Fachrul Baraqbah
Aji Raden alias Fachrul Rasyid Baraqbah[1] atau Sayid Fachrul Baraqbah (1925–1984) adalah seorang politikus Indonesia dari golongan Ba'alwi yang merupakan bangsawan Kutai dan mantan ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI di Kalimantan Timur hingga tertangkap pada bulan Oktober 1965 pasca kegagalan Gerakan 30 September.[2] Sebagai seorang aristokrat, ia dianggap sebagai anomali karena mendukung Revolusi Nasional Indonesia, meninggalkan gelar kebangsawanannya, dan bergabung dengan PKI. Selain itu, dia juga aktif dalam BPRI dan Pesindo selama Perang Kemerdekaan. Kehidupan awalFachrul lahir di Tenggarong pada tahun 1925. Dia berasal dari marga Baraqbah, salah satu marga keturunan Nabi Muhammad.[3] Karena berasal dari kalangan bangsawan, dia memiliki gelar Aji Raden yang kemudian ia tanggalkan.[4] Fachrul merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya bernama Aji Raden Sayid Idrus Baraqbah dan bergelar Aji Raden Sokmawira.[5][6] Kakak tertuanya, Aji Raden Sayid Mochsen, merupakan mantan anggota Dewan Konstituante dan salah satu dari tiga calon anggota yang terpilih dari Kalimantan Timur. Mochsen sendiri duduk di dewan mewakili Fraksi PNI.[7] Dia juga bekerja sebagai pegawai negeri, pertama untuk Kesultanan Kutai dan selanjutnya di pemerintahan Provinsi Kaltim hingga pensiun pada tahun 1965.[4] Kakaknya yang lain, Aji Raden Sayid Gasyim, merupakan anggota Partai NU (Nahdhatul Ulama) dan menjadi calon anggota DPR dari partai tersebut pada pemilihan umum tahun 1955 di daerah pemilihan Kalimantan Timur.[5] Gasyim juga menjadi anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur dari Fraksi NU.[4] Tak seperti kakak tertuanya, pendidikan Fachrul berhenti di tingkat dasar. Setelah lulus dari HIS di Tenggarong, dia tidak melanjutkan ke OSVIA di Makassar.[3] KarierMasa RevolusiFachrul bergabung dengan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Samarinda pada tanggal 26 Desember 1945. Ia menjadi salah seorang pengurus BPRI cabang Samarinda dengan posisi sebagai penyelidik.[1] Fachrul ikut serta dalam sebuah pertemuan yang membahas rencana pencarian senjata di hulu Sungai Tenggarong. Upaya ini gagal karena senjata-senjata tersebut telah digali terlebih dahulu pada akhir tahun 1945 atas perintah Sultan Aji Muhammad Parikesit untuk diserahkan kepada tentara Australia.[8] Ia kemudian menjadi anggota seksi intelijen Brigade "S" BPRI dengan pangkat Pembantu Letnan.[9] Pada tahun 1947, untuk menghindari kejaran dari tentara Belanda, Fachrul melarikan diri ke Jawa Timur.[10][11] Di sana, ia bergabung dengan Pesindo dan kemudian aktif di Front Demokrasi Rakyat (FDR). Fachrul pindah ke Yogyakarta dan pada tahun 1948, hendak ditangkap karena keterlibatan FDR dan Pesindo dalam Peristiwa Madiun. Meski demikian, ia lolos dari aksi pengangkapan dan berhasil kembali ke Kalimantan Timur pada awal tahun 1950.[3][4] Anggota PKITak lama setelah kembali ke Kalimantan Timur, Fachrul mendirikan cabang PKI di sana dan menjadi sekretaris (ketua) CDB PKI setempat.[4] Dia menjadi calon anggota DPR dan Dewan Konstituante pada pemilihan umum tahun 1955, mewakili PKI di daerah pemilihan Kalimantan Timur.[6][12] Pada tahun 1957, ia diangkat menjadi anggota DPRD-P (DPRD Peralihan) Kalimantan Timur mewakili PKI dan menjabat selama setahun.[13] Sebagai hasil dari pemilihan umum legislatif tahun 1958, ia diangkat menjadi Wakil Ketua DPRD Kaltim dan menjabat hingga bulan Oktober 1965.[14][15] Fachrul hadir dalam Kongres Nasional ke-VI PKI yang diselenggarakan di Jakarta selama tanggal 7-14 September 1959. Dalam kongres itu, dia menyampaikan sebuah pidato yang membahas berbagai hal seperti ketidaktegasan pemerintah dalam menggalakkan nasionalisasi aset-aset Belanda, masih kuatnya kedudukan politik golongan pamong praja yang feodal, dan penyelundupan ke Tawau yang juga merajalela.[16] Pada kongres tersebut, dia juga ditetapkan sebagai calon anggota Comite Central (CC) PKI.[17] Fachrul menjadi anggota delegasi partai yang mengunjungi Moskwa dan berangkat pada tanggal 20 Juli 1963.[18] Selain itu, Fachrul juga menjadi anggota MPRS dari golongan utusan daerah mewakili Kalimantan Timur.[19] Dia merupakan salah satu wakil ketua Front Nasional di Kalimantan Timur dan menjadi perwakilan dari PKI.[20] Fachrul juga menjadi anggota Panca Tunggal di Kalimantan Timur, yang dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan politik PKI di tingkat daerah melalui Front Nasional. Meski demikian, kedudukannya tidak begitu kuat sebab Front Nasional di Kalimantan Timur didominasi oleh M. Harun Nafsi, seorang mantan pejuang yang juga anggota Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).[21] Sebagai salah seorang pengurus Front Nasional, dia terlibat dalam upaya nasionalisasi yang dilakukan terhadap aset-aset Shell di Balikpapan. Aset-aset tersebut sebelumnya berada di tangan BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij), namun pada tahun 1961 diserahkan kepada Shell akibat terjadinya Trikora.[22] Front Nasional kemudian membentuk sebuah front persatuan antar organisasi buruh minyak, yakni KSOBM (Kerja Sama Organisasi Buruh Minyak) yang didominasi oleh Perbum (Persatuan Buruh Minyak), untuk menggalakkan nasionalisasi pada bulan Januari 1963. Perbum sendiri merupakan salah satu serikat yang bernaung di bawah SOBSI dan berada di bawah pengaruh PKI.[23] Aksi nasionalisasi menjadi semakin radikal pada bulan September. Pada tanggal 16 September, terjadi pemboikotan terhadap orang-orang Inggris dan usaha untuk mengambil alih perusahaan. Kilang minyak PT Shell Indonesia di Balikpapan dan ladang-ladang minyak di sekitarnya berhasil diambil alih pada tanggal 17 September. Para pegawai Shell berkebangsaan asing, seluruhnya berjumlah 66 orang dan merupakan pengurus, dikenakan tahanan rumah oleh Kolonel Soehario selaku Pangdam. Pada tanggal 21 September, Soehario ditunjuk oleh Chaerul Saleh selaku Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan sebagai manajer yang baru. Aset-aset Shell baru dikembalikan pada tanggal 21 Desember 1963, ditandai dengan kedatangan badan pengurus baru yang diketuai oleh Tuan Stiles, seorang berkebangsaan Amerika.[24][25] Penangkapan dan kematianSetelah gagalnya Gerakan 30 September, pihak militer melakukan aksi pembersihan besar-besaran. Fachrul termasuk yang terjaring di dalamnya akibat statusnya sebagai anggota PKI sekaligus pengurus partai tersebut di Kalimantan Timur. Dia ditangkap pada tanggal 16 Oktober 1965 dan divonis hukuman mati oleh pengadilan subversi pada tanggal 29 November 1965 di Balikpapan. Sebelumnya, Fachrul sempat dibujuk oleh Gubernur Abdoel Moeis Hassan untuk menegaskan sikapnya terhadap peristiwa Gerakan 30 September. Akhirnya, pada tanggal 4 Oktober, DPRD Kalimantan Timur menegaskan sikapnya, yakni mengutuk gerakan tersebut dan berdiri sepenuhnya di belakang Presiden Sukarno.[26] Dia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi di Balikpapan pada bulan Juni 1969 dan vonisnya diringankan menjadi hukuman seumur hidup.[2][27][28] Fachrul pada awalnya ditahan di Balikpapan, sebelum kemudian dipindahkan ke RTM (Rumah Tahanan Militer) di Jakarta pada dekade 1970-an. Dia bertemu langsung dengan para mahasiswa yang ditahan oleh tentara karena terlibat dalam demonstrasi Malari pada tahun 1974. Berkat latar belakangnya sebagai keturunan Nabi, Fachrul mampu mengajarkan Bahasa Arab kepada tahanan lain.[28] Menurut A.M. Fatwa yang juga menjadi tahanan RTM saat itu, ia seringkali dipercaya menjadi imam salat berkat bacaannya yang fasih.[29] Fachrul dibebaskan dari tahanan pada tahun 1984 dan tinggal di Samarinda Seberang. Tak lama setelah dibebaskan, dia meninggal dunia.[2][28] Referensi
Daftar Pustaka
|