Dewa Agung Istri KanyaIda I Dewa Agung Istri Kanya (juga dikenal sebagai Dewa Agung Istri Balemas; meninggal 1868)[1] adalah seorang ratu yang memimpin Bali dari 1814 sampai dengan 1850. Ia juga dikenal dengan panggilan "Ratu Perawan Klungkung."[2][3] Dewa Agung Istri Kanya dikenal karena memimpin perlawanan rakyat Klungkung menentang invasi Belanda di Desa Kusamba. Bersama Mangkubumi Dewa Agung Ketut Agung, Dewa Agung Istri Kanya mengarsiteki penyerangan balasan terhadap Belanda di Kusanegara yang berujung pada gugurnya pimpinan ekspedisi Belanda, Mayor Jenderal A.V. Michiels.[4] Dewa Agung Istri Kanya dijuluki Belanda sebagai "wanita besi" karena telah mampu membunuh jenderal Belanda. Dewa Agung Istri Kanya dikenal menjalani pilihan melajang sepanjang hidupnya. Karena pilihan itu pula dia diberi nama Istri Kanya (kanya berarti melajang atau tidak kawin). Puisi mengenai dirinya, bertajuk "Dewa Agung Istri Kanya", berada dalam buku Feminist Poems oleh Nancy Quinn Collins, diterbitkan tahun 2016.[5] Kehidupan awalDewa Agung Istri Kanya merupakan putri dari Ida I Dewa Agung Putra yang dikenal juga dengan nama Ida I Dewa Agung Putra Kusamba (karena berkeraton di Kusamba).[6][7] Ibunya berasal dari Karangasem, I Gusti Ayu Karang (I Gusti Ayu Pelung).[8] Gusti Ayu Karang menemukan kondisi baru bagi Dewa Agung Istri Kanya untuk menjadi "Ratu Perawan Klungkung" di kemudian hari.[2] Dewa Agung Istri Kanya memiliki seorang adik laki-laki, Dewa Agung Putra yang juga dikenal dengan nama Ida I Dewa Agung Putra Balemas. Nama ini diberikan karena adiknya ini tinggal di Balemas, salah satu bagian lokasi Istana Smarapura yang dianggap sebagai lokasi yang penting dan menempati status setingkat lebih rendah dari kamar raja (pesaren gede). Dewa Agung Istri Kanya juga tinggal di Balemas sehingga dia juga kerap dinamai Dewa Agung Istri Balemas.[9] Setelah wabah penyakit, Dewa Agung Istri Kanya dan adik laki-lakinya melakukan restorasi istana tua Klungkung, dan juga mendukung pura-pura negara.[2] Dia mendukung para pendeta untuk menulis puisi, dan menulis beberapa buku untuk dirinya sendiri.[2] Ratu Kerajaan KlungkungKendati seorang wanita, Dewa Agung Istri Kanya diberi kepercayaan untuk memegang tampuk kepemimpinan Kerajaan Klungkung. Namun, belum ditemukan kata sepakat di antara para peneliti kapan sejatinya Dewa Agung Istri Kanya naik takhta. Ada yang menyebut Dewa Agung Istri Kanya naik takhta pada tahun 1809, setelah wafatnya Dewa Agung Putra Kusamba, ada juga yang menyebut Istri Kanya naik takhta tahun 1822, setelah wafatnya Dewa Agung Putra Balemas. Namun, ada juga yang menyebut sebetulnya terjadi kompromi setelah wafatnya Dewa Agung Putra Kusamba. Dewa Agung Putra Balemas diangkat sebagai raja dibantu oleh Dewa Agung Istri Kanya.[10] Perang KusambaPada tahun 1849, Belanda menderita luka berat saat dia melakukan serangan malam terhadap kerajaan tersebut di Kusamba, membunuh komandan Belanda Mayor Jenderal Michiels.[11] Belanda dipaksa mundur dengan tergesa-gesa ke kapal mereka, dihadapkan pada kekuatan 33,000 rakyat Bali dari Badung, Gianyar, Tabanan dan Klungkung.[11] Hal ini mengakibatkan kebuntuan.[11][12] Selain Michels, Kapten H. Everste dan tujuh orang tentara Belanda juga dilaporkan tewas termasuk 28 orang luka-luka. Pertempuran tersebut bermula dari terdamparnya dua skoner (perahu) milik G.P. King, seorang agen Belanda yang berkedudukan di Ampenan, Lombok di pelabuhan Batulahak, di sekitar daerah Pesinggahan. Kapal ini kemudian dirampas oleh penduduk Pesinggahan dan Dawan. Raja Klungkung sendiri menganggap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang-orang Sasak itu sebagai pengacau sehingga langsung memerintahkan untuk membunuhnya. Oleh Mads Lange, seorang pengusaha asal Denmark yang tinggal di Kuta yang juga menjadi agen Belanda dilaporkan kepada wakil Belanda di Besuki. Residen Belanda di Besuki memprotes keras tindakan Klungkung dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas perjanjian 24 Mei 1843 tentang penghapusan hukum Tawan Karang. Kegeraman Belanda bertambah dengan sikap Klungkung membantu Buleleng dalam Perang Jagaraga, April 1849. Karenanya, timbullah keinginan Belanda untuk menyerang Klungkung.[12] Beberapa jam kemudian, dipimpin Anak Agung Ketut Agung, sikep dan pemating Klungkung menyergap tentara Belanda di Kusamba. Kontan saja tentara Belanda yang sedang beristirahat itu kalang kabut. Dalam keadaaan kacau balau itu, Jenderal Michels berdiri di depan puri. Untuk mengetahui keadaan tentara Belanda menembakkan peluru cahaya ke udara. Keadaan pun menjadi terang benderang. Justru keadaan ini dimanfaatkan laskar pemating Klungkung mendekati Jenderal Michels. Saat itulah, sebuah meriam—yang dalam mitos Klungkung dianggap sebagai senjata pusaka dengan nama "I Selisik", konon bisa mencari sasarannya sendiri—ditembakkan dan langsung mengenai kaki kanan Michels. Sang jenderal pun terjungkal. Kondisi ini memaksa tentara Belanda mundur ke Padangbai. Jenderal Michels sendiri yang sempat hendak diamputasi kakinya akhirnya meninggal dunia. Dua hari berikutnya, jasadnya dikirim ke Batavia.[13] Klungkung sendiri kehilangan sekitar 800 laskar Klungkung termasuk 1000 orang luka-luka. Namun, Perang Kusamba tak pelak menjadi kemenangan gemilang karena berhasil membunuh seorang jenderal Belanda. Sangat jarang terjadi Belanda kehilangan panglima perangnya apalagi Michels tercatat sudah memenangkan perang di tujuh daerah.[14] Karya sastraSelain memegang tampuk pemerintahan, ia mengisi waktu sebagai penulis dengan menggubah dan membuat kidung serta kakawin. Dewa Agung Istri Kanya tersohor sebagai salah seorang ratu yang sangat mencintai sastra. Pada masanya, seni makakawin atau mabebasan berkembang pesat. Dewa Agung Istri Kanya bukan semata seorang penikmat karya sastra, dia juga seorang pengarang (pangawi) pada zamannya. Karenanya, Dewa Agung Istri Kanya kerap dijuluki sebagai raja kawi (rakawi). Karena kecintaan dan perhatiannya yang besar pada sastra itu kemudian menempatkannya sangat istimewa di mata para pengawi. Karena itu dia mendapat nama Naranatha Kanya (dalam Astikayana), Wirya Kanya (dalam Babad Dalem), Nrpakanya (dalam Prthadharma), di samping Nrpatiwadhu, Rajadayita, juga Narendra Dayita. Karya-karyanya yang terkenal antara lain: Kakawin Pralambang Bhasa Wewatekan dan Kidung Padem Warak, yang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang paling mengesankan dalam hidupnya.[15] Karya-karya lainnya;[16]
Lihat pulaReferensi
Bacaan lanjutan
|