarah kota Fes, tetapi di sisi lain kebijakan ini menghambat pembangunan kota di kawasan kota tua. Sosiolog Janet Abu-Lughod berpendapat bahwa kebijakan ini menghasilkan semacam "apartheid" (pemisahan/penyekatan) dalam tata kota, antara kawasan yang ditempati penduduk Maroko, yang terpaksa stagnan dalam hal perkembangan kota dan inovasi arsitektur, dan kawasan modern yang ditempati penduduk Eropa dan diperluas untuk menempati tanah yang sebelumnya digunakan penduuduk Maroko di luar kota.[58][59][55] Pemisahan ini tidak sepenuhnya total, karena ada juga kalangan kaya Maroko yang pindah ke ville nouvelle pada masa ini.[60][11] Di sisi lain, kawasan kota tua (medina) banyak ditempati pendatang miskin dari luar kota.[11] Fes juga berperan dalam gerakan nasionalis Maroko dan perlawanan terhadap penjajahan Prancis. Banyak pemikir nasionalis Maroko merupakan lulusan Universitas Al-Qarawiyyin di kota ini dan jaringan-jaringan informal berhasil dibentuk sesama lulusan universitas ini.[61] Pada 1930, mahasiswa dan para penduduk melakukan demonstrasi terhadap Dahir berbère (Titah Berber) yang didekretkan penguasa Prancis pada Mei 1930.[62][61] Pada 1937, Masjid Al-Qarawiyyin dan Masjid R'cif (Al-Rashif) menjadi pusat demonstrasi menentang penindasan dan kekerasan yang dilakukan Prancis terhadap demonstran di kota tetangga Meknes. Alhasil, pasukan Prancis dikerahkan di seluruh Fes el-Bali, ditempatkan bahkan di kedua masjid tersebut.[17][61] Menjelang akhir Perang Dunia II, kelompok nasionalis Maroko berkumpul di Fes untuk menulis tuntutan kemerdekaan, yang mereka kirim ke pihak Sekutu pada 11 Januari 1944. Penguasa Prancis menanggapinya dengan penangkapan para pemimpin nasionalis dan kekerasan terhadap para demonstran di berbagai kota, termasuk di Fes.[63][61] Kemerdekaan hingga kiniMaroko menjadi merdeka pada tahun 1956, dan banyak tendensi yang berawal dari masa penjajahan terus berlanjut pada paruh akhir abad ke-20. Masyarakat lapisan atas atau menengah ke atas dari Fes pindah ke kota Casablanca maupun ibukota Rabat.[11][64] Penduduk Yahudi Fes terus mengecil, sebagian pindah ke Casablanca dan sebagian pindah ke negara lain seperti Prancis, Kanada, dan Israel. Walaupun populasi kota Fes terus bertambah, pertumbuhannya sangat lambat sebelum tahun 1960an, dan setelah itu barulah pertumbuhan penduduk berjalan cepat.[63] Sejak masa itu hingga kini, Fes menjadi kota ke-3 terbesar di Maroko dari segi penduduk.[11][63] Dari 1971 hingga 2000, populasi kota meningkat hampir tiga kali lipat, dari 325 ribu menjadi sekitar 940 ribu penduduk.[12] Ville nouvelle menjadi pusat perkembangan kota, dan distrik-distrik kota baru (dengan kualitas bangunan yang berbeda-beda) berdiri ke arah luar ville nouvelle.[63] Pada 1963, Universitas Al-Qarawiyyin dijadikan universitas negeri, dan universitas negeri lain (Universitas Sidi Mohamed Ben Abdellah) didirikan tahun 1975 di ville nouvelle.[65] Pada 1981, kota tua Fes yang terdiri dari Fes el-Bali dan Fes Jdid, ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.[66] Kesenjangan sosial dan ketidakpastian ekonomi terus meningkat di masa pemerintahan Raja Hasan II yang otoriter dan periode yang dikenal dengan nama sanawatur rushash (Tahun-Tahun Timah Panas, kira-kira 1975–1990).[48] Fes menderita akibat dari tingginya pengangguran dan kurangnya perumahan. Saat pemerintah menjalankan kebijakan pengetatan, terjadi kerusuhan dan perlawanan di berbagai kota selama tahun 1980an. Pada 14 Desember 1990, penduduk melakukan mogok massal yang berujung ke demonstrasi dan kerusuhan yang dilakukan mahasiswa dan pemuda di Fes. Banyak bangunan dibakar dan dijarah, termasuk Hôtel des Mérinides, hotel mewah yang menghadap Fes el-Bali dan didirikan pada masa Lyautey. Ribuan orang ditangkap dan sekurangnya lima orang tewas. Pemerintah kemudian berjanji melakukan penyelidikan dan menaikkan gaji, tetapi sebagian tindakan pemerintah ini dipertanyakan oleh pihak oposisi.[12][67][68][69] Fes sekarang berstatus ibukota wilayah dan merupakan salah satu kota terpenting di Maroko. Banyak elit politik Maroko berasal dari keluarga yang dulunya merupakan pemuka kota Fes.[70] Fes juga adalah tujuan pariwisata penting, karena warisan sejarahnya. Akhir-akhir ini, berbagai upaya dilakukan untuk melestarikan dan memulihkan kota tua Fes, termasuk pemugaran terhadap bangunan-bangunan bersejarah, dan upaya pembersihan Sungai Fes.[71][72][73][74] GeografiLokasiKota Fes terdiri dari dua distrik kota tua (madinatul qadimah atau "medina") yang dikelilingi tembok (yaitu kota tua Fes el-Bali dan Fes Jdid) serta kota baru (ville nouvelle), dan juga distrik-distrik di sekitarnya. Kota tua Fes terletak di lembah di tepi Wadi (Sungai) Fes di titik bergabungnya sungai tersebut dengan Sungai Sebou di timur laut[10][9]. Air Wadi Fes berasal dari selatan dan barat, dan membelah menjadi berbagai kanal kecil yang mengairi kota tua bersejarah ini. Kanal-kanal ini mengalir kembali ke Wadi Bou Khrareb, yaitu ruas Wadi Fes yang mengalir di tengah Fes el-Bali di antara distrik Qarawiyyin dan distrik Andalusiyyin.[10] Kota baru Fes terletak di sebuah plato di tepi dataran Saïs. Dataran Saïs membentang di sebelah barat dan selatan kota ini dan kebanyakan berisi lahan pertanian. Sekitar 15 km di selatan Fes el-Bali terletak Bandara Fès–Saïs, yang merupakan bandara utama untuk kota Fes dan daerah di sekitarnya. Kota Sefrou terletak di arah selatan dari bandara ini, sedangkan kota Meknes, kota kedua terbesar di wilayah ini, berada di arah barat daya dari Fes.[75][76] IklimDengan letaknya di barat laut Pegunungan Atlas Tengah, Fes memiliki iklim yang digolongkan sebagai iklim mediterania dengan musim panas yang terik (kode Csa dalam klasifikasi iklim Köppen) dengan pengaruh iklim benua yang besar. Cuaca berkisar antara relatif sejuk dan lembap di musim dingin, dan cuaca terik dan kering di musim panas (antara Juni dan September). Curah hujan dapat mencapai 800 mm jika banyak turun hujan. Suhu tertinggi harian menurun di musim dingin, biasanya hingga mencapai 15°C pada bulan Desember dan Januari. Suhu di bawah titik beku juga tidak jarang terjadi selama masa musim dingin. Suhu tertinggi yang pernah tercatat di kota ini adalah 46,7 °C, sedangkan rekor suhu terendah adalah −8.2 °C. Salju kadang-kadang turun, rata-rata sekali dalam setiap tiga hingga lima tahun. Namun, pernah terjadi salju dalam tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2005, 2006 and 2007.[77][78][79][80]
DemografiMenurut Sensus Maroko 2014, Fez memiliki 1.112.072 penduduk,[2] termasuk distrik-distrik kota Fes sendiri maupun Méchouar Fès Jdid. Sebagian besar penduduknya adalah orang Maroko, tetapi sensus ini menemukan 3.515 orang penduduk asing. Mayoritas penduduk tinggal di kawasan Ville Nouvelle dan distrik-distrik kota di luar tembok kota tua. BahasaDarija (Bahasa Arab Maroko)Bahasa utama dalam percakapan sehari-hari di Fes adalah ragam bahasa Arab non-baku yang disebut ad-Darijah al-Maghribiyah (الدارجة المغربية, "bahasa percakapan Maroko", disingkat Darija atau disebut juga Bahasa Arab Maroko). Seperti banyak kota-kota bersejarah di Maroko, kalangan elit tradisional di Fes (dikenal sebagai أهل فاس, Ahli Fas) memiliki logat Darija yang khas.[84] Dialek ini dianggap memiliki prestise tinggi di antara dialek-dialek Maroko lainnya—terutama dibandingkan dialek-dialek yang dianggap "desa" atau 'arūbi (عروبي, "Arab pedesaan") . Menurut Mohammed Errihani, anggapan ini muncul karena asosiasi dengan tingginya posisi sosial ekonomi yang dimiliki para pemilik dialek ini di tingkat nasional.[84][85] Dialek Fes (Fassi atau Fessi) memiliki kekhasan dalam beberapa aspek linguistik. Dari segi fonologi, contohnya adalah penggunaan bunyi /ɹ/ (konsonan hampiran rongga-gigi, seperti halnya pengucapan 'r' di kata "red" dalam Bahasa Inggris Amerika) untuk huruf ر (diucapkan 'r' dalam bahasa Arab standar). Selain itu, ق diucapkan dengan letup celah-suara faringal atau letup tekak nirsuara, tak seperti dialek Maroko lainnya yang mengucapkannya dengan /g/ (letup langit-langit belakang bersuara).[84] Dari segi tata bahasa, dialek Fassi menetralkan sistem gender dalam bentuk orang kedua tunggal. Misalnya, kata ganti netral ntin(a) (kamu) digunakan alih-alih nta (kamu, pria) dan nti (kamu, wanita) dalam dialek Maroko lainnya. Ini juga mempengaruhi konjugasi kata kerja orang kedua tunggal, misalnya kul ("makanlah!") dapat digunakan untuk subyek maskulin maupun feminin, tidak dibedakan menjadi kul (maskulin) dan kuli (feminin).[84] Bahasa resmi dan bahasa asingBahasa resmi Maroko adalah Bahasa Arab Standar Modern dan Bahasa Tamazight (Berber). Bahasa Prancis juga banyak digunakan dalam bidang pemerintahan dan hukum.[86][87] Bahasa utama dalam karya-karya tulis adalah bahasa Arab.[88] Banyak penduduk lancar bercakap dalam bahasa Prancis, selain dalam Darija yang merupakan bahasa percakapan utama. Bahasa Inggris banyak dipelajari terutama oleh generasi muda. Dialek-dialek Tamazight banyak dituturkan di kawasan pedesaan di sekeliling kota.[89] EkonomiDalam sejarahnya, kota Fes adalah salah satu pusat perdagangan dan industri keterampilan di Maroko. Contohnya, industri penyamakan kulit adalah salah satu sumber utama ekspor dan kekuatan ekonomi pada awal sejarah kota ini, dan tempa-tempat penyamakan masih hidup di Fes el-Bali saat ini, termasuk Tempat Penyamakan Chouara (Syuawarah).[90] Hingga akhir abad ke-19 kota ini merupakan satu-satunya produsen peci tarbus (disebut juga peci "Fez") di dunia.[9] Perdagangan di kota Fes berkonsentrasi di jalan-jalan utamanya, seperti Jalan Thala'ah al-Kabirah, dan disekitar Pasar Raya Qisariyah al-Kifah yang bercabang-cabang menjadi banyak souq (pasar).[10][11] Industri keterampilan Fes masih aktif hingga kini dan berkonsentrasi di kawasan kota tua, walaupun kini sangat tergantung kepada wisatawan.[9] Dataran Saïss yang meliputi kawasan pedesaan di sekitar kota, adalah daerah pertanian yang subur dan penting. Hasil utamanya adalah biji-bijian, kacang-kacangan, zaitun, anggur, serta hewan-hewan ternak.[9][91] Wisata adalah sektor ekonomi penting lainnya di kota Fes, dengan adanya kota tua yang berstatus Situs Warisan Dunia UNESCO.[9] Terdapat juga beberapa zawiyah (makam tokoh Islam yang dijadikan pusat pendidikan dan kegiatan agama), seperti Zawiyah Maulay Idris II dan Zawiyah Sidi Ahmad at-Tijani, yang diziarahi pengunjung dari Maroko maupun luar negeri (terutama dari negara-negara Afrika Barat).[92] Namun, secara umum kota Fes dan daerah sekitarnya masih diliputi ketidakstabilan ekonomi.[93] Obyek-obyek pentingKota tuaKota tua (madinatul qadimah, kadang disebut Medina saja) Fes terdiri dari Fes el-Bali, distrik asli kota ini yang meliputi kedua sisi Sungai Fes (Oued Fes atau Wadi Fes), dan Fes Jdid, distrik lebih kecil yang didirikan pada abad ke-13 di lokasi tinggi di sebelah barat. Kota tua ini dibedakan dari kota baru (Ville Nouvelle) Fes yang kini jauh lebih besar. Fes el-Bali adalah lokasi Universitas Al-Qarawiyyin dan Zawiyah Maulay Idris II, dan Fes el-Jdid adalah lokasi Istana Kerajaan seluas sekitar 80 hektar yang hingga kini masih digunakan Raja Maroko.[94] Kedua kota tua ini saling terhubung dan istilah medina sering digunakan untuk menyebut keduanya secara bersamaan, walaupun kadang-kadang medina juga bisa digunakan untuk menyebut Fes el-Bali saja. Seiring meningkatnya pariwisata ke Fes, banyak warga luar Maroko membangun atau memulihkan rumah tradisional Maroko (riyad dan dar) di dalam kota tua ini sebagai rumah tinggal kedua. Pada 1981, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan status Medina Fes sebagai Situs Warisan Dunia dan menyebutnya "salah satu kota bersejarah yang paling luas dan paling lestari dari dunia Arab Muslim",[66] menjadikannya situs pertama di Maroko dengan status tersebut.[95] MasjidTerdapat sejumlah masjid bersejarah di kota tua Fes, termasuk beberapa yang merupakan bagian dari madrasah atau zawiyah. Di antara masjid tertua Fes yang masih berdiri hingga kini adalah Masjid al-Qarawiyyin (didirikan 857, kemudian diperbesar),[24][96] Masjid al-Andalusiyyin (didirikan 859 atau 860),[97][98] dan Masjid Bou Jeloud (dari akhir abad ke-12),,[99] serta Masjid Qasbah en-Neouar (mungkin didirikan pada masa dinasti Muwahidun tetapi dibangun kembali kemudian).[4][10] Beberapa masjid berumur lebih tua lagi, dibangun di tahun-tahun awal kota ini, yaitu Masjid Asy-Syurafa ("Masjid para Syarif") dan Masjid Al-Anwar ("masjid cahaya", disebut juga Masjid Al-Asyaikh, "Masjid para syekh"), tetapi kedua mesjid ini sudah beralih fungsi. Masjid Asy-Syurafa menjadi tempat pemakaman Idris II dan kini diubah menjadi kompleks Zawiyah Maulay Idris II, sedangkan Masjid al-Anwar hanya tersisa sebagai sebuah bangunan peninggalan kecil.[10] Diantara masjid bersejarah dari masa dinasti Mariniyun, yaitu saat Fes Jdid dibangun sebagai ibu kota Maroko, adalah Masjid Agung Fes el-Jdid (didirikan 1276), Masjid Abu al-Hasan (didirikan 1341),[100] Masjid Asy-Syirabliyyin (atau Chrablyine; didirikan 1342),[101] dan Masjid al-Hamra dari masa yang sama.[102] Masjid Bab al-Gisa (atau Bab Guissa) didirikan pada masa Sultan Abu al-Hasan (1331-1351), tetapi telah mengalami perubahan pada kurun kemudian.[32] Beberapa masjid besar lain berasal dari masa dinasti Alawiyun yang lebih baru, misalnya Masjid Maulay Abdallah didirikan sekitar awal atau pertengahan abad ke-18 di tempat makam Maulay Abdallah,[31] dan Masjid R'cif yang didirikan pada masa Maulay Sulaiman (1793-1822).[103] Zawiyah Maulay Idris II dan Zawiyah Sidi Ahmad at-Tijani juga memiliki masjid didalamnya, demikian juga beberapa zawiyah lain di kota ini.[4][104][10] Kawasan Vile Nouvelle memiliki banyak masjid dari era modern, termasuk Masjid Imam Malik yang dibuka pada 1994.[105][106][107] Tempat ibadah lainDi distrik Yahudi Fes (Mellah) terdapat Sinagog Al-Fassiyin ("Sinagog Orang-Orang Fes") dan Sinagog Ibnu Danan, serta beberapa sinagog lain yang tidak begitu dikenal, tetapi semua situs ini tidak lagi berstatus tempat ibadah aktif..[37][108] Menurut Kongres Yahudi Dunia hanya ada 150 orang Yahudi Maroko yang tinggal di Fes.[109] Gereja Santo Fransiskus dari Assisi adalah satu-satunya gereja Katolik di Fes, didirikan pada tahun 1919 atau 1920 pada masa penjajahan Prancis. Bangunan yang berdiri saat ini berasal dari pembangunan ulang pada 1928 dan perluasan pada 1933. Gereja ini adalah bagian dari Keuskupan Agung Rabat dan telah dipugar pada 2005.[110][111][112] MadrasahMadrasah al-Qarawiyyin (kini universitas) didirikan oleh Fatimah al-Fihri pada tahun 857, awalnya sebagai masjid.[16][113] Menurut UNESCO dan Guinness World Records, Al-Qarawiyyin adalah lembaga pendidikan tertua yang memberikan ijazah gelar dan terus aktif tanpa putus hingga saat ini..[114][66] Kemudian, dinasti Mariniyun sangat aktif dalam pembangunan madrasah sesuai Mazhab Maliki, sehingga lembaga-lembaga pendidikan dan agama di kota ini mencapai kemajuan besar. Madrasah pertama yang didirikan pada masa Mariniyun adalah Madrasah Ash-Shaffarin ("Sekolah Para Tukang Logam") di Fes el-Bali oleh Sultan Abu Yusuf pada 1271.[33] Referensi
|