Erwiana Sulistyaningsih
Erwiana Sulistyaningsih (lahir 7 Januari 1990) adalah seorang wanita Indonesia asal Ngrambe yang disiksa oleh majikannya saat bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong. Kasus ini menarik perhatian pemimpin kedua negara, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Kepala Eksekutif Hong Kong Leung Chun-ying.[1][2] Latar belakangErwiana lahir pada tanggal 7 Januari 1991, putri dari pasangan Rohmad dan Suratmi Saputra. Ayahnya adalah seorang pekerja serabutan. Setelah lulus SMA, ia ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi untuk menjadi seorang akuntan, namun tidak terwujud karena kondisi ekonomi keluarganya. Alasan yang sama memaksa Erwiana untuk melamar pekerjaan sebagai tenaga kerja migran di Hong Kong. Menurut Antik Priswahyudi, anggota Serikat Buruh Migran Hongkong, sebetulnya Erwiana tidak mau menjadi TKI, tapi karena tidak ada biaya dan melihat kondisi perekonomian orang tua, Erwiana mencoba mencari biaya kuliah dengan menjadi TKI di Hong Kong.[3] Pada tahun 2012, Erwiana mendapatkan informasi untuk menjadi TKI melalui PT Graha Ayu Karsa. Berawal dari informasi tersebut, ia berangkat ke Hongkong melalui perusahaan itu pada tanggal 27 Mei 2013. Setelah mengantongi visa kerja, Erwiana berangkat ke Hongkong seorang diri. Di sana, ia bertemu perwakilan PT Graha Ayu Karsa yang menunggunya di bandara. Ia pun langsung dibawa menemui majikan yang tinggal di apartemen beralamat di Tong Ming Street, Kowloon, Hong Kong.[3] PenyiksaanErwiana disiksa secara fisik dalam waktu 8 bulan oleh majikannya, Law Wan-tung. Ia mengaku bahwa ia dipaksa tidur di lantai, bekerja 21 jam per hari, dan tidak diizinkan libur. Jika ia tidak membersihkan rumah atau lambat menanggapi panggilan majikan, ia akan dipukuli.[4][5] Ia mengaku bahwa ia kerap dipukuli dengan berbagai peralatan rumah tangga seperti gagang sapu, penggaris, dan gantungan baju.[6] Setelah disiksa selama 8 bulan, luka-lukanya terinfeksi dan Erwiana tidak dibawa berobat ke dokter . Ia dibiarkan dalam kondisi lemah dan tidak mampu berjalan. Majikannya mengatur keberangkatannya ke Indonesia dan memberinya uang sejumlah $70 HKD serta mengancam akan membunuh orangtuanya jika ia berani menceritakan penyiksaannya pada orang lain.[6] Majikannya meninggalkannya di Bandar Udara Internasional Hong Kong dengan rute sambung menuju Jakarta dan Solo menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Ditinggalkan sendirian di bandara dan tidak mampu berjalan, Erwiana bertemu dengan Rianti, rekannya sesama warga negara Indonesia, yang membantu mengantarkannya ke rumahnya di Ngawi. Rianti juga membawanya ke Rumah Sakit Amal Sehat di Sragen untuk merawat luka-lukanya.[3] Law Wan-tung ditangkap di Bandar Udara Internasional Hong Kong saat berupaya untuk terbang ke Thailand. Ia didakwa oleh pengadilan Kwun Tong telah melakukan tindakan kekerasan fisik dan empat dakwaan kriminal lainnya. [7][8] Ia dibebaskan dengan uang jaminan senilai $1M HKD. ReaksiPeristiwa ini memunculkan kekhawatiran mengenai perlakuan terhadap pembantu rumah tangga di Hong Kong. Pada November 2012, Amnesty International mengutuk pemerintah Hong Kong dan Indonesia karena mengizinkan kondisi yang membuat wanita rentan terhadap eksploitasi, termasuk pembatasan kebebasan, kekerasan fisik dan seksual, kekurangan makanan, dan jam kerja yang panjang.[5] Karena polisi tidak menyelidiki kasus ini sebagai kasus kriminal, unjuk rasa digelar di Hong Kong dengan lebih dari 5000 orang dan berbagai kelompok HAM menyerukan penegakan keadilan bagi Erwiana.[4][9] Pemerintah Hong Kong mengutus perwakilannya ke rumah sakit tempat Erwiana dirawat untuk mewawancarainya.[10] TIME's 100Pada bulan April 2014, majalah TIME merilis edisi baru "100 Most Powerful Persons",[11] dan menempatkan Erwiana Setyaningsih dalam daftar untuk kategori 'Icons'. Aktivis antikekerasan Somaly Mam menyatakan bahwa Erwiana adalah "inspirasi" bagi buruh migran lainnya untuk berjuang melawan kekerasan dan diskriminasi. Erwiana menjadi satu dari sedikit wanita Indonesia yang pernah masuk daftar ini. Dalam penjelasannya di majalah Time, Mam menyatakan: "Setelah delapan bulan, Erwiana kembali ke kampung halamannya dengan tubuh penuh luka bakar, memar, dan koreng menganga, sulit melihat dan berjalan, namun Erwiana tak lantas menyerah, ia tak bisa dibungkam. Perempuan itu berteriak melawan perempuan yang kini menghadapi tuduhan telah melukai dan menyiksanya. Tak hanya itu, dengan bantuan keluarga dan orang-orang yang peduli, Erwiana memperjuangkan UU untuk melindungi orang-orang yang senasib dengannya. Hanya perempuan pemberani seperti dia, yang berani berbicara untuk mereka yang tak bersuara, yang akan menciptakan perubahan yang abadi." Saat Erwiana mendengar kabar ini,[12] ia mengungkapkan bahwa ia senang sekali, berharap tak ada lagi wanita yang diperlakukan seperti dirinya. Pranala luar
Referensi
|