Cina (kata)
Kata "cina", juga dikenal sebagai "china, shina atau sina", dalam aksara Han ditulis "支那, 至那, 脂那, 摩訶至那國", adalah bersumber dari India yang berasal dari bahasa Sanskerta चीन (cīna) dan bersumber yang sama dengan kata Cīna-sthāna . Kata ini ditemukan dalam kitab Buddhis terjemahan biarawan pada zaman dulu, yang berarti "negeri yang jauh", " negara ideologi", atau juga "negara Qin" dalam pengucapan bahasa Sanskerta, awalnya merupakan sebutan untuk Dinasti Jin Tiongkok dalam kitab Buddhis zaman dulu. Pada zaman dulu, umat Buddha menyebut India sebagai "Tiongkok", yang berarti "negeri tengah" atau "negeri pusat", dan sebaliknya menyebut negeri Tiongkok dengan nama "Cina" 「支那」,[1] yang tidak mengandung unsur diskriminasi apa pun, justru merupakan sebutan kehormatan. Istilah ini juga dipakai pada zaman dulu di Tiongkok dan Jepang. Di Jepang terdapat wilayah yang bernama Chugoku, yang secara harfiah berarti "tempat tiongkok". Setelah periode Edo, lebih sering menggunakan "shina" ("cina") untuk menyebut Tiongkok, dengan tujuan untuk menghindari kebingungan. Seiring dengan popularitas Buddhisme, istilah ini menyebar sampai ke Asia Tengah dan Asia Tenggara, dan juga mempengaruhi Eropa Barat. Kosakata ini masuk ke Jepang pada awal abad ke-9 melalui penyebaran agama Buddha. Setelah periode Edo, "shina" telah menjadi semacam sebutan populer rakyat Jepang yang tidak resmi untuk Tiongkok. Istilah ini setelah Restorasi Meiji, masuk kembali ke Tiongkok, juga digunakan oleh kalangan intelektual Tiongkok.[2] Kata "cina" menurut pandangan Jepang dan dunia, adalah sebutan lazim wilayah, dikarenakan seringnya perubahan rezim di Tiongkok, penyebutan nama negara menjadi tidak tetap. Menurut pandangan Jepang, "shina" awalnya merupakan istilah yang netral, penyebutan "shina" oleh orang Jepang dengan "china" oleh orang Barat tidaklah berbeda dan tidak bermakna diskriminasi. Pada masa itu, istilah yang secara nyata digunakan orang Jepang untuk mendiskreditkan orang "Shina" adalah "budak Dinasti Qing". Seiring tren pemikiran "meninggalkan Asia, memasuki Eropa" yang semakin berkembang di Jepang setelah Restorasi Meiji, istilah yang awalnya dipakai dalam Buddhisme, yakni "shina", secara masif mulai menggantikan sebutan yang berhubungan dengan Tiongkok dalam bahasa Jepang. (Pada masa itu, orang Jepang populer menyebut orang "Shina" sebagai orang negara (dinasti) Qing atau "Han Tang Ming", di mana negara (dinasti) tersebut sudah hancur atau akan segera hancur. Agar praktis tidak perlu berganti-ganti sebutan lagi). Sejak itu, "shina", sebuah kata dalam bahasa Jepang secara bertahap meninggalkan makna penggunaanya dalam Buddhisme, menjadi representasi nama negara tetangga Jepang di Asia Timur. Dalam bahasa Jepang, penulisan kata tersebut dalam Kanji identik dengan penulisan dalam aksara Han, yakni "支那", dengan aksara Kana-nya "しな", Romanisasi-nya ditulis dalam dua jenis: "shina" (Alih aksara Hepburn) atau "sina" (Alih aksara Kunrei-shiki). Setelah berakhirnya Perang Sino-Jepang, Jepang menyebut Republik Tiongkok dengan nama "Republik Shina (Cina)", dan dikarenakan atmosfer permusuhan antara kedua negara, terhadap "Shina" banyak mendapat kritik negatif. "Shina" secara bertahap ditambahkan pencitraan negatif seperti bodoh dan inferior. "Shina" dalam Republik Tiongkok kemudian dianggap sebagai sebuah istilah diskriminasi ras, merupakan penghinaan terhadap bangsa Tiongkok. Setelah protes oleh pemerintah Republik Tiongkok di bawah kepemimpinan Chiang Kai-shek, pemerintah Jepang telah mengumumkan secara resmi tidak menggunakan lagi kata ini untuk acara resmi.[3] Republik Rakyat Tiongkok saat ini juga memandang kata "cina" sebagai istilah diskriminasi yang bermakna menghina, menyebut Republik Rakyat Tiongkok sebagai "orang Cina", akan dianggap sebagai penghinaan.[4] Galeri
Referensi
|