Dewi Sekardadu
Dewi Sekardadu adalah putri pertama sebagai anak dari Raja Blambangan pada abad ke-14 yang diperintah oleh Bhre Pakembangan / Minak Dadali Putih / Raden Siung Laut memiliki nama Raja Menak Sembuyu, yang merupakan putera dari Bhre Wirabhumi salah satu keturunan dari Prabu Hayam Wuruk yang berasal dari Majapahit. Dewi Sekardadu juga dikenal sebagai Raden Ayu Liyung Manoro, Raden Ayu Sumbat Nyowo, dan Raden Ayu Kusworo Dewi. Merupakan ibu kandung dari Raden Paku atau Sunan Giri.[1].[2] Cerita RakyatPernikahan Dewi SekardaduSuatu penyakit pernah melanda Blambangan dan Dewi Sekardadu salah satu dari sekian banyak masyarakat yang terkena penyakit tersebut. Sehingga Raja Menak Sembuyu berusaha untuk menyembuhkan penyakit puterinya dan mengerahkan berbagai usaha mencari obat serta memanggil para dukun dan ahli-ahli pengobatan untuk menyembuhkan Dewi Sekardadu. Namun, usaha yang dilakukan tidak berhasil, Dewi Sekardadu masih belum sembuh dari penyakit. Karena hal itu, Raja Menak Sembuyu mengadakan sayembara dimana jika orang yang berhasil menyembuhkan Dewi Sekardadu jika laki-laki maka akan dinikahkan dengan Dewi Sekardadu dan akan memberikan separuh kekuasaan kerajaan Blambangan serta akan menjadi seorang raja muda. Kabar tersebut segera tersebar ke berbagai penjuru negeri, namun tidak ada yang mengikuti sayembara tersebut. Patih Blambangan memberi tahu raja bahwa ada seorang petapa di puncak gunung Slangu yang memiliki tingkah laku yang berbeda, tidak menyembah dewa serta ibadahnya berbeda dari masyarakat Blambangan pada masa itu yang menganut agama Hindu. Patih berkeyakinan mungkin saja petapa itu dapat menyembuhkan Dewi Sekardadu. Kemudian Raja Menak Sembuyu mengutus patihnya yang bernama Buyutsengkoro untuk menemui petapa dan menyampaikan maksud raja untuk meminta pertolongan menyembuhkan Dewi Sekardadu, petapa tersebut bernama Syekh Maulana Ishaq. Syekh Maulana Ishaq menerima permintaan tolong tersebut dan memberikan satu syarat apabila Dewi Sekardadu berhasil sembuh dari penyakitnya, yaitu meminta agar Raja Menak Sembuyu untuk memeluk agama Islam. Raja menyayangi puterinya tersebut menerima syarat yang diberikan oleh Syekh Maulana Ishaq meskipun merasa berat untuk meninggalkan agama yang sudah lama dianutnya. Syekh Maulana Ishaq memanjatkan doa untuk kesembuhan Dewi Sekardadu dan atas izin Allah Dewi Sekardadu dapat sembuh. Dewi Sekardadu kemudian menikah dengan Syekh Maulana Ishaq, Dewi Sekardadu pun menjadi seorang yang taat menjalankan syariat Islam. Syekh Maulana Ishaq menjadi raja kerajaan Blambangan dengan gelar Prabu Anom dan raja Menak Sembuyu yang beragama Hindu kemudian memeluk agama Islam. Sejak saat itu Syekh Maulana Ishaq dianggap sakti dan kerajaan yang dipimpinnya menjadi makmur serta banyak masyarakat memeluk agama Islam. Pada saat itu pula para pembesar kerajaan mulai khawatir agama Islam mendesak agama Hindu yang sudah lama dianut oleh masyarakat kerajaan Blambangan. Raja Menak Sembuyu tidak benar-benar menerima agama Islam, secara sembunyi masih memegang erat ajaran-ajaran agama Hindu. Raja Menak Sembuyu memusuhi Syekh Maulana Ishaq sehingga suatu saat Syekh Maulana Ishaq meninggalkan kerajaan Blambangan sendirian dan pada saat yang bersamaan Dewi Sekardadu sedang hamil 7 bulan. Setelah kepergian Syekh Maulana Ishaq wabah penyakit kembali terjadi, sehingga raja beranggapan bahwa wabah tersebut disebabkan oleh bayi yang dikandung oleh Dewi Sekardadu. Sehingga raja berencana untuk membunuh anak Dewi Sekardadu setelah dilahirkan, akan tetapi ketika anak Dewi Sekardadu lahir raja tidak membunuhnya karena merasa kasihan. Raja memasukkan bayi Dewi Sekardadu ke dalam peti kemudian membuangnya ke samudera sebagai upaya untuk menghilangkan wabah penyakit. Berbeda dari Babad Gresik menurut cerita dari masyarakat Kemantren menyebutkan bahwa Dewi Sekardadu mencari Syekh Maulana Ishaq kemudian menemukannya. Satu bulan setelahnya anak Dewi Sekardadu lahir kemudian diberi nama Raden Paku karena lahir di pantai Sepaku. Dewi Sekardadu memberitahukan niat raja yang hendak membunuh anaknya, kemudian Syekh Maulana Ishaq meminta petunjuk dari Allah. Petunjuk yang diberikan kepada Syekh Maulana Ishaq adalah memasukkan bayi itu ke dalam peti dan menghanyutkannya ke samudera. .[3] Cerita mengenai kehidupan Dewi Sekardadu tidak dapat dipisahkan dengan perjalanan Syekh Maulana Ishaq dan Sunan Giri. Kisah mereka saling terhubung satu sama lain. Makam Dewi SekardaduSejarah makam Dewi Sekardadu sebenarnya masih menjadi pertanyaan bagi warga masyarakat di beberapa daerah di Jawa Timur saling mengklaim jika makam Beliau berada di daerahnya. Makam Dewi Sekardadu sendiri terdapat di Gresik, Lamongan dan Sidoarjo, tidak dapat diketahui dengan pasti karena masing-masing daerah memiliki cerita tersendiri. Menurut cerita yang berkembang di Gresik, makam Dewi Sekardadu berada di Blambangan yang saat ini bernama Banyuwangi tepatnya berada di sebuah bukit. Sunan Giri biasanya berziarah ke makam ibunya, di karenakan jarak Gresik dengan Banyuwangi jauh, Sunan Giri kemudian memohon kepada Allah agar bukit tempat makam Dewi Sekardadu dipindahkan ke kota dimana Sunan Giri mengajarkan Islam dan permohonan itu pun dikabulkan. Sehingga bukit itu muncul di sebelah selatan Pesantren (Giri Kedaton), maka dari itu dinamakanlah Desa Gunung Anyar. Lokasinya berada di Dusun Gunung Anyar, Kelurahan Ngargosari, Kecamatan Kebomas Gresik.[4][5] Menurut masyarakat Waduk Gondang, Kedungpring, Lamongan mereka meyakini bahwa Dewi Sekardadu dimakamkan di desa tersebut. Masyarakat di sana menyebut Dewi Sekardadu dengan nama Mbok Rondo, dimana memiliki arti ibu janda yang terusir. Hal itu di karenakan Dewi Sekardadu meninggalkan Blambangan karena diusir oleh Raja Menak Sembuyu dan tak ingin membiarkan bayinya ditenggelamkan di lautan.[6][7] Lokasi makam terletak di Jl Ronggo Hadi No 8 Dusun Jaledriasri, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan. Sedangkan cerita yang berkembang di masyarakat Ketingan (Kepetingan), bahwa ketika mengetahui anaknya dibuang ke laut, Dewi Sekardadu menceburkan diri ke laut untuk mengejar anaknya akan tetapi tidak bisa dan meninggal. Jasad Dewi Sekardadu dibawa oleh segerombolan ikan keting dan didamparkan di tepi pantai yang kemudian dilihat oleh para nelayan. Kemudian dimakamkan secara terhormat oleh warga sekitar, tempat itu akhirnya dinamakan Ketingan atau Kepetingan. Lokasinya berada di Dusun Kepetingan, Desa Sawohan, Kecamatan Buduran Sidoarjo. Sedangkan cerita yang berkembang di masyarakat. Lokasinya berada di Dusun Gebang, Desa Gisik Cemandi , Kecamatan Sedati Sidoarjo. Beberapa pandangan tentang kematian Dewi Sekardadu. Dalam buku Babad Tanah Jawa, Dewi Sekardadu diceritakan meninggal pada saat setelah melahirkan puteranya. Sedangkan dalam buku Babad Blambangan karya Winarsih Partaningrat Arifin dituliskan bahwa Dewi Sekardau meninggal karena memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri di tangga istana daripada dianggap sebagai istri yang tidak setia pada suaminya.[8] Referensi
|