Chen Fu Zhen RenChen Fu Zhen Ren (Hanzi= 陈府真人; Hokkien= Tan Hu Cin Jin) adalah salah satu leluhur etnis Tionghoa (Tionghoa) yang dipuja di wilayah Banyuwangi dan sekitarnya. Selain dipuja oleh peranakan Tionghoa yang menetap di Indonesia, Gongzu Chen Fu Zhen Ren juga dipuja oleh sebagian etnis Bali dan Jawa terutama yang memeluk kepercayaan Kejawen. Klenteng-klenteng yang memuja Chen Fu Zhen Ren sebagai panutan utama mereka tersebar di wilayah Pulau Jawa, Bali, hingga Pulau Lombok. Namun, Chen Fu Zhen Ren juga dikenal hingga ke Jawa Barat dan Mancanegara. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa warga Tionghoa dari Banyuwangi dan sekitarnya yang menetap di Jawa Barat serta masih memiliki sanak keluarga di daerah asal mereka. Selain itu, umat Klenteng Chen Fu Zhen Ren juga secara periodik melakukan kirab ke berbagai daerah, misalnya mengunjungi TITD Hwie Ing Kiong di Madiun, dengan membawa rupang sang Dewa dalam sebuah arak-arakan. Jalur perdagangan serta penelitian akademis juga berperan besar membawa nama Chen Fu Zhen Ren hingga ke Singapura, RRT, Belanda, dan sebagainya. EtimologiNama Chen Fu Zhen Ren menyandang gelar Zhenren, bila diterjemahkan menjadi Manusia Sejati Tan. Istilah Zhen Ren (atau Cin Jin menurut dialek Hokkien) memiliki arti Manusia Sejati, sementara Chen (Hokkien: Tan) merupakan nama keluarga atau Marga.
Sejarah tertulisHanya ada dua sumber tertulis yang mengisahkan kehidupan Chen Fu Zhen Ren, sementara sumber-sumber lain tidak ditulis melainkan diturunkan secara lisan. Sumber pertama adalah biografi singkat yang tertuang dalam prasasti pendirian Klenteng Liong Coan Bio di Probolinggo. Sumber kedua berasal dari dokumen Melayu yang disimpan di KITLV, Leiden, Belanda. Dokumen tersebut berhasil disalin oleh seorang cucu dari pengurus Klenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi (nama penyalin tidak berhasil diidentifikasikan) pada tahun 1880 saat ia berada di Buleleng, Bali.[2] Prasasti di Probolinggo menuliskan asal usul dia sebagai berikut:
Tulisan Melayu mengisahkan perjalanan hidup Chen Fu Zhen Ren saat dia masih sebagai manusia hingga legenda yang terjadi setelah dia meninggalkan dunia. Kisah hidup Chen Fu Zhen Ren dibawah ini merupakan ringkasan dari salinannya yang dibuat oleh Penulis Aku (Buleleng, 2 Juni 1880).[2] Masa kehidupan sebagai manusiaDalam tulisan ini, Chen Fu Zhen Ren disebutkan bernama Tan Cin Jin (menurut dialek Hokkien). Ia adalah kakak tertua dan memiliki dua adik pria yang datang ke Indonesia bersama-sama. Tan Cin Jin menjadi kapten dari kapal bertiang satu (Perahu Sloop). Pada suatu ketika mereka mengadakan perjalanan dari Batavia menuju Bali, tetapi perahu mereka naas di Selat Bali. Tan Cin Jin terdampar di pantai Blambangan, adik keduanya hilang di laut, sementara yang ketiga terdampar di pantai Bali. Umat Klenteng Chen Fu Zhen Ren meyakini bahwa adik kedua dia menjadi Dewa di Pantai Watu Dodol dan disebut Ji Kongco (Kakek Buyut Kedua) sementara yang ketiga menjadi harimau dan disebut Sa Kongco (Kakek Buyut Ketiga). Itulah sebabnya masyarakat setempat, terutama suku Fujian (Hokkian), percaya bahwa harimau tidak akan memangsa mereka yang telah dianggap sebagai cucu-cucunya. Chen Fu Zhen Ren kemudian menuju Kerajaan Blambangan. Dituliskan bahwa Ketika itulah mulai baharu ada orang Tiongkok di negri Blambangan, yang menurut C. Salmon dan M. Sidharta diartikan bahwa pada waktu itu orang Tionghoa baru saja mulai menetap di kerajaan Blambangan. (Menurut Babad Blambangan yang ditulis oleh Raden Haryo Notodiningrat dan Ottolander, 1915, masyarakat Tionghoa mulai menetap di Blambangan pada tahun 1631[3]). Meskipun tulisan Melayu tidak menyebutkan kapan hal tersebut terjadi, tetapi disebutkan bahwa pada saat itu Kerajaan Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi. Hal tersebut menjadi dasar bagi kedua peneliti untuk menyimpulkan bahwa kedatangan Chen Fu Zhen Ren di Blambangan terjadi setelah tahun 1729, yaitu setelah Kerajaan Buleleng dikalahkan Kerajaan Mengwi.[4] Tan Cin Jin diterima oleh Raja Blambangan yang kemudian memerintahkannya membangun sebuah istana di Macanputih (kini berada di wilayah Probolinggo). Dikisahkan bahwa istananya begitu sempurna sehingga kabar bahwa Raja Blambangan memiliki arsitek berbakat sampai ke telinga Raja Mengwi. Pada saat itu, Raja Mengwi hendak mengadakan sebuah pesta besar serta membangun istana baru, sehingga Raja Blambangan mengutus Tan Cin Jin ke Mengwi. Awalnya Tan Cin Jin menolak karena mengetahui bahwa ia akan dikhianati, tetapi Raja Blambangan terus memaksa bahkan bersumpah bahwa jika Tan Cin Jin mengalami musibah di sana, Kerajaan Blambangan tidak akan diberkahi selama beberapa generasi. Tan Cin Jin akhirnya berangkat ke Mengwi dan segera membangun istana baru. Saat istana selesai baru separuh, para pegawai istana datang menghadap Raja Mengwi dan berkata bahwa raja percuma menyewa si pemahat Tionghoa karena pekerjaannya sangat mudah sementara upahnya mahal. Masyarakat Bali sendiri mampu melakukan pekerjaan yang sama dan upahnya tidak semahal itu. Raja Mengwi bingung karena telanjur berjanji akan membayar upahnya, apalagi ia telah memanggilnya dari tempat yang jauh. Para pegawai istana menganjurkan raja untuk membunuhnya karena Tan Cin Jin hanya seorang diri (sebatang kara). Raja Mengwi kemudian mengutus dua orang dari kasta Brahmana untuk membunuhnya. Kedua orang ajudan raja mengundang Tan Cin Jin ke pantai untuk menikmati hiburan. Sesampai di pantai, mereka bingung dan terdiam karena menyadari bahwa korban mereka sebenarnya tidak bersalah. Tan Cin Jin menyuruh mereka untuk melaksanakan perintah raja. Namun, karena dirinya tidak bersalah, pembunuhan tersebut akan menjadi peringatan bahwa tidak lama lagi Kerajaan Mengwi dan Blambangan akan hancur. Kedua ajudan tersebut ketakutan dan memohon maaf, selain mereka juga tidak sanggup membunuh Tan Cin Jin. Keduanya tidak berniat kembali, sebab raja pasti akan membunuh mereka karena gagal melaksanakan perintahnya. Tan Cin Jin mengajak keduanya ke Blambangan. Dalam kisah, Tan Cin Jin dikatakan berjalan kaki melintasi laut. Kedua sandalnya digunakan kedua ajudannya untuk mengambang. Sesampai di pantai Blambangan, mereka naik ke puncak Gunung Sembulungan dan moksa (menghilang) di sana. [3]Masa kehidupan setelah Menjadi roh suci40-50 tahun kemudian, dikatakan bahwa saat itu banyak sekali orang Tionghoa yang menetap di Blambangan dan empat perkampungan Tionghoa terbentuk di Banyualit, Kedaleman, Lateng dan Kesatrian, kisah Chen Fu Zhen Ren kembali muncul. Peneliti C. Salmon dan M. Sidharta meyakini bahwa kisah ini terjadi tidak sampai 50 tahun kemudian, sebab menurut perkiraan mereka, Tan Cin Jin tiba di Blambangan setelah tahun 1729 (setelah Mengwi menguasai Blambangan) dan tahun kehancuran Blambangan (berdasarkan tulisan ini) adalah pada tahun 1765. Pada masa itu (Abad XVII), terdapat lalu lintas budak yang penting antara Bali dan Batavia, termasuk lalu lintas perbudakan terpenting di Asia.[5] Suatu hari datang perahu layar besar dari Badung menuju Batavia membawa 60-70 orang budak laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, sangat sederhana dan rendahan, semuanya diikat dengan rantai besi dari leher hingga kaki mereka. Pada saat perahu tersebut sampai di seberang Gunung Sembulungan, seolah-olah perahu layar tersebut telah meninggalkan tempat itu untuk satu siang dan satu malam, dan memiliki angin yang baik dan memiliki kekuatan yang bagus, tetapi tiba-tiba pada pagi harinya perahu itu kembali lagi ke tempat yang sama. Hal tersebut terjadi hampir sebulan sehingga perbekalan hampir habis dan orang-orang di dalam perahu ketakutan (khawatir bahwa) hidup mereka akan berakhir. Di antarabudak yang berasal dari kasta Ksatria, yang mana telah dijual dan tangan, kaki, serta lehernya terikat oleh rantai besi, tiba-tiba salah satunya terbebas meskipun kuncinya masih terkunci. Ia mengalami trance, menari-nari dan berbicara kepada kapten kapal dalam bahasa Tionghoa:
Pria itu kemudian melompat ke laut dan berjalan dengan hati-hati di atas ombak, sementara kapten kapal mengikuti dengan sampan. Setelah si Ksatria sampai di puncak Gunung Sembulungan, ia menjadi sadar dan menemukan tiga patung: satu besar dan dua kecil. Keduanya kemudian membawa tiga patung tersebut ke Pelabuhan Banyualit. Di Banyualit, Kapten kapal mengumpulkan warga Tionghoa di sana, dan si Ksatria kembali kesurupan. Ia berbicara dalam bahasa Tionghoa tentang kisah hidupnya di Macanputih dan Mengwi, bagaimana kedua pembunuhnya kini menjadi dua ajudannya untuk selamanya. Kalian para orang Tionghoa di Blambangan, biarlah hal tersebut diketahui ...(kata tidak dapat diidentifikasikan) ada tiga orang lelaki bersaudara, yang di tengah hidup di Batudodol, yang termuda menjadi seekor harimau, dan hidup di dalam hutan Blambangan dan Bali. Aku tidak berniat untuk pindah dari sini, sehingga aku tahu apa yang akan terjadi di wilayah Blambangan dan Mengwi; aku ingin memuaskan hatiku dan menikmati hasil dari Blambangan dan Bali. Warga Tionghoa menyambut Chen Fu Zhen Ren dan membangun sebuah Klenteng di Lateng. Namun, setelah Blambangan diserang Belanda pada Tahun 1765, pusat kerajaan dipindahkan di Kota Banyuwangi sekarang (sebelumnya berada di sekitar Muncar). Warga Tionghoa ikut bermigrasi dan memindahkan lokasi Klenteng Chen Fu Zhen Ren ke Klenteng Hu Tang Miao yang sekarang. Penulis Aku menambahkan bahwa pada Tahun 1880 hanya terdapat tiga Klenteng Chen Fu Zhen Ren di Jawa, yaitu di Banyuwangi, Besuki, dan Probolinggo. Sementara di Bali terdapat dua Klenteng, yaitu di Buleleng dan Badung. Selain itu, tiap-tiap rumah orang Tionghoa di Tabanan, Mengwi, Bangli, Gianyar, Klungkung, Karang Asem, dan Sasak juga memiliki altar pribadi untuk Chen Fu Zhen Ren. Tiap tahunnya, penjaga Klenteng Banyuwangi berkeliling di Bali untuk mengadakan Festival Sembahyang Rebutan. Penulis Aku menyatakan:
Keterangan: kata ...wangi yang tidak terbaca, kini secara umum dianggap di Banyuwangi. Sejarah lisan dan legendaBerikut ini merupakan berbagai sejarah dan kisah Chen Fu Zhen Ren yang diturunkan dari mulut ke mulut oleh masyarakat Jawa dan Bali. Kisah dari Mengwi (Banjar Jawa)Lokasi Banjar Jawa berada di daerah utara Desa Mengwi, Bali. Penduduk banjar tersebut mengaku berasal dari Jawa dan dibawa ke Bali untuk membangun sebuah istana (puri) dibawah paduan seorang arsitek Tionghoa. Pada awal tahun 1980-an, seorang berkebangsaan Belanda bernama Henk Schulte Nordholt mendengar kisah dari I Gusti Agung Gede Rai (dari Puri Kleran) dan Ida Bagus Ketut Sindu (dari Mengwi) bahwa Raja Mengwi pernah mengadakan suatu kontes membuat rancangan terbaik untuk istana Mengwi yang baru. Seorang pandita dari Sibang mencobanya, tetapi seorang arsitek Tionghoa dari Blambangan berhasil memenangkannya. Arsitek tersebut membawa orang-orang Jawa untuk membantunya dalam proses pembangunan puri, tetapi hingga 3 hari sebelum batas waktu pembangunan, hanya tembok luar puri yang selesai dibangun. Ajaibnya, puri tersebut berhasil diselesaikan tepat pada waktunya. Penduduk Mengwi pada masa itu merasa takut dan meminta Raja Mengwi untuk membunuh sang arsitek. Namun, sang arsitek berhasil melarikan diri ke Jawa dan menghilang di Watu Dodol dengan ditemani dua orang pengiring yang konon bernama I Gusti Ngurah Subuh dan Ida Bagus Den Kayu.[6] C. Salmon dan M. Sidharta (1999) juga berhasil memperoleh informasi dari Anak Agung Gede Ajeng Tisna Mangun (dari Puri Gede Mengwi) bahwa Raja Mengwi saat itu bukan meminta sang arsitek untuk menggambar rancangan puri, melainkan rancangan Pura Taman Ayun. Sang arsitek membuat kerangka taman dengan menggali parit pembatas taman kemudian menggambar rancangan serta memberi instruksi tentang tanaman serta pepohonan yang akan ditanam. Arsitek itu kemudian pergi menuju pesisir pantai bersama dua orang yang ditugasi untuk menemaninya dan tidak pernah kembali lagi. Kisah ini diilustrasikan pada bagian depan Klenteng Gong Zu Miao di Tabanan, Bali. Kerancuan timbul karena berdasarkan sejarah, Pura Taman Ayun selesai dibangun pada Tahun 1634, tidak sesuai dengan perkiraan hidup Chen Fu Zhen Ren berdasarkan tulisan Melayu. Menurut Henk Schick Nordholt, penulis berkebangsaan Belanda, dalam bukunya Negara Mengwi, pada Tahun 1750 Taman Ayun direnovasi. Ahli bangunan yang memantau pada saat itu bernama Hobin Ho.[7] Kisah dari Klenteng Banyuwangi dan TabananKisah Chen Fu Zhen Ren dikenal cukup baik oleh umat Klenteng Hu Tang Miao, Banyuwangi, yang merupakan Klenteng tertua di Jawa Timur dan Bali. Dia disebut sebagai Wainanmeng Gongzu (Kakek Buyut dari Blambangan) atau hanya Kongco.[2] Menurut pengurus Klenteng Banyuwangi, Chen Fu Zhen Ren adalah seorang pengrajin dari Kanton (Guangzhou). Ia diminta untuk membangun istana bagi Raja Kerajaan Singaraja, tetapi banyak orang yang menjadi dengki kepadanya. Maka Chen Fu Zhen Ren melarikan diri menyeberangi Selat Bali. Chen Fu Zhen Ren menciptakan seekor harimau dari punggung sebelah kanan dan buaya dari punggung sebelah kiri untuk menahan para pengejarnya. Kemudian dia melintasi Selat Bali dengan menunggangi seekor kepiting raksasa. Versi lain mengatakan Chen Fu Zhen Ren kembali ke Blambangan secara gaib, sementara dua prajurit yang menyertainya melintasi Selat Bali di atas kepiting raksasa. Mereka sampai di pantai Banyuwangi dan menetap di sana. Oleh warga Tionghoa yang tinggal di Banyuwangi, dia disapa dengan sebutan Zhenren atau Manusia Sejati. Legenda Watu DodolChen Fu Zhen Ren adalah seorang arsitek yang memenuhi sayembara Raja Mengwi untuk membangun sebuah taman kerajaan dalam kurun waktu tertentu. Namun, hingga tiga hari dari batas waktu yang ditentukan, arsitek tersebut belum membangun apa-apa. Selama ini Raja Mengwi terus memberinya peringatan, tetapi sang arsitek terlihat acuh. Pada malam pada hari ketiga sebelum batas waktu berakhir, tiba-tiba saja taman istana yang sangat indah muncul begitu saja.[8] Raja Mengwi memerintahkan untuk menangkap sang arsitek karena takut akan kesaktiannya. Pada malam harinya, dua orang prajurit yang ditugaskan menjaga sang arsitek membawanya kabur ke Blambangan karena mereka menganggap sang arsitek sebenarnya tidak bersalah. Tidak seberapa jauh, pelarian mereka diketahui dan mereka dikejar hingga menyeberangi Selat Bali. Kedua prajurit tersebut bertempur mati-matian melindungi sang arsitek dan akhirnya tewas, sementara sang arsitek yang terkepung berubah menjadi batu berukuran besar dengan bentuk aneh, yaitu bagian atasnya lebih besar dari bawahnya. Penduduk setempat memakamkan kedua prajurit di puncak bukit di dekat batu besar tersebut, yang kemudian dinamakan Watu Dodoldan masih dikeramatkan hingga sekarang.[8] Pada saat dilakukan pelebaran jalan, pemerintah berusaha untuk memindahkan Watu Dodol tetapi tidak berhasil. Itulah sebabnya kini Watu Dodol berada di tengah-tengah dua ruas jalan raya di sebelah utara Banyuwangi.[8] Kisah Pedagang HainanTiga patung kayu di Klenteng Hu Tang Miao, Banyuwangi, memiliki kisah lain yang berbeda dari yang dituliskan dalam Tulisan Melayu.[9] Kisah ini menyebutkan seorang pedagang asal Hainan yang terhenti oleh kekuatan supranatural pada saat melintas dekat Muncar. Si pedagang menuju tepi pantai dan menjadi petapa. Suatu hari ia melihat cahaya terang di tengah hutan dan menemukan sebuah kayu terpotong menjadi tiga bagian. Ia membawanya pulang ke Hainan dan mengukirnya. Namun, ukiran kayu tersebut menolak tinggal di Hainan dan minta dibawa kembali ke Blambangan, ditempatkan pada sebuah Klenteng di Banyuwangi. Kisah arca Klenteng RogojampiMenurut tradisi lisan, seorang pedagang bernama Lin Jing Feng (1915) bermimpi bahwa Chen Fu Zhen Ren berada di Watu Dodol. Penduduk setempat biasa menyembah dua nisan Muslim yang berbentuk seperti Watu Dodol. Di sana, Lin Jing Feng menemukan sebuah arca batu yang dipercaya merupakan gambaran dari Chen Fu Zhen Ren. Arca batu tersebut kini berada di Klenteng Rogojampi. Pengalaman kaum spiritualis
Penelitian spiritualisKedua peneliti dan spiritualis Indrana Tjahjono dan Mas Soepranoto mengeluarkan sebuah hipotesis bahwa Chen Fu Zhen Ren adalah seorang kaisar ke II Dinasti Ming, yaitu Kaisar Zhu Yunwen, yang dikudeta pamannya sendiri dan menghilang. Dugaan tersebut berasal dari adanya aksesoris mahkota kaisar yang disimpan di Klenteng Hu Tang Miao, Banyuwangi. Diperkirakan bahwa simbol mahkota tersebut pernah dipakai pada arca Chen Fu Zhen Ren sekitar tahun 1950 sampai 1960an. Selain itu, ukiran pada arca tertua Chen Fu Zhen Ren terdapat ukiran naga. Bagi Bangsa RRT, ukiran atau sulaman naga tidak dapat dikenakan oleh sembarangan orang. Hanya kaisar atau panglima yang boleh memakainya. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dijatuhi hukuman mati karena dianggap melakukan makar terhadap kaisar. Sebagai Zhenren (Manusia Sejati), Chen Fu Zhen Ren diyakini tidak akan mengenakan sesuatu yang bukan haknya.[7] Kaisar Zhu Yunwen bertahta selama tiga tahun sebelum dikudeta pada tahun 1403. Zhu Yunwen menghilang, diduga melarikan diri ke Samudera Selatan. Kaisar Yung Lo khawatir Zhu Yunwen akan merebut kembali tahtanya. Ia mengirim tiga panglima, yaitu Wan Lian Fu ke Campa, Yan Qin ke Jawa, dan Cheng Ho dalam tujuh pelayarannya.[11] Konon, dalam pelayaran Cheng Ho yang ke tujuh (1433), ia singgah di Blambangan dan bertemu dengan Kaisar Zhu Yunwen. Pada saat itu, Kaisar Yung Lo telah wafat. Kedua peneliti memberikan kemungkinan bahwa peristiwa ini melahirkan nama Blambangan. Warga Tionghoa menyebut Kota Banyuwangi (Blambangan) sebagai Wai Nan Meng (Hokkien: Hway Lam Bang) yang artinya Impian di Luar Batas Selatan, merujuk kepada harapan Cheng Ho untuk bertemu kaisar telah tercapai di tempat tersebut.[7] Peristiwa kudeta Kaisar Zhu Yunwen pada tahun 1403 dengan pembangunan Pura Taman Ayu pada tahun 1627 serta perkiraan pembangunan Istana di Blambangan pada tahun 1700an menimbulkan permasalahan tersendiri. Kelompok spiritualis percaya bahwa rentang tahun yang begitu jauh justru menunjukkan kebesaran dari Chen Fu Zhen Ren. Daftar sembilan klenteng utama Chen Fu Zhen Ren
KultusChen Fu Zhen Ren dikenal bagi para pemujanya sebagai Kakek Leluhur yang ramah dan murah hati, memiliki tutur kata lembut dan santun. Ia digambarkan sebagai seorang tua yang memiliki tubuh sehat, berpakaian putih, berambut putih, dan berjanggut panjang berwarna putih. Banyak umat yang menanyakan masalah kehidupan maupun pengobatan kepada Chen Fu Zhen Ren, yang bagi umat Konghucu keakuratannya dipercaya setara dengan Kongco dari Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban. Beberapa umat yang mengalami kebaikan Chen Fu Zhen Ren meninggalkan kenang-kenangan berupa tulisan (papan nama atau sepasang papan sajak Dui Lian) atau cenderamata pada Klenteng yang memuja dia.[2] Prasasti dari Klenteng Hu Tang Miao, Banyuwangi
Prasasti dari Klenteng Bao Tang Miao, Besuki
Prasasti dari Klenteng Long Quan Miao, Probolinggo
Prasasti dari TITD Ling Yen Gong, Singaraja
Lihat pulaCatatan kaki
Pranala luar
|