Cinta kasih dalam Kekristenan

Sebagaimana sistem etika lainnya, Kekristenan juga dibangun atas sejumlah kebajikan.

Cinta kasih dalam Kekristenan merupakan dasar bagi kebajikan teologi Kekristenan sebagaimana sistem etika lainnya. Kebajikan dalam Kekristenan secara konvensional dibagi menjadi tujuh bagian dan jika dikombinasikan dengan tujuh dosa besar dapat menjelaskan seluruh spektrum perilaku manusia. Kebajikan-kebajikan teologis tersebut tidak berasal dari manusia secara alami. Kebajikan tersebut ditanamkan Tuhan melalui Kristus dan kemudian diamalkan oleh orang yang beriman kepada-Nya. Menurut Paul Brett dalam bukunya berjudul Love Your Neighbour, cinta kasih dalam Kekristenan adalah "aku mencintaimu karena kamu adalah manusia seperti diriku".

Kebajikan

Suatu waktu berdirilah seorang ahli Taurat seraya bertanya untuk menguji Yesus. “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" tanyanya. “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat,” jawab Yesus. "Apa yang kau baca di sana?” tanya orang itu lagi. “Cintailah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, jiwamu, kekuatanmu, dan akal budimu. Cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri,” kata Yesus lagi.[1]
––––– Lukas 10:25–28

Menurut Agustinus dari Hippo dan Thomas Aquinas, cinta kasih merupakan bagian dasar dari kebajikan teologi Kekristenan sebagaimana sistem etika lainnya. Kebajikan dalam Kekristenan secara konvensional dibagi menjadi tujuh bagian dan jika dikombinasikan dengan tujuh dosa besar dapat menjelaskan seluruh spektrum perilaku manusia. Mahnaz Heydarpoor dalam bukunya berjudul Wajah Cinta Islam dan Kristen mencatat bahwa tujuh kebajikan tersebut terdiri dari empat kebajikan “alami” (yang sudah dikenal di dunia pagan kuno) dan tiga kebajikan “teologis” (yang secara khusus ditemukan dalam Kekristenan). kebajikan alami dapat diperoleh melalui usaha manusia, tetapi kebajikan teologis muncul sebagai anugerah dari Tuhan.[2]

Kebajikan-kebajikan teologis di sisi lain tidak berasal dari manusia secara alami. Kebajikan tersebut ditanamkan Tuhan melalui Kristus dan kemudian diamalkan oleh orang yang beriman kepada-Nya. Kebajikan-kebajikan alami tersebut adalah kebijaksanaan, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Menurut Mahnaz, daftar kebajikan ini berasal dari Sokrates dan dapat ditemukan dalam pemikiran Plato dan Aristoteles. Selain empat kebajikan itu, Kekristenan menambahkan tiga kebajikan teologis, yaitu iman, harapan, dan cinta kasih.[3] Tiga kebajikan ini awalnya diperkenalkan oleh Paulus dari Tarsus, yang memilih cinta sebagai yang utama dari ketiganya.[2]

Demikianlah tinggal tiga hal ini, yaitu iman, pengharapan, dan kasih, tetapi yang paling besar dari ketiganya ini adalah cinta kasih.[4]
––––– Korintus 13:13

Menurut ajaran Kekristenan, kebajikan-kebajikan teologis tidak berasal dari manusia secara alami. Kebajikan tersebut ditanamkan Tuhan melalui Kristus dan kemudian diamalkan oleh orang yang beriman kepada-Nya.

Hal ini menandakan bahwa cinta menjadi acuan yang paling menentukan umat Kristiani. Ketika banyak kewajiban berebut perhatian, cinta adalah prioritas yang harus diberikan. Sebegitu pentingnya cinta membuat seluruh perjalanan spiritual dipandang sebagai bentuk cinta. William Johnston, seperti dikutip oleh Mahnaz, menulis sebagai berikut.[2]

Ia (mistisisme) adalah jawaban atas panggilan cinta, yang setiap tahapannya diterangi dan dibimbing oleh nyala yang hidup, kobaran yang menyilaukan, cinta tanpa syarat dan tanpa batas. Cinta inilah yang kata Paulus lebih unggul daripada anugerah karismatik apa pun dan tidak dibatasi oleh apa pun. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu... Kasih tidak berkesudahan (Korintus 13:7–8).[2]

Ajaran dalam Kekristenan mengedepankan penekanan cinta kepada Tuhan dan sesama manusia sebagai perintah utama. Orang yang mencintai Tuhan tidak mungkin melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak-Nya dan selalu melakukan sesuatu yang menyenangkan-Nya. Hal inilah yang menyebabkan Agustinus mengatakan, "Cintailah Tuhan, lalu lakukan apa saja yang kamu sukai”. Ajaran utama dalam moralitas Kekristenan ini didapat dari Perjanjian Lama. Markus 12:28–31 mencatat kisah penting berikut.[2]

Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bertanya jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: “Hukum manakah yang paling utama?” Yesus menjawab: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa. Cintailah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, jiwamu, kekuatanmu, dan akal budimu. Dan hukum kedua ialah cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini".
––––– Markus 12:28–31

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, perintah cinta kepada sesama manusia dalam Kekristenan sejajar dengan perintah yang tertinggi dan terpenting, yaitu cinta kepada Tuhan. Paulus mereduksi seluruh hukum menjadi mencintai sesama manusia. Dia berkata sebagai berikut.[2]

Barang siapa mencintai sesama manusia, dia sudah memenuhi hukum Taurat. Perintah "jangan berzina, jangan membunuh, jangan mencuri, dan jangan mengingini" serta perintah lainnya sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu, "cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri". Cinta tidak berbuat jahat kepada sesama manusia karena merupakan kegenapan hukum Taurat (Roma 13:8–10). Sebab, sebuah hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu "cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri!”(Galatia 5:14).

Perjanjian Lama juga menyebutkan sebagai berikut.[2]

Dengarlah, hai Israel: Tuhan itu adalah Allah kita, Tuhan itu esa. Cintailah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, jiwamu, dan kemampuanmu.[5]
––––– Ulangan 6:4–5

Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus-terang menegur sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu sendiri karena dia. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri: Akulah Tuhan.[6]
––––– Imamat 19:17–18

Konsep

Cinta kasih dalam Kekristenan adalah "aku mencintaimu karena kamu adalah manusia seperti diriku".

Terdapat sejumlah definisi tentang konsep cinta dalam ajaran Kekristenan. Setiap definisi tersebut menekankan aspek-aspek tertentu, misalnya mendefinisikan cinta sebagai keserasian atau kesamaan dengan sesuatu apa yang dipandang – dengan cara tertentu – sebagai sesuai yang menyenangkan. Pengertian ini dapat dilihat di New Catholic Encyclopedia. Ronda Chervin, dalam bukunya berjudul Churh of Love, menyoroti tiga unsur cinta yang dapat diterima secara universal, yaitu:[2]

  • Pertama, yang paling pokok adalah kepasrahan diri. Cinta bukan hanya memberikan sesuatu, melainkan menyerahkan seluruh diri kepada yang dicintai. Menurut Chervin, aspek cinta Tuhan kepada manusia ditandai dengan mempersembahkan anak tunggal-Nya kepada umat manusia. Dia memberikan diri-Nya melalui anak-Nya.
  • Kedua, cinta tidak pernah statis. Sang pencinta tidak hanya menyerahkan dirinya dan kemudian berdiam diri. Dikatakan bahwa seseorang meninggalkan dirinya dengan cinta dan hidup bersama yang dicintai.
  • Ketiga, cinta adalah mengubah. Cinta membuat sang pencinta berusaha selalu menyenangkan yang dicintai. Cinta seorang hamba kepada Tuhan mengubahnya menjadi orang beriman yang sejati.[2]

Ketiga ciri tersebut melekat dalam diri seorang pencinta. Dia senantiasa memasrahkan dirinya kepada orang yang dicintainya, hidup bersama tanpa ada "pembatas", dan merubah dirinya untuk selalu berbuat kebajikan – kepada Yang Kuasa maupun sesama manusia.[7] Cinta selalu mendorong pencinta untuk berbuat sesuatu yang menyenangkan bagi orang yang dicintainya – menyenangkan pula bagi Tuhan yang menciptakan cinta itu sendiri. Dalam ranah historis, terdapat pemahaman cinta dalam Perjanjian Baru yang bersifat Helenistik. Pemahaman Injil tentang cinta (agape) merujuk kepada konsep Platonisme tentang Eros.[8] Meskipun cinta erotis kerap dipahami sebagai hasrat dan nafsu seksual, makna relegius klasik dan filosofisnya adalah “dinamisme jiwa yang melampaui segalanya” atau “hasrat ideal untuk memperoleh kebaikan spiritual dan intelektual tertinggi”.[2]

Perjanjian Baru Yunani dalam perkembangan selanjutnya tidak lagi menggunakan kata eros, tetapi lebih banyak menggunakan kata agape. Kata agape dalam bahasa Latin diterjemahkan sebagai caritas, yang selanjutnya muncul dalam bahasa Inggris sebagai charity dan love (cinta). Berdasarkan Perjanjian Baru, agape berarti "cinta timbal balik antara Tuhan dan manusia". Istilah itu memperluas maknanya kepada cinta sesama manusia (lihat 1 Yohanes 4:19–21).[9] Paul Brett dalam bukunya berjudul Love Your Neighbour mengungkapkan sebagai berikut.[2]

Cinta dalam agama Kristen adalah aku mencintaimu karena kamu adalah manusia seperti diriku. Di sini terdapat unsur persamaan fundamental – aku mencintaimu seperti mencintai diriku sendiri.[2]

Selain itu, Mahnaz turut menguraikan jika agape juga digunakan dalam pengertian yang sama dalam "pesta cinta". Selama abad pertama Masehi, komunitas Kekristenan berkembang menjadi unit-unit mandiri dan memandang diri mereka sebagai suatu komunitas gereja. Mereka menganut dua jenis pelayanan, yaitu pertemuan model sinagoge yang terbuka bagi semua umat, berupa pembacaan kitab suci Yahudi serta agape atau "pesta cinta" yang hanya diperuntukkan bagi kaum beriman saja. Agape adalah perjamuan persahabatan yang mengundang orang-orang miskin. Kegiatan ini biasa dilakukan pada malam hari, yang di dalamnya para peserta berbagi makan dengan disertai upacara singkat – Perjamuan Malam Terakhir – untuk mengenang penyaliban dan kematian Yesus. Inilah pesta thanksgiving (pengucapan syukur) – nama Yunaninya adalah eucharist (ekaristi), yang berarti "persembahan rasa syukur".[2]

Agustinus menggunakan istilah amor (cinta) sebagai penilaian etis yang memengaruhi perilaku.

Konsep charity (kemurahan hati) sendiri serupa dengan cinta. Kalimat tersebut merupakan terjemahan dari kata agape (bahasa Yunani Kuno), yang juga bermakna "cinta". Kemurahan hati adalah bentuk tertinggi cinta – timbal balik antara Tuhan dan manusia yang diwujudkan dalam bentuk cinta tanpa pamrih kepada sesama manusia. Kemurahan hati dalam teologi etika Kekristenan ditunjukkan melalui kehidupan, ajaran, dan kematian Yesus. Agustinus menjelaskan konsep kemurahan hati sebagai berikut.[2]

Kemurahan hati adalah kebijakan yang muncul setelah rasa sayang kita jalankan secara sempurna, akan menyatukan kita dengan Tuhan, karena dengan itulah kita mencintai-Nya.[2]

Para teolog Abad Pertengahan, terutama Thomas Aquinas, menggunakan definisi ini untuk menempatkan kemurahan hati dalam kebajikan teologis (bersama iman dan pengharapan), dan memosisikan kemurahan hati sebagai “dasar atau akar” dari kebajikan teologis. Kalangan reformis Kekristenan sendiri mengidentifikasikan agape Tuhan bagi manusia sebagai cinta yang tidak berbalas. Mahnaz menyimpulkan bahwa mereka mensyaratkan bahwa kemurahan hati – sebagaimana cinta manusia kepada sesamanya – seharusnya didasarkan bukan dari sesuatu yang diinginkan dari objek cinta, melainkan kepada transformasi subjek (pencinta) melalui kekuatan agape Tuhan.[2]

Agustinus menggunakan istilah amor (cinta) sebagai penilaian etis yang memengaruhi perilaku. Amor adalah dinamika moral yang mendorong manusia untuk melakukan suatu tindakan. Kebaikan yang lebih rendah merupakan sarana menuju kebaikan yang lebih tinggi. Kebaikan tertinggi sajalah yang dapat “dinikmati” sebagai tujuan puncak, yang merupakan wilayah hati. Bagi Agustinus, kebaikan tertinggi – yang buahnya hanya bisa dicapai setelah manusia mampu mencapai kesempurnaan – adalah Tuhan, yang sifat dasarnya adalah cinta.[2]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ "Lukas 10:25–28". Alkitab Sabda. Diakses tanggal 11 Juli 2021. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 121–128. ISBN 978-602-0265-30-8. 
  3. ^ Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 46–48. ISBN 978-979-9075-69-7. 
  4. ^ "Korintus 13:13". Alkitab Sabda. Diakses tanggal 11 Juli 2021. 
  5. ^ "Ulangan 6:4–5". Alkitab Sabda. Diakses tanggal 11 Juli 2021. 
  6. ^ "Imamat 19:17–18". Alkitab Sabda. Diakses tanggal 11 Juli 2021. 
  7. ^ Darwin (2015). Filsafat dan Cinta yang Menggebu. Yogyakarta: The Phinisi Press. hlm. 2–6. ISBN 978-602-7250-62-8. 
  8. ^ Fromm, Erich (2011). Manusia Menjadi Tuhan: Pergumulan Tuhan Sejarah dan Tuhan Alam. Yogyakarta: Jalasutra. hlm. 173–174. ISBN 978-602-8252-70-6. 
  9. ^ "1 Yohanes 4:19–21". Alkitab Sabda. Diakses tanggal 11 Juli 2021. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya