Diet rendah karbon

Diet rendah karbon adalah gaya hidup yang berhubungan dengan pemilihan makanan tertentu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.[1] Diet rendah karbon dapat mengurangi emisi yang dilepaskan dari produksi, pengemasan, dan pemrosesan limbah makanan hingga transportasi.[2] Diet rendah karbon menjadi salah satu aspek untuk mengembangan dan meningkatkan pola makan berkelanjutan dalam jangka panjang.[3]

Upaya diet rendah karbon ini muncul karena sistem pangan yang diciptakan oleh manusia bertanggung jawab atas seperempat hingga sepertiga dari emisi gas rumah kaca.[4] Pada dasarnya, prinsip utama dari diet rendah karbon adalah dengan memperbanyak konsumsi tumbuhan, khususnya mengurangi atau bahkan menghindari produk hewani seperti daging dan susu.[5]

Latar Belakang

Beberapa jenis makanan membutuhkan lebih banyak bahan bakar fosil untuk diproduksi dibandingkan jenis makanan lain sehingga jejak karbon bisa dikurangi dengan pemilihan makanan secara tepat. Produksi makanan, utamanya berbahan hewani, di Amerika Serikat menyumbang sebesar 25% dari total emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Emisi ini terus meningkat seiring dengan permintaan yang semakin tinggi.[6] Selain itu, beberapa negara berkembang juga diperkirakan dapat memproduksi gas rumah kaca sebesar 18-25% karena dampak dari konsumsi makanan.[2]

Pada tahun 2014, penelitian tentang pola makan sehari-hari terhadap penduduk di Inggris memperkirakan jejak gas rumah kaca dalam ukuran perbandingan kilogram karbon dioksida per hari adalah sebagai berikut.

  • 7.19 untuk pemakan daging berat (≥100 g/hari)
  • 5.63 untuk pemakan daging sedang (50–99 g/hari)
  • 4.67 untuk pemakan daging ringan (<50 g/hari)
  • 3.91 untuk pemakan ikan
  • 3.81 untuk vegetarian
  • 2.89 untuk vegan[7]

Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa mengonsumsi makanan yang menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca lebih menyehatkan dibandingkan mengonsumsi makanan yang menghasilkan gas rumah kaca lebih banyak.[8][9] Hal tersebut disebabkan karena makanan penghasil gas rumah kaca lebih banyak mengandung lemak jenuh, seperti daging merah, olahan susu seperti keju dan mentega, minyak, dan es krim. Selain berdampak terhadap gas rumah kaca, lemak jenuh juga berbahaya terhadap kondisi tubuh karena bisa memicu peningkatan kadar kolesterol.[10][11][12]

Tidak hanya itu, dukungan terhadap gerakan diet rendah karbon juga dilakukan oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2010. Mereka melaporkan bahwa mengurangi konsumsi produk hewani atau gaya hidup vegan diperlukan untuk menyelamatkan dunia dari kelaparan, kekurangan bahan bakar, dan perubahan iklim. Mereka mengatakan bahwa produk pertanian akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi manusia, berbeda dengan bahan bakar fosil yang alternatifnya sulit untuk ditemukan. Oleh sebab itu, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah pola makan, yaitu mengurangi produ-produk hewani.

Sejarah

Sebetulnya, istilah atau frasa low carbon diet telah lama digunakan. Namun, istilah tersebut baru populer di Amerika Serikat sejak tahun 2006 ketika para skeptik perubahan iklim disanggah oleh pembuktian ilmiah dan peningkatan konsensus ilmiah di saat itu, terutama oleh Al Gore.[1][13] Kampanye tentang diet rendah karbon di koran, buku, televisi, dan internet pada tahun 2006 yang berfokus pada pengurangan emisi karbon dan kaitannya terhadap pengurangan jejak karbon, dianggap sebagai kampanye gelombang pertama. Selanjutnya, kampanye gelombang kedua dilakukan oleh perusahaan rumah makan Bon Appétit Management Co[14] di mana mereka lebih mendasarkan pada hubungan antara makanan, penurunan berat badan, dan mitigasi perubahan iklim.[1] Populernya diet rendah karbon sebagian besar diakibatkan oleh pemberitaan media. Diet rendah karbon juga telah menjadi bagian dari pegerakan sosial.[1]

Pelaksanaan

Diet rendah karbon atau memilih makanan berbahan nabati dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Makanan produk hewani menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca karena total usaha dalam peternakan seperti transportasi ternak, pemberian makan, dan limbah ternak.[15] Emisi karbon dari transportasi menyumbang 11% dari total emisi karbon makanan, dengan transportasi dari produsen ke konsumen menyumbang 4%.[16] Ketika menghitung total gas rumah kaca (bukan hanya karbon dioksida), 83% emisi berasal dari produksi makanan yang sebenarnya disebabkan oleh pelepasan metana oleh ternak dan dinitrogen oksida karena pupuk.[16]

Beberapa penelitian telah mengkritik kecenderungan konsumsi hanya pada makanan lokal pada orang-orang yang mengklaim bahwa produksi lokal lebih menyehatkan dan rendah emisi tetapi sebenarnya tidak menghasilkan banyak manfaat lingkungan. Transportasi menyumbang relatif kecil dari keseluruhan konsumsi energi dalam produksi makanan, dan makanan yang diproduksi secara lokal mungkin jauh lebih banyak membuang energi daripada makanan yang diproduksi di daerah yang pengelolaannya lebih baik.[17]

Diet rendah karbon dapat dilaksanakan dalam produksi, pengemasan, dan pengelolaan limbah makanan. Dalam peternakan, emisi dapat dikurangi dengan memberi makanan yang tak termakan oleh manusia kepada ternak. Saat ini, 70% bahan baku yang digunakan dalam industri pakan Belanda berasal dari industri pengolahan makanan (sisa).[18] Di Amerika Serikat, biji-bijian kering yang digunakan sebagai pakan ternak mencapai 25 juta ton.[19] Tiongkok mengeluarkan peraturan tentang panduan makanan dengan tujuan mengurangi konsumsi daging hingga 50% sehingga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 1 miliar ton pada tahun 2030.[20] Menaikkan pajak pada produksi bahan makanan tertentu juga dapat meningkatkan ketertarikan warga terhadap diet ini.[6]

Jenis Makanan

Diet rendah karbon dapat dilakukan dengan mengonsumsi bahan makanan yang netral karbon atau berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan Joseph Poore dan Thomas Nemecek dari Universitas Oxford menganalisis bagaimana siklus hidup makanan di lembaga penelitian Swiss Agroscope. Mereka merangkum ada beberapa jenis makanan yang memiliki tinggi protein dan rendah karbon.[21]

Daging

Daging sapi merupakan penghasil protein dengan jejak gas rumah kaca (GRK) paling tinggi. Daging sapi mampu menghasilkan 49,9 kg. Angka tersebut setara dengan CO2, atau CO2e, per 100g protein, atau setara dengan jumlah yang terdapat dalam empat steik. Dalam hal ini, setara CO2, atau CO2e, adalah ukuran yang digunakan untuk mengkalkulasikan emisi dari berbagai gas rumah kaca berdasarkan kapasitasnya untuk menghangatkan atmosfer atau kemampuannya untuk menyumbang pada pemanasan global. Setelah daging sapi, di urutan kedua ada daging domba dan daging kambing yang memproduksi 19,9 kg CO2e per 100g.[21]

Pelaku diet rendah karbon tetap dapat mengonsumsi daging. Mereka dapat mengonsumsi daging sapi perah atau sapi penghasil susu. Jenis sapi tersebut memiliki jejak gas rumah kaca yang lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi biasa. Sapi penghasil susu cenderung digunakan sebagai pakan sehingga dinilai lebih efisien. Jenis sapi ini bisanya memproduksi susu dalam jumlah yang banyak selama kurang lebih tiga tahun. Setelah itu, mereka disembelih dan dikonsumsi. [21]

Di samping daging sapi perah, pelaku diet rendah karbon juga dapat mengonsumsi daging ayam. Daging ayam memiliki jejak gas rumah kaca sembilan kali lebih rendah dibandingkan daging sapi. Daging ayam menghasilkan 5,7kg CO2e per 100g protein. Selain itu, pelaku diet rendah karbon juga dapat mengonsumsi daging babi. Daging babi menghasilkan jejak gas rumah kaca 6,5 kali lebih rendah dibanding daging sapi dan 1,4 kali lebih tinggi daripada unggas.[21]

Keju dan Yoghurt

Keju merupakan salah satu jenis makanan penghasil emisi tertinggi ketiga setelah daging sapi dan daging domba. Namun, tidak semua keju memiliki kadar karbon tinggi. Keju yang dihasilkan dari sapi perah dinilai paling efisien untuk dikonsumsi karena sapi perah memproduksi susu dalam jumlah banyak. Selain keju sapi perah, yoghurt juga bisa dikonsumsi karena mengandung rendah karbon senilai 2,7kg CO2e per 100g protein.[21]

Kacang-kacangan

Produk nabati seperti kacang-kacangan memiliki kandungan karbon yang rendah. Pelaku diet rendah karbon dapat mengonsumsi jenis kacang-kacangan seperti kacang polong, legum, tahu, dan buncis. Kacang polong hanya mengeluarkan 0,4kg CO2e per 100 gram. Angka tersebut 90 kali lebih rendah daripada jumlah protein yang sama dari daging sapi. Kemudian, legum seperti lentil, mengandung jejak gas rumah kaca sebesar 0,8 kg CO2e. Kemudian, tahu menghasilkan 2,0kg CO2e per 100g. Selanjutnya, buncis juga memiliki karbon yang rendang karena sangat hemat air. Buncis juga dapat memperbaiki nitrogen dari udara ke dalam tanah yang bisa bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman.[21]

Ikan dan Kerang Budidaya

Ikan dan jenis makanan laut bisa dikonsumsi oleh pelaku diet rendah karbon. Namun, pelaku diet harus memperhatikan bahwa tidak semua jenis ikan dan makanan laut memiliki karbon yang rendah. Pelaku diet dapat mengonsumsi ikan budidaya karena memiliki rendah karbon senilai 6 kg CO2e. Selain ikan, kerang budidaya seperti remis, tiram, dan simping juga dapat dikonsumsi karena memiliki gas rumah kaca yang lebih rendah. Kerang budidaya memiliki karbon enam kali lebih rendah dibanding udang budidaya dan 3,5 kali lebih rendah dibandingkan ikan budidaya.[21]

Protein Produk Laboratorium

Protein produk laboratorium seperti daging seluler dan daging nabati dapat dikonsumsi oleh pelaku diet rendah karbon. Daging seluler dibuat dengan sel yang dipanen dari hewan hidup. Daging seluler dapat menghasilkan 5,6kg jejak gas rumah kaca. Nilai tersebut lebih rendang daripada daging sapi senilai 25,6 kg. Begitupun dengan daging nabati yang menghasilkan jejak gas rumah kaca lebih rendah sebesar 1,9kg CO2e per 100g.[21]

Referensi

  1. ^ a b c d Nerlich, Brigitte; Evans, Vyvyan; Koteyko, Nelya (2011/03). "Low carbon diet: Reducing the complexities of climate change to human scale". Language and Cognition (dalam bahasa Inggris). 3 (1): 52. doi:10.1515/langcog.2011.003. ISSN 1866-9808. 
  2. ^ a b Garnett, Tara (2011-01-01). "Where are the best opportunities for reducing greenhouse gas emissions in the food system (including the food chain)?". Food Policy. The challenge of global food sustainability. 36: S23–S32. doi:10.1016/j.foodpol.2010.10.010. ISSN 0306-9192. 
  3. ^ Scarborough, Peter; Clark, Michael; Cobiac, Linda; Papier, Keren; Knuppel, Anika; Lynch, John; Harrington, Richard; Key, Tim; Springmann, Marco (2023-07). "Vegans, vegetarians, fish-eaters and meat-eaters in the UK show discrepant environmental impacts". Nature Food (dalam bahasa Inggris). 4 (7): 565–574. doi:10.1038/s43016-023-00795-w. ISSN 2662-1355. 
  4. ^ Ritchie, Hannah; Roser, Max (2023-09-01). "How much of global greenhouse gas emissions come from food?". Our World in Data. 
  5. ^ "FAO - News Article: Key facts and findings". www.fao.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-09-16. 
  6. ^ a b Carrington, Damian (2016-11-07). "Tax meat and dairy to cut emissions and save lives, study urges". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2020-01-09. 
  7. ^ Scarborough, Peter; Appleby, Paul N.; Mizdrak, Anja; Briggs, Adam D. M.; Travis, Ruth C.; Bradbury, Kathryn E.; Key, Timothy J. (2014-07). "Dietary greenhouse gas emissions of meat-eaters, fish-eaters, vegetarians and vegans in the UK". Climatic Change (dalam bahasa Inggris). 125 (2): 179–192. doi:10.1007/s10584-014-1169-1. ISSN 0165-0009. PMC 4372775alt=Dapat diakses gratis. PMID 25834298. 
  8. ^ Biesbroek, Sander; Bueno-de-Mesquita, H Bas; Peeters, Petra HM; Verschuren, WM Monique; van der Schouw, Yvonne T; Kramer, Gerard FH; Tyszler, Marcelo; Temme, Elisabeth HM (2014-04-07). "Reducing our environmental footprint and improving our health: greenhouse gas emission and land use of usual diet and mortality in EPIC-NL: a prospective cohort study". Environmental Health. 13 (1). doi:10.1186/1476-069x-13-27. ISSN 1476-069X. 
  9. ^ Tilman, David; Clark, Michael (2014-11). "Global diets link environmental sustainability and human health". Nature. 515 (7528): 518–522. doi:10.1038/nature13959. ISSN 0028-0836. 
  10. ^ Hallström, E.; Röös, E.; Börjesson, P. (2014-08). "Sustainable meat consumption: A quantitative analysis of nutritional intake, greenhouse gas emissions and land use from a Swedish perspective". Food Policy. 47: 81–90. doi:10.1016/j.foodpol.2014.04.002. ISSN 0306-9192. 
  11. ^ Hendrie, Gilly; Ridoutt, Brad; Wiedmann, Thomas; Noakes, Manny (2014-01-08). "Greenhouse Gas Emissions and the Australian Diet—Comparing Dietary Recommendations with Average Intakes". Nutrients. 6 (1): 289–303. doi:10.3390/nu6010289. ISSN 2072-6643. 
  12. ^ "Seputar Lemak Jenuh dan Cara Mudah untuk Menjauhinya". Alodokter. 2015-10-28. Diakses tanggal 2023-09-16. 
  13. ^ STUKIN, STACIE (2006-10-30). "The Low Carbon Diet". Time (dalam bahasa Inggris). ISSN 0040-781X. Diakses tanggal 2020-01-09. 
  14. ^ "Eat Low Carbon". www.eatlowcarbon.org. Diakses tanggal 2020-01-09. 
  15. ^ H., Brian 2008, hlm. 61"In fact, meat and seafood are (...). Yet in terms of resource use, these are also two of the most costly." Penjelasan lebih lanjut di Chapter 5 (hal. 61-54)
  16. ^ a b Trivedi, Bijal. "What is your dinner doing to the climate?". New Scientist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-13. 
  17. ^ Shimizu, Hiroko; Desrochers, Pierre (2008-10-24). "Yes We Have No Bananas: A Critique of the 'Food Miles' Perspective" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. doi:10.2139/ssrn.1315986. 
  18. ^ Elferink, E. V.; Nonhebel, S.; Moll, H. C. (2008-08-01). "Feeding livestock food residue and the consequences for the environmental impact of meat". Journal of Cleaner Production. 16 (12): 1227–1233. doi:10.1016/j.jclepro.2007.06.008. ISSN 0959-6526. 
  19. ^ Hoffman, Linwood; Baker, Allen. "Market Issues and Prospects for U.S. Distillers' Grains Supply, Use, and Price Relationships". www.ers.usda.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-13. 
  20. ^ Milman, Oliver; Leavenworth, Stuart (2016-06-20). "China's plan to cut meat consumption by 50% cheered by climate campaigners". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2020-01-09. 
  21. ^ a b c d e f g h "Memilih makanan tinggi protein dengan jejak karbon terendah". BBC News Indonesia. 2023-01-27. Diakses tanggal 2023-09-16. 
Kembali kehalaman sebelumnya