Disko
Disko adalah salah satu aliran musik untuk dansa yang berkembang pada tahun 1970-an di klub-klub dansa Amerika Serikat. Disjoki di klub dansa memutar serangkaian lagu dari piringan hitam tanpa terputus agar orang dapat terus menari tanpa berhenti. Istilah disko juga dipakai untuk acara, ruang atau gedung tempat orang berdansa/menari diiringi rekaman musik sebagai bentuk hiburan. Disko berasal dari kata discothèque, bahasa Prancis untuk klub dansa,[2] bahasa Indonesia: diskotek). Di diskotek, diputar musik yang dipakai sebagai musik pengiring dansa.[3] Istilah disko awalnya secara spesifik dipakai untuk musik dansa Afrika-Amerika. Namun pada 1970-an, istilah disko dipakai untuk menyebut semua musik dansa yang sedang populer.[2] Di diskotek, para DJ secara khusus memainkan piringan hitam berirama soul dan funk yang cocok dipakai untuk berdansa. Setelah sering diputar di lantai disko, lagu-lagu tersebut mulai sering diputar di radio-radio dan laris terjual.[3] Lagu-lagu disko yang menjadi hit sepanjang tahun 1970-an di antaranya "Fly, Robin, Fly" (1975) dan "Get Up and Boogie" (1979) dari Silver Convention, "Get Dancin" (1975) dari Disco-Tex and the Sex-O-Lettes, "The Groove Line" dan "Boogie Nights" (1977) dari Heatwave, "I Love the Nightlife" dari Alicia Bridges, "Brick House" (1977) dari The Commodores, "I Will Survive" (1978) dari Gloria Gaynor, "Ring My Bell" (1979) dari Anita Ward, "Y.M.C.A" (1978) dari Village People, dan "We Are Family" dari Sister Sledge.[4] SejarahAwal kelahiranMusik disko lahir pada awal tahun 1970-an ketika dansa-dansi sudah menjadi usang dan musik rock yang dimainkan pemusik kulit putih sedang berjaya.[2] Di klub malam dan gedung pertunjukan di utara Inggris, seperti di Blackpool Mecca dan Wigan Casino, pengunjung kulit hitam berdansa beramai-ramai diiringi koleksi piringan hitam R&B dari tahun 1950-an dan 1960-an yang nantinya dikenal sebagai musik northern soul.[2] Sementara itu, di Inggris selatan, benua Eropa, dan komunitas-komunitas gay terjadi kecenderungan untuk kembali ke musik pop untuk berdansa yang dipengaruhi oleh musik orang kulit hitam.[2] Di Amerika Serikat, generasi muda orang kulit putih sedang menggemari musik orang kulit hitam yang dirilis bukan oleh label mayor yang berkedudukan di New York dan Los Angeles, melainkan oleh label-label independen seperti TK Records dari Miami, Philadelphia International Records dan All Platinum Records dari New Jersey.[2] Sebelum berkembang sebagai sebuah kategori artistik yang akhirnya mencakup gerakan-gerakan tari berikut gaya busana dan model rambut, istilah disko dipakai untuk sebuah konteks musik baru yang dirintis para disc jockey di klub-klub dansa underground di New York City yang ramai dikunjungi terutama oleh kalangan minoritas (Afrika-Amerika dan Latino) serta gay.[5] Fenomena disko berakar dari perpaduan artistik kaum gay dan klub-klub underground, terutama klub-klub gay Afrika-Amerika di New York City pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an.[5] Dengan memakai dua pemutar piringan hitam, para DJ memutar lagu-lagu yang sebagian besar berirama soul, funk, dan Latin dari piringan hitam.[5] Para DJ waktu itu mulai menciptakan aliran musik tak terputus di pesta-pesta dansa yang diadakan di kelab malam, loteng, dan bar mengikuti gaya DJ Francis Grasso yang bekerja di diskotek gay Sanctuary, New York City.[5] Piringan hitam musik dansa yang menjadi hit pada tahun 1972 adalah lagu berirama funk "Get on the Good Foot" dari James Brown dan "I'll Be Around" dari grup vokal The Spinners yang beraliran R&B. Artikel pertama mengenai disko ditulis oleh Vince Aletti pada September 1973 untuk majalah Rolling Stone.[6][7] Acara disko pertama di radio disiarkan oleh WPIX-FM di New York City pada tahun 1974.[8] Pada tahun 1973, lagu-lagu berirama funk menjadi populer, misalnya: "Why Can't We Live Together" dari Timmy Thomas, "Superstition" dan "Higher Ground" dari Stevie Wonder, dan "Keep on Truckin'" dari Eddie Kendricks.[2] Meskipun demikian, industri rekaman lambat menyadari adanya tren musik baru hingga kata "rock" mulai disisipkan pada judul-judul lagu yang diciptakan untuk dipakai berdisko. George McCrae membuat hit pada tahun 1974 dengan "Rock Your Baby" dan Hues Corporation menempatkan lagu "Rock the Boat" di urutan nomor satu Billboard Hot 100.[2] Keduanya menandai kelahiran musik piringan hitam untuk berdansa yang mudah diterima semua kalangan berkat ritme yang tidak terlampau cepat dan melodi yang mudah ditiru pendengar.[2] Puncak kepopuleranDari label TK Records yang berpusat di Miami, KC and the Sunshine Band pimpinan Harry Wayne Casey menandai puncak keemasan disko dengan serangkaian lagu-lagu hit, "That's the Way (I Like It)", "Get Down Tonight" (1975), dan (Shake, Shake, Shake) Shake Your Booty" dan "I'm Your Boogie Man" (1976).[2] Pada tahun 1976, peringkat majalah Billboard diramaikan lagu-lagu hit yang judulnya memakai kata "disco", misalnya: "Disco Lady" dari Johnnie Taylor, "Disco Inferno" dari The Trammps, dan "Disco Duck" dari Rick Dees & His Cast of Idiots.[9] Ciri khas lagu disko yang lebih mementingkan tempo daripada suara nyanyian membuat produser rekaman seperti Giorgio Moroder, Frank Farian, Pete Bellotte, dan Mauro Malavasi ikut serta sebagai pencipta lagu-lagu hit untuk berdisko.[2] Tren produser menciptakan lagu disko berlangsung bersamaan dengan kembali populernya penyanyi veteran R&B/soul seperti Diana Ross dengan "Love Hangover" (1976), Marvin Gaye dengan "Got to Give It Up" (1977), Johnnie Taylor dengan "Disco Lady", Tyrone Davis dengan "Turning Point" (1976), Donna Summer dengan "I Feel Love" (1977) dan "Last Dance" (1978).[4] Kesuksesan piringan hitam disko juga memerlukan dukungan dari para DJ di diskotek yang bertanggung jawab atas seleksi lagu. Kepopuleran lagu disko juga ditentukan oleh pengunjung di lantai-lantai disko. Lagu pilihan DJ kemungkinan tidak akan diputar kembali bila terbukti gagal mengajak pengunjung untuk melantai.[2] Produser dan perusahaan rekaman juga mengambil inisiatif seleksi lagu dengan merilis piringan hitam berisi lagu-lagu untuk diputar di diskotek.[3] Ciri khas album disko adalah jumlah lagu dalam satu album yang hanya sedikit. Meskipun demikian, sebuah lagu memiliki masa putar yang panjang agar pendengar dapat berdisko untuk waktu yang lebih lama. Ketika dirilis sebagai singel, lagu disko dirilis dalam bentuk singel 12 inci (piringan hitam 30 cm). Lagu-lagu diputar DJ di diskotek secara sambung-menyambung sesuai dengan kecocokan tempo antara satu lagu dan lagu berikutnya seperti petunjuk tempo yang tertera pada sampul.[3] Klub dansa khusus anggota bernama The Loft yang dibuka David Mancuso di kediaman pribadinya di New York City pada tahun 1970 dianggap sebagai perintis klub-klub disko.[10][11] Setelah itu, klub-klub disko mulai bermunculan, dan tidak hanya di New York.[12] Klub disko paling terkenal di Manhattan sepanjang akhir 1970-an dan awal 1980-an adalah Studio 54.[13] Disko di kalangan gay diwakili oleh Village People yang berhasil menciptakan dua lagu hit pada tahun 1979, "In the Navy" dan "Go West". Sebelumnya, penyanyi gay Sylvester mencetak lagu hit "You Make Me Feel (Mighty Real)" pada tahun 1978. Kesuksesan Saturday Night FeverKembalinya kepopuleran Bee Gees pada tahun 1976 ditandai oleh lagu "You Should Be Dancing" yang sampai di urutan nomor satu di Billboard Hot 100 sebelum menduduki tangga lagu Hot Dance Club Play selama 7 minggu berturut-turut, dan mencapai peringkat 5 UK Singles Chart pada bulan Juli tahun sama.[14] Lagu "You Should Be Dancing" kemudian dipakai dalam film laris Saturday Night Fever yang melambungkan John Travolta sebagai raja disko pada tahun 1978. Dari album soundtrack film Saturday Night Fever Bee Gees berhasil mencetak lagu hit "Night Fever". Kelarisan film dan album Saturday Night Fever menjadikan disko sebagai hobi baru generasi muda Amerika. Pada tahun 1979, pendapatan dari industri musik disko di Amerika Serikat sebesar AS$4 miliar per tahun. Di Amerika Serikat waktu itu diperkirakan ada sekitar 15.000 diskotek.[12] Di kota-kota besar, diskotek dipadati oleh penggemar disko yang berpakaian meniru pemeran film Saturday Night Fever. Pengunjung pria mengenakan setelan tiga potong dari bahan poliester seperti yang dikenakan John Travolta ketika memerankan Tony Manero, lengkap dengan sepatu berhak tinggi dan liontin emas.[4] KemunduranSetelah bertahun-tahun disko berada di puncak kepopuleran, sentimen antidisko mulai berkembang terutama di Amerika Serikat. Kritik terhadap musik disko diwujudkan dalam bentuk slogan "disco sucks" yang disponsori stasiun-stasiun radio yang sebagian besar pendengarnya orang kulit putih di perkotaan.[15][16] Puncak gerakan antidisko adalah acara Disco Demolition Night yang diadakan di Stadion Comiskey Park, 12 Juli 1979. Penyelenggara acara adalah DJ radio bernama Steve Dahl dibantu direktur promosi Chicago White Sox bernama Mike Veeck. Ketidaksenangan Veeck pada disko didukung Dahl yang sering mengatakan "Disco sucks!" sepanjang siaran.[17] Penonton yang membawa piringan hitam lagu-lagu disko hanya dikenakan harga tiket 98 sen untuk menyaksikan pertandingan bisbol doubleheader antara Chicago White Sox dan Detroit Tigers. Sebagai sebuah promosi pertandingan bisbol, acara tersebut di luar dugaan didatangi penonton melampaui kapasitas stadion (angka resmi jumlah penonton sebanyak 47.795 orang).[17] Puncak acara berupa penyalaan api anggun di tengah lapangan yang membakar kira-kira 10.000 keping piringan hitam lagu-lagu disko. Namun pembakaran tersebut diartikan penonton sebagai aba-aba untuk memulai kekacauan.[18] Penonton berlarian ke lapangan, merobohkan kandang latihan memukul dan menjarahi pemukul bisbol hingga pertandingan kedua dihentikan. Disko kehilangan momentumnya ketika tahun 1970-an berubah menjadi 1980-an. Meskipun demikian, disko tidak mati, melainkan bermutasi menjadi berbagai macam genre musik dance, mulai dari dance-pop dan hip-hop hingga house music dan techno.[3] Referensi
Pranala luar
|