Dosni Roha Indonesia
PT Dosni Roha Indonesia Tbk adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: ZBRA) yang bergerak sebagai perusahaan investasi, terutama di anak usahanya yang bergerak dalam bisnis distribusi dan logistik aneka produk, seperti farmasi. Berkantor pusat di Satrio Tower, Jl. Prof. Dr. Satrio, Jakarta Selatan,[1] perusahaan ini telah beberapa kali mengganti nama dan bidang usaha yang digelutinya. Manajemen
Kepemilikan
Anak usaha
SejarahPerusahaan taksiPerusahaan ini didirikan pada 8 Januari 1987 dengan nama PT Zebra, yang kemudian berganti menjadi PT Zebra Taxi pada 29 September 1987.[4] Bisnis awalnya adalah sebagai penyedia jasa taksi di Surabaya, Jawa Timur, dengan mulanya hanya memiliki 10 armada[5] dan kemudian menjadi 25 armada.[6] Bisnis taksi ini dirintis oleh pengusaha muda Pudjianto yang mengembangkannya dengan dana pinjaman dari bank pemerintah.[7] Pudjianto bisa dikatakan menempuh cara unik demi membantu permodalan perusahaannya. Saat banyak perusahaan masih belum melirik pasar modal, PT Zebra Taxi menempuh jalur tersebut, dengan langsung mencatatkan sahamnya di bursa saham, yaitu di Bursa Paralel Indonesia (BPI). Di BPI, PT Zebra tercatat sebagai perusahaan perdana yang melepas sahamnya di bursa ini.[8] Sahamnya yang dilepas adalah sebesar 2,5 juta saham, dengan harga perlembar Rp 1.500 sejak 2 Februari 1989.[9] Meskipun masih belum untung, tercatat minat masyarakat dan investor asing untuk membeli sahamnya cukup baik,[8] sehingga harganya sempat naik ke Rp 2.600/lembar.[10] Dalam perkembangannya, PT Zebra mulai mengurus izin untuk mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Surabaya (BES) sejak akhir 1989.[11] Akhirnya, saham perusahaan ini (berkode emiten ZBRA) resmi dicatatkan di BES dan Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada 1 Agustus 1991,[5][12] berpindah pencatatan dari BPI dengan harga penawaran Rp 4.650 dan melepas 4,39 juta lembar sahamnya.[13] Sebelumnya, sejak 26 Mei 1990, nama PT Zebra Taxi diganti menjadi PT Zebra Nusantara.[4] Belakangan, bisnis taksi Zebra pun berkembang pesat, dengan menjadi salah satu perusahaan taksi utama di "Kota Pahlawan" tersebut,[14] dengan pada tahun 1990 meraup pangsa pasar 45%[7] serta dibantu 300 armada[15] dan di tahun 1991 telah memiliki 900 armada.[16] Belakangan, di tahun 1993 perusahaan sudah memiliki 1.500 unit taksi dan menyediakan jasa limosin, serta menjadi taksi resmi sejumlah hotel ternama di Surabaya.[5] Untuk membantu pemasarannya juga, PT Zebra Nusantara melakukan beberapa terobosan, seperti menawarkan promosi kupon (voucher) yang bisa dijadikan hadiah demi menumpang taksi Zebra secara gratis,[17] maupun tabungan Tabanas berhadiah bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menumpang di taksinya.[18] Bisnis Pudjianto pun berkembang, selain perusahaan ini, ia tercatat pernah memiliki PT Sepanjang Surya Gas[19] dan memiliki Mega Bank bersama Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bapindo.[20] Pudjianto kemudian tercatat masih menguasai sekitar 21,9% saham perusahaan ini dan menjadi Presiden Direktur di Desember 1995.[21] Aset perusahaan pada tahun tersebut mencapai Rp 45,3 miliar dengan keuntungan Rp 1,1 miliar.[22] Belakangan, masuklah Jopie Widjaja, seorang pengusaha yang saat itu sedang aktif mengembangkan bisnis taksi, dengan bendera PT Steady Safe dan telah mengambilalih banyak perusahaan taksi lainnya. Jopie bermaksud untuk mengendalikan PT Zebra Nusantara dari tangan Pudjianto. Mulanya, Jopie yang melihat harga saham Zebra yang murah, membeli sekitar 20% saham di perusahaan ini.[23] Kepemilikan Pudjianto pun merosot kemudian menjadi 1,94% saja. Pada Juli 1995, Jopie awalnya berusaha menguasai mayoritas kepemilikan ZBRA lewat hostile takeover, namun gagal total sehingga ia pada 25 Januari 1996 memutuskan menawarkan tender offer kepada pemegang saham lain (termasuk investor asing) untuk mengakuisisi mayoritas saham perusahaan ini.[24] Belakangan, Jopie sukses menjadi penguasa 58,34% saham PT Zebra Nusantara sejak Maret 1996.[25] Tahun itu juga, ZBRA melakukan stock split dari Rp 1.000/lembar menjadi Rp 500/lembar.[4] Di tahun 1997, PT Zebra Nusantara Tbk sudah memiliki 1.400 armada, dengan 280 armadanya berasal dari bahan bakar gas[26] (kemudian menjadi 300 armada BBG pada 1998).[27] Zebra merupakan perusahaan taksi pertama yang mengembangkan kendaraan taksi berbasis BBG.[28] Perusahaan juga memiliki beberapa fasilitas, seperti pool di Berbek dan Tanjung Sari Mas, Surabaya.[29] Meskipun demikian, akibat krisis moneter di akhir 1990-an, PT Zebra Nusantara yang memiliki 3.000 pegawai ini harus melakukan beberapa efisiensi,[30] seperti menunda peremajaan dan rehabilitasi armadanya.[28] Belakangan, di tahun 1999, sempat juga dikabarkan petualang pasar modal dan pebisnis George Soros akan menginvestasikan modalnya di perusahaan ini.[31] Pada awal 2000-an, meskipun diwarnai banyak pesaing baru, Zebra tetap mempertahankan posisinya sebagai market leader taksi di Surabaya dengan pangsa pasar 20-23%. Seiring peremajaan armada, armada taksinya yang berjumlah 1.500 unit mayoritas juga menjadi berbahan bakar BBG (lebih spesifiknya CNG), sebagai bentuk efisiensi.[28] Di tahun 2003, perusahaan mencatatkan 1.318 unit taksi.[32] Pada tahun-tahun ini, Zebra mulai mencanangkan beberapa ekspansi. Di tanggal 1 Agustus 2003, dari tangan Ismail Sarif, perusahaan membeli 96% saham PT Surabaya Artautama Bersama yang mengoperasikan taksi Garuda di Surabaya sejak pertengahan 1996,[33] awalnya dengan modal 40 unit taksi.[22] Kemudian, pada 10 Agustus 2005, sebagai pengembangan bisnisnya di bidang perdagangan dan jasa, khususnya BBG.[4][33] Ditargetkan, bisnis BBG perusahaan dapat berkembang ke pihak lain, seperti Transjakarta. Tidak hanya itu, perusahaan ini juga mencanangkan untuk meningkatkan armadanya di tahun tersebut menjadi 1.500-2.000 unit (Hyundai Excel), dengan harapan akhir menjadi 6.000 unit dari saat itu memiliki 600 unit. Untuk memuluskan hal ini, manajemen menargetkan dapat mengundang investor baru dari Malaysia, Singapura dan Australia.[34] Penurunan usaha dan perubahan fokus bisnisAkan tetapi, dalam perkembangannya memasuki pertengahan 2000-an, perusahaan ini mulai mengalami tekanan pada bisnis taksinya. Tercatat, pasca kenaikan harga bahan bakar di tahun 2005, kinerja perusahaan mulai menurun. Penurunan ini direfleksikan dalam harga sahamnya yang merosot sampai Rp 47, dan ancaman BEJ bahwa sahamnya bisa di-delisting pada tahun 2010 jika tidak kunjung memperbaiki keadaannya. Sempat juga perusahaan ini disuspensi perdagangannya akibat tidak membayar biaya pencatatan reguler.[35] Belum lagi dengan adanya kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, diakui manajemen membuat kinerjanya menurun, karena harga BBG yang naik akibat suplainya terganggu, adanya penutupan jalan sehingga waktu tempuh lebih lama, dan menurunnya produktivitas karyawan. Tekanan ini membuat perusahaan merugi, dari Rp 9,4 miliar pada 2006 dan Rp 8,2 miliar pada 2007 serta pendapatan menurun dari Rp 39,3 miliar menjadi Rp 27,4 miliar pada periode yang sama. Untuk mengatasinya, perusahaan mulai melakukan efisiensi, tidak melakukan penambahan armada baru dan berusaha memaksimalkan sarana yang ada demi menciptakan keuntungan.[36][37] Selain itu, diversifikasi juga berusaha dilakukan dengan mendirikan dry port bersama PT Kereta Api Indonesia di Jababeka, Bekasi dengan modal Rp 400-500 miliar.[38] Sebagai upaya realisasinya telah didirikan PT Zebra International Dry Port pada 12 September 2008,[32] sedangkan pembangunannya direncanakan akan dilakukan pada 2008-2010.[39] Pada 14 Juni 2008, PT Zebra Nusantara Tbk juga sudah mendapatkan ISO 9001:2000 dari SGS.[32][40] Usaha perbaikan lain pun dicanangkan, seperti mencari modal segar lewat penjualan atau penggadaian aset, upaya peremajaan armadanya (yang sudah merosot menjadi 380 unit) dan menambahnya menjadi 600 unit dengan sedan Proton, upaya mengembangkan bisnis SPBU BBG, dan mengembangkan layanan transportasi antarkota dengan MPV.[41] Di tahun 2010 juga, dalam rangka pengembangan usaha BBG, aset BBG perusahaan telah dialihkan ke anak usaha PT Zebra Energi.[4] Pada tahun 2011, perusahaan bersama pemegang sahamnya, PT Infiniti Wahana dan Shenzen Hashi Future Parking Equipment Co. menawarkan ke Pemprov DKI Jakarta untuk mengoperasikan teknologi baru straddling bus bersistem bangun-guna-serah (BOT) sebagai pengganti monorel yang diharapkan akan selesai proyeknya pada tahun 2013 untuk rute Blok M-Kota.[42] Namun, sayangnya semakin lama, bisnis perusahaan ini pun makin menurun, ditunjukkan dengan makin merosotnya kualitas taksi Zebra di mata pelanggannya dan warga Surabaya. Armadanya nampak tua, kurang terawat, belum lagi ditambah kasus seperti pengemudi yang tidak profesional.[43] Pendapatannya tahun 2012 pun menurun menjadi Rp 19,5 miliar, yang juga terjadi pada asetnya. Malah, usaha taksi yang merupakan bisnis utamanya merugi Rp 9,3 miliar pada 2012, sedangkan bisnis BBG di tahun yang sama masih mendatangkan keuntungan yang kecil (Rp 617 juta).[44] Tren kerugian ini terus berlanjut pada tahun 2014.[45] Malahan, pada tahun sebelumnya, perusahaan ini sempat disuspensi (secara singkat) perdagangannya di Bursa Efek Indonesia (BEI), ditambah denda dan surat peringatan karena terlambat melaporkan laporan keuangannya.[46] Pada tahun 2014, armada taksi perusahaan sudah menurun menjadi 45 unit, ditambah anak usahanya taksi Garuda sebesar 47 unit.[47] Untuk menyehatkan keuangannya, di tahun tersebut perusahaan melakukan konversi hutang menjadi saham.[48] Tidak hanya itu, pihak ZBRA juga mencanangkan "kebangkitan" dengan rencana membeli 130-400 unit taksi Proton (Proton Saga dan Persona) seharga Rp 41,5 miliar, dengan target pendapatan akan naik menjadi Rp 47 miliar.[49] Diharapkan, armada taksi perusahaan akan menjadi 500 unit.[50] Anak usahanya, PT Zebra Energi juga mulai dikembangkan dalam bisnis BBG, bekerjasama dengan Perusahaan Gas Negara, mengoptimalkan dua SPBG di pool-nya di Berbek dan Tanjung Sari, menyewakan jasa tabung dan kompresor BBG,[51] serta melayani aneka kontrak.[52] Diharapkan, dari pendapatan Rp 47 miliar diatas, sekitar Rp 17 miliarnya bisa didapat dari bisnis BBG.[53] Akhirnya, pukulan telak didapatkan taksi Zebra ketika harus bersaing dengan maraknya taksi daring yang menjamur di berbagai kota-kota di Indonesia, termasuk Surabaya sejak pertengahan 2010-an. Penurunan itu pun membuat gaji karyawan tertunggak selama beberapa waktu.[54] Akibatnya, mulai tahun 2017, PT Zebra Nusantara Tbk terpaksa menghentikan total bisnis taksi yang sudah digelutinya sejak awal, termasuk pada anak usahanya, taksi Garuda.[4][55] Maka, perusahaan kini hanya berbisnis di bidang BBG saja, yang memang pada tahun 2018 mencatatkan kenaikan pendapatan menjadi Rp 17,66 miliar. Bisnis gas yang ditangani adalah sewa-menyewa peralatan gas dan suplai gas PGN ke industri.[56] Tidak hanya itu, ada rencana juga menambah jumlah SPBG yang dimiliki dan perluasan kontrak gas industri ke Pati, Tuban, dan lainnya. Belanja modal pada tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp 5 miliar dalam mengembangkan bisnis gas ini. Walaupun manajemen menganggap perubahan fokus ke bisnis gas ini (yang ditangani anak usaha PT Zebra Energi) cukup potensial, rupanya perusahaan yang mayoritas (71,46%) sahamnya dipegang PT Infiniti Wahana ini[57] tidak terlalu direspon positif oleh pasar modal, dengan harga sahamnya hanya tertahan di angka Rp 50. Di tahun 2019, PT Zebra Nusantara Tbk juga berencana untuk menghidupkan bisnis transportasi, tetapi kali ini berupa shuttle bus atau bus wisata berenergi listrik.[58] Akan tetapi, sempat juga dalam kesempatan lain manajemen menyatakan akan membangun bisnis taksi lagi (kali ini online/daring), dengan modal awal 50 unit (saat itu ZBRA hanya memiliki sisa 29 unit) jika sudah mendapat investor baru.[59] Meskipun demikian, masalah pun masih belum lepas dari perusahaan ini. Pada tahun 2017, perusahaan ini terlambat menyampaikan laporan keuangannya ke BEI, sehingga perdagangan sahamnya harus disuspensi sejak 3 Juli 2017.[60] Belakangan, memasuki tahun 2019, sahamnya tidak kunjung dicabut suspensinya, sehingga terancam akan di-delisting oleh BEI karena sudah berlangsung dua tahun[61] walaupun akhirnya dibuka kembali sejak 9 Desember 2019.[62] Tidak hanya itu, pada tahun 2019, perusahaan ini malah merugi Rp 996 juta.[63] Sempat juga perusahaan ini berusaha terjun ke layanan data dan hosting dengan mengganti nama anak usahanya, PT Zebra International Dry Port menjadi PT Infiniti Sentra Data di tanggal 21 Juli 2020.[55] Akuisisi dan perubahan namaDi tengah stagnasi bisnis ZBRA tersebut, pada 9 Maret 2021, PT Trinity Healthcare membeli 51% saham PT Zebra Nusantara Tbk, yang dinaikkan menjadi 77,7% (bertambah 26,7%) pada 1 April 2021, menjadikannya pemegang saham mayoritas dan pengendali. Trinity membeli saham itu dari PT Infiniti Wahana dan PT Borneo Nusantara Capital.[64] Bagaimanapun, penjualan saham PT Borneo ke Trinity itu sempat dipersengketakan oleh PT Infiniti, yang melaporkannya ke polisi dengan tuduhan penggelapan karena PT Borneo dituduh menjual tanpa memberitahu ke pemegang saham lain.[65] Meskipun demikian, polemik itu diklaim tidak akan memengaruhi PT Zebra Nusantara Tbk dan pemilik barunya.[66] Akuisisi itu tercatat membuat harga saham ZBRA di BEI sempat naik ratusan persen.[67] Diketahui kemudian Trinity adalah sebuah perusahaan perdagangan yang dimiliki oleh Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo (Rudy Tanoe), saudara pemilik raksasa media MNC Group Hary Tanoesoedibjo.[67] Rudy lalu ditetapkan sebagai pengendali dan pengelola bisnis ZBRA pasca-akuisisi.[68] Kemudian, pasca-akuisisi juga dilakukan pergantian direksi dan komisaris.[4] Lewat sebuah paparan publik pada 13 April 2021, diumumkan bahwa perusahaan akan melakukan rights issue sebesar 3,42 miliar saham (kemudian menjadi hanya 1,71 miliar saham) dengan harga perlembar sahamnya Rp 100 (kemudian menjadi Rp 812/lembar, totalnya Rp 1,39 triliun). Rights issue ini diikuti oleh PT Trinity Healthcare (utama), PT European Hospital Development, PT Holistic Ventures dan PT Jade Green Equities pada Agustus-September 2021. Dana rights issue tersebut, kemudian digunakan untuk mengakuisisi sebuah perusahaan distribusi (terutama farmasi) bernama PT Dos Ni Roha sebanyak 99% sahamnya, sedangkan sisa dananya adalah untuk modal. Maka, kemudian tuntaslah proses backdoor listing PT Dos Ni Roha dengan menjadi anak usaha PT Zebra Nusantara Tbk. Aset perusahaan setelah transaksi tersebut naik menjadi Rp 3 triliun dari sebelumnya hanya Rp 6,7 miliar.[4][69][70][71] Bisnis perusahaan kemudian juga diganti dari bisnis transportasi taksi dan distribusi BBG (gas) menjadi bisnis pengangkutan.[3] Upaya backdoor listing dan pergantian kepemilikan ke Rudy Tanoe itu memang membawa efek positif bagi perusahaan ini. Dari pendapatan sebelumnya hanya Rp 14,7 miliar, kemudian naik tajam menjadi Rp 4,3 triliun, ditambah ekuitas yang menjadi positif dan kenaikan aset.[72] Penjualan di kuartal III 2021 juga naik dari Rp 8,8 miliar di periode yang sama tahun 2020 menjadi Rp 2,7 triliun.[73] Bahkan, diperkirakan angka penjualan PT Zebra Nusantara Tbk di tahun 2020 naik kurang lebih 30.000%.[74] Untuk lebih menyelaraskan dengan anak usahanya dan mengubah citra ZBRA di mata masyarakat dalam rangka transformasi bisnis, sejak akhir 2021, manajemen perusahaan ini sudah berencana akan mengganti namanya.[75] Perubahan nama ini kemudian terealisasi pada 2 Maret 2022, dengan nama PT Zebra Nusantara Tbk diganti menjadi PT Dosni Roha Indonesia Tbk.[76] Kini, seiring perubahan itu, bisnis PT Dosni Roha Indonesia adalah distribusi yang dijalankan melalui anak usahanya, PT Dos Ni Roha.[77] Bisnis perusahaan selain distribusi direncanakan diperluas ke bidang digital marketplace dan merilis produk kesehatan baru.[78] Belakangan ini juga, dikabarkan Yusuf Mansur ikut masuk sebagai pemilik sejumlah kecil saham perusahaan ini (lewat konsorsium) karena dianggap potensial dalam supply chain-nya.[79][80] Karyawan perusahaan pada 2021 menjadi 1.725 orang, naik dari 32 orang pada 2020.[1] Rujukan
Pranala luar |