Danurejo IV (III)
Terdapat perbedaan sistem pencatatan sejarah yang dapat membingungkan orang awam. Ia menggantikan patih yang bergelar Kiai Adipati Danurejo atau Mas Tumenggung Sindunegoro (1811-1813 M) yang diangkat oleh Sultan Hamengkubuwana II, tetapi masa jabatannya tidak diakui oleh Inggris. Beberapa pihak mencatat Sindunegoro sebagai Danurejo III dan Sumodipuro sebagai Danurejo IV. Pihak Kraton Yogya sendiri mencatatnya sebagai Danurejo III.[2] Danurejo IV menjadi patih pada masa pemerintahan 3 sultan, dari masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana III hingga Hamengkubuwana V. KeluargaDanurejo IV lahir sekitar tahun 1780, keturunan Tionghoa (marga Pei dari Sidoarjo) dan Bali (trah Surapati dari ujung timur Jawa) yang berdiam di Japan (Mojokerto).[3] Ia adalah anak dari Mas Tumenggung Sumadirja, patih kediaman putra mahkota (kadipaten) saat HB III ditunjuk sebagai putra mahkota (sekitar 1807-1810). Sumadirja adalah saudara laki-laki ibu Ratu Kedhaton, ibunda HB III, melalui keluarga bupati Yogya dari Magetan. Kedekatan dengan keluarga Kesultanan Yogyakarta juga terbangun dari pernikahan. Danurejo IV menikahi anak HB II dari istri kesayangannya, Ratu Kencono Wulan, setelah diangkat sebagai patih.[4] Patih DalemPengangkatanPatih Danurejo sebelumnya tidak diakui oleh Inggris dan telah lanjut usia, sehingga Sultan Hamengkubuwana III memutuskan menunjuk patih baru. HB III dan putra tertuanya, Pangeran Diponegoro, mempertimbangkan dua nama, yakni Pringgodiningrat, seorang pejabat senior keraton dan Mas Tumenggung Sumodipuro, mantan bupati Japan (Mojokerto).[5] Diponegoro memilih Sumodipuro yang lebih muda dan dari kalangan rakyat biasa, meskipun hal ini mengherankan ayahnya. Pada akhirnya, Sumodipuro diangkat sebagai Danurejo IV (III) pada 2 Desember 1813.[6] Masa jabatanAwalnya, patih baru ini menduduki jabatannya dengan baik yang diakui oleh pihak istana maupun pihak kolonial. Pangeran Panular yang menulis Babad Jatuhnya Yogyakarta menceritakan kesan-kesan istimewa saat pidato pengukuhan Danurejo IV. Jenderal De Kock mendeskripsikan Danurejo IV sebagai "seorang Jawa yang baik, berbusana rapi, suka mengendarai kuda-kuda yang gagah, punya gundik-gundik cantik, dan tidak bisa lepas dari pipa rokok madat."[7] Seiring berjalannya waktu, sifat-sifatnya yang negatif muncul ke publik. Ia gemar bersenang-senang dan punya ambisi tinggi sehingga tak jarang menyalahgunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang. Selama menjabat sebagai patih dalem, skandal seks, suap, dan korupsi merajalela. Perangainya yang buruk membuatnya disebut sebagai "setan berbaju manusia" yang "merampok uang rakyat sembari duduk-duduk" dalam salah satu teks Jawa pada masa itu.[8] Diponegoro yang awalnya mendukungnya sebagai patih berbalik memusuhinya karena berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat seperti kebijakan pajak dan sewa tanah yang menguntungkan pemerintah kolonial. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana IV, masalah serius muncul sehubungan dengan pengangkatan petugas polisi pedesaan dan pemungut pajak yang disebut gunung. HB III dan Diponegoro telah mendiskusikan rencana untuk menghapus peran mereka untuk meringankan beban pajak di pedesaan. Namun, meninggalnya HB III pada 1814 membuat rencana itu belum direalisasikan. Sementara itu, patih Danurejo IV dan komandan pengawal Sultan, Tumenggung Wironegoro memutuskan untuk mengangkat 40 petugas polisi pedesaan baru pada 1816. Mereka digaji dari uang pajak kerajaan dan bertugas memungut pacumpleng atau pajak rumah tangga sebesar 10-20 sen per pintu rumah sebanyak dua kali setahun. Selain itu mereka juga bertugas sebagai penegak hukum Kepatihan. Dalam Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta, tingkah laku petugas (gunung) tersebut lebih mirip preman; mereka tak segan menggunakan kekerasan ketika menangkap orang yang ketahuan mencuri atau merampok. Penunjukan 40 petugas tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai salah satu wali HB IV membuat Diponegoro murka. Ia memberi Sultan HB IV dua pilihan: mengikuti nasihatnya dan mencabut surat penunjukan mereka atau tetap mempertahankan surat itu dan secara terbuka memihak pada dua musuh, Danurejo IV dan Wironegoro. HB IV memilih mencabut surat penunjukan, meski demikian masih terdapat laporan tentang penyalahgunaan wewenang dan penindasan yang dilakukan oleh gunung hingga sebelum Perang Jawa.[9][10] Danurejo IV dan pejabat-pejabat kesultanan pada masa itu tampaknya tidak mengenal dengan baik wilayah Kesultanan Yogyakarta. Seperti yang diceritakan Residen Smissaert (1823-1825), pengganti Nahuys, pejabat kesultanan tidak ramah dengannya dan tak mengenal dengan baik wilayah kekuasaan mereka. Bahkan, Danurejo IV baru pertama kali mengunjungi banyak tempat di Yogyakarta saat bepergian dengan Smissaert.[11] Anehnya, Smissaert memberi banyak tanggung jawab dan mengandalkan bantuan dan nasihat Danurejo IV selama ia menjabat sebagai residen. Sebaliknya, Danurejo IV menggunakan kepercayaan Smissaert untuk mengambil keuntungan demi kepentingan pribadi. Menurut Louw dan De Klerck, Danurejo IV gemar main perempuan, mengisap pipa opium, dan membeli pakaian-pakaian bagus. Tak heran banyak yang mencelanya sebagai administrator yang tidak efektif dan korup.[12] Kebijakan sewa tanah dan penghapusannyaKebijakan sewa lahan pertanian di Jawa oleh orang-orang Eropa di era Residen Nahuys van Burgst (1816-1822) berdampak besar pada kesultanan dan Patih Danurejo. Banyak pangeran dan pejabat kerajaan yang menyewakan lahannya. Diponegoro mengkritik Danurejo IV yang mengizinkan penyewaan lahan sawah milik di Rojowinangun kepada pengusaha asal Inggris. Ketika Danurejo IV menjawab kritik itu sekenanya, pangeran marah besar dan memukulkan selopnya ke wajah Danurejo. Hal ini terjadi saat Grebeg Puasa 12 Juli 1820 dan disaksikan oleh banyak orang, termasuk seorang sentono (anggota keluarga sultan). Ini adalah salah satu dari sekian kejadian yang membuat permusuhan di antara Danuerejo IV dan Pangeran Diponegoro.[13] Kebijakan sewa tanah ini kemudian dihapuskan pada era Gubernur Jenderal Van der Capellen. Pada 6 Mei 1823, sang gubernur jenderal mengumumkan bahwa semua sewa tanah akan dikembalikan ke pemilik aslinya mulai 1824. Ini artinya para pemilik asli harus membayar kompensasi kepada para penyewa lahan dari Eropa. Kebijakan ini menimbulkan efek yang cukup besar bagi Kesultanan Yogyakarta yang menerapkan sistem kompensasi langsung. Danurejo IV dan Ratu Ageng (nenek Sultan) diduga memberikan tekanan agar menuruti kemauan Belanda yang ingin ganti rugi langsung karena Sultan HB V masih kanak-kanak. Sistem ganti rugi diambil dari kas Sultan, mengingat tanah yang disewa adalah tanah jabatan milik keraton. Akibatnya, keraton terancam bangkrut dan harus menjual harta benda dan pusaka keluarga untuk menutupi biaya hidup. Bahkan, keraton terpaksa meminjam ke Kapitan Cina. Dalam negosiasi ganti rugi terkait perkebunan di Bedoyo, wali Sultan HB V, Diponegoro dan Mangkubumi bernegosiasi dengan Nahuys terkait tuntutan ganti rugi sebesar 50 ribu dolar Spanyol yang kemudian diturunkan menjadi 26 ribu dolar Spanyol setelah negosiasi. Kedua wali sultan itu masih belum puas dengan jumlah yang harus dibayar, tetapi Ratu Ageng memerintahkan Danurejo untuk menerima tawaran Nahuys demi menjaga hubungan baik dengan Belanda. Sejak saat itu, Diponegoro dan Mangkubumi enggan berurusan dengan keraton. Urusan-urusan dalam keraton kemudian diputuskan oleh Residen Smissaert dan Asisten Residen Chevallier, Ratu Ageng, Danurejo IV, komandan pengawal sultan Wironegoro, dan penerjemah Karesidenan Johannes Godlieb Dietreé.[14] Perilaku sewenang-wenang dan korupsiPerilaku sewenang-wenang, korupsi, dan penyalahgunaan jabatan kerap ditemukan saat Danurejo IV menjabat. Residen Yogya pengganti Smissaert, Van Sevenhoven menulis bahwa sang patih "sewenang-wenang dan korup." Dalam catatan Valck, praktik jual beli jabatan, pemecatan pejabat resmi keraton, dan penggelapan uang keraton adalah hal yang lumrah. Perilaku tidak terpuji sang patih juga dilakukan terhadap putri-putri keraton. Menurut Mangkubumi, sang patih sering "membawa para putri keraton ke tempat-tempat peristirahatan di pedesaan untuk 'berpesta pora dan mencemari mereka'." Tak hanya Danurejo IV, kegiatan ini juga dilaksanakan bersama para pejabat Belanda, seperti Smissaert, Chevallier, dan Dietreé.[15] Perbuatan keji Danurejo IV dan para pejabat Belanda membuat Diponegoro muak. Ia berkomentar bahwa Keraton Yogya sudah menjadi "rumah bordil" dan bersumpah untuk "menghancurkannya rata dengan tanah sampai pada batu terakhir."[16] Akhir hayatMenurut catatan Kesultanan Yogyakarta, Danurejo IV pensiun pada 22 Februari 1847 setelah menjabat selama 34 tahun pada masa pemerintahan 3 sultan. Ia pensiun sebagai Kanjeng Pangeran Kusumoyudo hing Japan dan meninggal di Mojokerto pada tahun 1849.[2] Catatan kaki
Referensi
|