Diogenes dari Sinope
Diogenes dari Sinope adalah seorang filsuf yang termasuk ke dalam Mazhab Sinis.[1][2] Mazhab Sinis adalah salah satu mazhab yang berakar pada ajaran Sokrates.[2] Karena itu, Diogenes dari Sinope berpendapat, seperti Sokrates, bahwa manusia haruslah memiliki keutamaan tentang yang baik.[2] Akan tetapi, Diogenes berpendapat bahwa keutamaan tentang yang baik adalah ketika manusia memiliki rasa puas diri dan mengabaikan segala kesenangan duniawi.[3] Diogenes dari Sinope dikenal dengan sebutan "si anjing" (dalam bahasa Yunani kunikos yang berarti anjing).[3] Hal itu dikarenakan ia sangat berani dalam menyatakan pandangannya layaknya seekor anjing yang menyalak.[3] Karena sikapnya yang menyimpang dari gaya santun Sokrates itu, Plato memberinya julukan sebagai "Sokrates yang Pemarah".[4] Filsuf ini tidak meninggalkan satu karya pun.[2] Sumber utama tentang dirinya adalah buku "Hidup dan Pandangan Filsuf-Filsuf Ternama" yang dikarang oleh Diogenes Laertius.[2] Riwayat HidupDiogenes berasal dari kota Sinope.[3][5] Ia hidup pada abad ke-4 SM, yaitu sekitar tahun 412-323 SM.[2] Setelah diusir dari kota asalnya, Diogenes pindah dan menetap di Athena.[3] Ia diusir dari kota kelahirannya karena ia, atau ayahnya, telah menghancurkan nilai mata uang di sana.[3][4] Setelah itu, diketahui juga bahwa ia menetap di Korintus dan akhirnya meninggal disana.[5] Ia dipengaruhi oleh pemikiran Antithenes, pendiri Mazhab Sinis.[1][4] Akan tetapi, ia tidak menyetujui perilaku Antithenes yang dipandangnya tidak sesuai dengan apa yang diajarkannya.[1][5] Diogenes menyebut Antithenes sebagai, "Terompet yang berbunyi bagi dirinya sendiri".[5] Karena itu, Diogenes memilih untuk hidup sederhana untuk menunjukkan konsistensinya dengan apa yang diajarkannya.[5] Untuk itu, ia tinggal di dalam sebuah tong.[1][3][5] Selain itu, ia mencari makan dari sisa-sisa makanan yang ia temukan.[3] Menurut tradisi, Diogenes dari Sinope pernah dikunjungi oleh Alexander Agung.[2] Ketika itu Diogenes sedang berjemur.[2] Alexander Agung bertanya kepadanya, "Apa sebenarnya yang engkau kehendaki?"[2] Kemudian Diogenes menjawab, "Pergilah, jangan menghalangi cahaya matahari menyinariku!"[2] Hal itu menunjukkan betapa Diogenes sangat konsisten terhadap pandangan hidupnya tentang kesederhanaan dan penolakan terhadap segala bentuk kuasa dan kesenangan.[4] PemikiranTentang Keadaan Manusia yang AlamiahMenurut Diogenes, situasi masyarakat pada masanya telah rusak.[2][5] Dengan segala adat istiadat dan kebudayaan yang dihasilkannya, manusia tidak lagi menjadi alamiah dan jatuh pada sikap mencari enaknya sendiri.[2] Untuk mengkritik situasi tersebut, Diogenes mengabaikan segala adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakatnya.[1] Dikisahkan pula bahwa Diogenes pernah membawa pelita yang menyala di tengah-tengah pasar pada siang hari untuk mencari adakah manusia yang jujur.[2][3] Hal itu dilakukannya untuk memberi kritik terhadap masyarakat yang tidak lagi hidup secara alamiah.[2] Dengan demikian, apa yang dimaksudkannya dengan keadaan manusia yang alamiah adalah bagaimana manusia hidup dengan standar minimal untuk hidup, dan tanpa masyarakat.[3] Tentang Pengendalian DiriDiogenes juga mengajarkan tentang pengendalian diri terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan duniawi.[6] Kesenangan, nafsu, dan kemewahan haruslah dijauhi oleh manusia sebab hal-hal itulah yang membuat manusia dan masyarakat menjadi rusak.[4] Menurutnya, rasa lapar dan rasa sakit berguna untuk melatih moral manusia.[6] Bila manusia dapat mengendalikan diri terhadap segala kesenangan duniawi, barulah manusia dapat mencapai kebahagiaan dan ketenangan batin.[4] PengaruhDiogenes dari Sinope adalah figur yang paling terkenal dari Mazhab Sinis, melebihi Antithenes yang merupakan pendiri mazhab tersebut.[6] Ia terkenal justru karena perilaku-perilakunya ketimbang pemikiran filsafatnya.[4] Dengan demikian, ia telah mengembangkan suatu cara pendidikan yang baru yang disebut epigram moral (chreia), yakni pengajaran melalui kisah-kisah dengan latar kehidupan nyata .[4] Selain itu, ia membawa pengaruh besar terhadap Zeno dari Citium.[4] Zeno adalah filsuf pendiri Mazhab Stoa yang terkenal karena ia melawan konvensi yang ada.[4] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|