Fadhil al-Bantani
Kiai Haji Ahmad Fadhil al-Bantani (1870 – 18 Maret 1950) adalah seorang ulama asal Banten yang berdiaspora ke Johor pada 1915.[1] Dia diberi mandat oleh sultan Johor, Ibrahim, untuk menjadi mufti bagi sultan sejak 1945 hingga kematiannya pada 1950. Fadhil merupakan ahli tarekat Qadiriah wa Naqsyabandiah yang ia pelajari di tanah Jawa.[2] Dari ajarannya itu, ia mempopulerkan Wirid Khaujakan.[3] Menetap di JohorFadhil awalnya bekerja sebagai pembina bagi jemaah haji asal Hindia Belanda dan Malaya Britania Raya dengan didampingi istrinya.[4] Dari pekerjaannya ini, ia dipertemukan dengan seorang penghulu dari Lenga, Muar, Johor, Malaya, yang bernama Daud. Daud mengagumi sosok Fadhil hingga akhirnya ia dibujuk oleh Daud untuk berdakwah di kampung halamannya. Ia pun diundang oleh Daud untuk mendatangi Mukim Lenga dan dipenuhinya pada 1915. Sesampainya di Lenga, ia menjadi guru agama di masjid dan surau. Pascamengajar, Fadhil melakukan wirid yang dikenali sebagai Wirid Khaujakan, yaitu salah satu dari ajaran tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Tijaniyah. Wirid ini ia kembangkan dan diajarkan kepada murid-muridnya di Lenga. Ketika istrinya meninggal, Fadhil berpindah ke Muar dan menetap di Jalan Bakri, Kampung Bakri Batu 2 1/2. Ia kembali meneruskan pengajarannya sekaligus memperkenalkan Wirid Khaujakan di setiap masjid dan surau di Muar, salah satunya Masjid Jami Muar (saat ini bernama Masjid Jami Sultan Ibrahim).[5] Catatan
ReferensiCatatan Kaki
|