FKS Food Sejahtera
PT FKS Food Sejahtera Tbk (IDX: AISA) merupakan perusahaan yang memproduksi makanan yang bermarkas di Jakarta, Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1990, dengan produk utama berupa aneka jenis makanan jadi. FKS Food sudah memegang sertifikasi ISO 9001:2008, HACCP, dan halal MUI. Produk-produknya yang dikenal publik, seperti makanan ringan Taro dan Mie Kremezz, permen Gulas, dan mi bermerek Superior, Ayam 2 Telor dan Bihunku. Tercatat, perusahaan ini sudah berganti nama beberapa kali. Mulai dari Asia Intiselera saat awal berdiri, kemudian menjadi Tiga Pilar Sejahtera Food pada tahun 2003,[1] dan sejak Maret 2021 menjadi FKS Food Sejahtera.[2] SejarahPT Tiga Pilar SejahteraSejarah PT FKS Food Sejahtera Tbk dapat ditarik ke dua perusahaan mi dan bihun. Perusahaan pertama adalah PT Tiga Pilar Sejahtera, yang didirikan oleh Joko Mogoginta, Budhi Istanto dan Priyo Hadisusanto pada tahun 1992, dengan hanya dibantu oleh 25 karyawan. Nama "Tiga Pilar Sejahtera" (TPS) diambil dari nama leluhur dua pendiri perusahaan ini, yaitu Tan Pia Sioe (ayah Priyo dan kakek Joko). Tan dikenal sebagai pemilik dari Perusahaan Bihun Cap Cangak Ular di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang ia rintis pada tahun 1959 bersama rekannya Tan Sian Kak dan memproduksi bihun jagung. Bisnis Tan pun mulai berkembang, dengan pada 1970-an sudah mulai menggunakan mesin[3] serta produknya berhasil menjadi pemimpin pasar di Jawa Tengah dan sekitarnya.[4] Modernisasi kemudian dilanjutkan oleh Priyo yang merupakan penerus Tan sejak 1980.[5] Pendirian PT TPS merupakan upaya untuk memprofesionalisasi dan memodernkan usaha keluarga yang sudah berusia lebih dari 30 tahun saat itu. Tidak lama setelah pendirian PT TPS, dari awalnya hanya memproduksi bihun merek Cangak, Filtra dan Superior,[6] ekspansi dilakukan dengan mulai memproduksi mi kering bermerek Superior, dan kemudian pada 1995 didirikan pabrik di Karanganyar, Jawa Tengah yang memiliki tujuh lini produksi mi dan bihun berkapasitas 30.000 ton/tahun. Beberapa tahun kemudian, juga dibangun pabrik baru di Sragen seluas 25 hektar pada 2000 yang menyatukan segala fasilitas produksi, dan pada awal 2002, PT TPS sudah terjun ke bisnis mi instan yang dibangunnya sejak 2001 dengan merek yang sama, yaitu Superior.[7][8][9] Mi Superior ditujukan untuk masyarakat menengah ke bawah, dengan penjualannya pernah mencapai 20.000 karton/hari.[10] Selain mi instan, PT TPS juga mencanangkan rencana untuk meluncurkan produk pangan baru lainnya, seperti makanan ringan (wafer dan biskuit), permen dan minuman.[4] PT Asia IntiseleraAda juga perusahaan kedua bernama PT Asia Intiselera, yang juga sebuah perusahaan mi. Perusahaan ini bermula dari PT Pabrik Mie Asia, yang didirikan oleh Kang Tong Poo (kemudian berganti nama menjadi Kang Poernomo Hidayat)[11] pada tahun 1953,[12] awalnya hanya dengan modal Rp 30.000 sebagai industri rumahan mi di Bungur, Senen, Jakarta Pusat.[5][13] Produknya dikenal dengan nama Ayam 2 Telor, dan kemudian berkembang menjadi salah satu merek mi kering terpopuler di Indonesia. Untuk meluaskan produksi, pada tahun 1974, pabrik perusahaan ini dipindah dari Jakarta ke Cimanggis, Bogor yang memiliki luas 4.130 meter persegi.[11] Pada 26 Januari 1990, PT Pabrik Mie Asia didirikan kembali dengan nama baru, yaitu PT Asia Intiselera. Di era ini, diversifikasi mulai dilakukan, dengan mengeluarkan produk mi instan sejak 1990 dalam merek Ha Ha Mi, Mi-Kita[14] dan Bossmi untuk pasar lokal dan ekspor, terjun ke bisnis makanan laut beku,[13] dan adanya upaya memproduksi makanan ringan. Kapasitas pabriknya di Cimanggis pada 1990-an tercatat meliputi mi kering sebesar 37.500 ton, mi instan 10.500 ton dan makanan ringan 1.500 ton per tahun[15] dengan luas sudah menjadi 13.000 meter persegi[11] yang memiliki 9 lini produksi dan dibantu 300 karyawan.[15] Direncanakan, pabrik PT Asia Intiselera akan bertambah dua lagi, yaitu di Sidoarjo dan Palembang demi memenuhi pasar masing-masing daerah. Selain itu, untuk menopang usahanya perusahaan sejak 1994 juga mendirikan PT Asia Niaga Prakarsatama sebagai perusahaan distribusi.[16] Kemudian, untuk menambah modal terutama untuk perusahaan anaknya, di bulan April 1997 PT Asia Intiselera mengumumkan rencananya melepas 35% sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada 15 Mei 1997. Sebelum penawaran umum perdana (IPO) dilakukan, kepemilikannya terdiri dari PT Saptakencana Asiaprima (74,2%) dan PT Limakarsa Asiasejahtera (25,8%) yang dimiliki keluarga Kang. Selain dari keluarga Kang, tercatat Grup Nagamas yang bergerak di industri makanan laut[17] sempat memiliki perusahaan ini. Proses IPO ini tuntas dilakukan pada 11 Juni 1997, dengan harga penawaran saham Rp 950.[18][19] Sahamnya diberi kode AISA, yang masih digunakan saat ini. Sebuah peristiwa kecil menimpa PT Asia Intiselera Tbk pada tahun 2000-2001. Pada 18 Juni 2001, Bapepam-LK mendenda perusahaan ini sebesar Rp 500 juta akibat dugaan manipulasi keuangan perusahaan. Diketahui manajemen perusahaan telah menyalurkan dana hasil IPO sebesar Rp 12,26 miliar kepada induknya, PT Saptakencana Asiaprima dalam bentuk pinjaman, meskipun awalnya ditujukan untuk ekspansi bisnis perusahaan. PT Asia Intiselera Tbk juga meminjamkan dana kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa yaitu Cahyadi Kumala dan Jijin S. Japiarbudhi masing-masing sebesar Rp 165 juta dan Rp 3,45 milyar tanpa persetujuan pemegang saham independen dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Kasus ini terbongkar setelah Bapepam-LK menelisik laporan tahunan perusahaan per 31 Desember 2000.[20][21] Akuisisi dan ekspansiPada Oktober 2003,[22] lewat mekanisme rights issue, pemilik PT Tiga Pilar Sejahtera (Joko Mogoginta dkk) resmi mengakuisisi kepemilikan PT Asia Intiselera Tbk. Selain dilakukan dalam rangka backdoor listing PT TPS, akuisisi ini juga dalam rangka PT TPS meningkatkan bisnisnya lewat pengambilalihan sejumlah merek yang cukup terkenal seperti mi telur Cap Ayam 2 Telor. Nama PT Asia Intiselera Tbk kemudian diganti menjadi PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk di tahun yang sama, sedangkan PT TPS yang asli dijadikan anak usahanya.[8] Meskipun demikian, keberadaan pemilik lama masih dapat dilihat pada posisi dewan komisaris yang salah satunya berasal dari keluarga Kang (seperti Kang Hongkie Widjaja).[23][24] Untuk menciptakan citra baru, sejak 2007 PT TPS Food Tbk telah menggunakan logo baru,[12] yang digunakan hingga 2021. Di bawah kepemimpinan Joko Mogoginta, PT TPS Food Tbk kemudian dengan cepat terus berekspansi kembali. Pada tahun 2008, misalnya dilakukan akuisisi pada 3 perusahaan: PT Poly Meditra Indonesia (produsen permen dan penganan Gulas, Gulas Plus, dan Growie, dimana Gulas adalah pemimpin pasar permen asam); PT Patra Power Nusantara yang merupakan perusahaan pembangkit listrik (yang ditujukan untuk pabrik TPS Food), dan PT Bumiraya Investindo yang bergerak pada perkebunan kelapa sawit di Pulau Sumatra dan Kalimantan seharga Rp 500 miliar.[25] Kemudian, pada akhir 2011, PT TPS Food Tbk mengakuisisi merek Taro dari PT Unilever Indonesia Tbk, dan pada akhir 2012 perusahaan membeli PT Subafood Pangan Jaya yang memproduksi bihun jagung senilai Rp 100 miliar.[8] Akan tetapi, yang kemudian jauh lebih besar adalah masuknya PT TPS Food Tbk ke bisnis beras, lewat PT Dunia Pangan yang baru diakuisisinya dan mempunyai tiga anak usaha: PT Indo Beras Unggul, PT Jatisari Srirejeki, dan PT Sukses Abadi Karya Inti yang bergerak di pemrosesan dan penggilingan beras (ditambah kemudian akuisisi lagi pada PT Alam Makmur Sembada). Dengan cepat, dalam dua tahun setelah akuisisi (2010), sebanyak 58% pendapatan AISA berasal dari bisnis berasnya. Menurut pihak PT TPS Food Tbk, akuisisi dilakukan demi memperluas cakupan produk TPS Food guna memenuhi perubahan selera dan permintaan pasar yang semakin dinamis.[8][9] Prospektifnya bisnis perusahaan pra-2017 sempat mengundang beberapa investor asing sebagai mitra strategis, seperti lembaga investasi KKR dan perusahaan agribisnis Bunge Limited.[23] Bahkan, direncanakan bisnis kelapa sawit perusahaan (di bawah PT Golden Plantation Tbk) akan dilepas ke Bunge, dengan dana yang didapatkan akan digunakan bagi ekspansi TPS Food ke bisnis minuman.[26] Kontroversi, penurunan dan perubahan kepemilikanKontroversi bermula sejak 2017, dimana saat itu Satgas Pangan dan kepolisian melakukan sidak ke pabrik Indo Beras Unggul yang menemukan tindakan pengoplosan beras bersubsidi jenis IR64 yang diubah menjadi merek Cap Ayam Jago dan Maknyuss yang dijual dengan harga premium (lebih mahal). Saat itu, manajemen Tiga Pilar menolak tuduhan tersebut. Mereka menyebut bahwa mereka melakukan pembelian langsung dari petani dan bukan dari beras bersubsidi. Selain itu, mereka menyebut bahwa beras medium dan premium adalah berdasarkan kondisi fisik serta bukan berasal dari varietas. Mereka juga menolak mengatakan bahwa mereka menjual harga yang tidak sesuai dengan harga pasaran dan di atas ketentuan karena dengan harga di atas ketentuan dianggap sebagai insentif bagi petani yang menghasilkan beras dengan kualitas yang sesuai, serta menolak disebut memonopoli bisnis beras. Kontroversi berlanjut dengan adanya penolakan atas laporan keuangan tahun 2017 oleh pemegang saham dan dua komisaris perusahaan yaitu Hengky Koestanto dan Jaka Prasetya dalam Rapat Umum Pemegang Saham yang sempat menimbulkan kisruh, hingga membuat direktur utama perusahaan saat itu, Joko Mogoginta menyebut ini adalah tindakan pengambilalihan paksa atau hostile take-over. Penolakan laporan keuangan ini didasarkan pada beberapa angka di neraca aset dan liabilitas yang diduga digelembungkan oleh manajemen perusahaan, seperti pada pos piutang dan persediaan, serta adanya transaksi berelasi yang tidak diungkapkan dalam laporan keuangan perusahaan, yang kemudian diulas kembali oleh kantor Ernst & Young dan dilaporkan manajemen baru perusahaan kepada Bursa Efek Indonesia. Manajemen kemudian mengadukan tindakan ini kepada kepolisian dan menyeret Joko Mogoginta sebagai Direktur Utama saat itu dan Budhi Istanto Suwito sebagai direktur saat itu ke jeruji penjara. Kekisruhan ini menyebabkan kinerja perusahaan menurun dan perusahaan gagal membayar obligasi dan sukuk yang diterbitkan, serta beberapa hutang bank. Kreditur perusahaan melakukan tindakan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dimana PKPU berakhir damai pada 2019 lalu.[27][28] Meski demikian, beberapa anak usaha Tiga Pilar, terutama divisi beras seperti Dunia Pangan, Jatisari Rejeki dan Sukses Abadi Karya Inti mengalami kepailitan sehingga perusahaan tidak mengonsolidasikan (menggabungkan) laporan keuangan divisi beras ke laporan keuangan terakhir mereka. Perusahaan dalam perkembangannya berupaya melakukan perbaikan dan restrukturisasi bisnis, seperti upaya menegaskan pengendalian atas Poly Meditra Indonesia, Patra Power Nusantara dan Tiga Pilar Sejahtera yang masih belum dapat dikendalikan oleh perusahaan.[29] Baru-baru ini, mereka menggandeng investor baru yaitu FKS Group melalui Pangan Sejahtera Investama yang masuk melalui penerbitan saham baru (rights issue) dan dieksekusi pada 9 Maret 2020 lalu, dimana penerbitan saham baru ini senilai 32,77% saham yang ditempatkan dan disetor penuh dalam perusahaan. Dari penerbitan saham baru ini, perusahaan meraih dana segar sejumlah Rp 329,46 miliar. Akibat perubahan pengendali ini, PT TPS Food Tbk berpindah kepemilikan menjadi ke FKS,[12] dan sejak 25 Maret 2021 telah berganti nama menjadi PT FKS Food Sejahtera Tbk.[30] Adapun FKS merupakan perusahaan agribisnis (gula, jagung dan kedelai) yang dikendalikan keluarga Kusuma (Edy dan Agung C. Kusumo) dan tidak terafiliasi dengan pemilik lama PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (Joko Mogoginta dkk).[31] Laporan keuangan perusahaan pada 2017 yang disajikan kembali (karena laporan keuangan sebelumnya yang tidak disetujui akibat tindakan penggelembungan oleh manajemen sebelumnya) menyatakan penurunan aset sekitar 79% akibat penyisihan piutang tidak tertagih sejumlah Rp 4,3 triliun dan penyisihan investasi dari divisi beras yang dinyatakan pailit serta dekonsolidasi (pemisahan) sejumlah masing masing Rp 893 miliar dan Rp 628 miliar dan penyajian aset kembali karena belum bisa terkonsolidasinya semua perusahaan di grup Tiga Pilar Sejahtera Food.[32][33] Karena penurunan nilai aset dan penyisihan tersebut, perusahaan mencatatkan rugi bersih Rp 5,3 triliun, dengan pendapatan turun dari Rp 6,4 triliun menjadi Rp 1,95 triliun. Hal ini menyebabkan perusahaan mengalami defisiensi ekuitas sejumlah Rp 3,3 triliun dengan saldo rugi sejumlah Rp 5,48 triliun. Manajemen
Referensi
Pranala luar
|