Burung-Burung Manyar
Burung-burung Manyar adalah novel karangan Y.B. Mangunwijaya.[1] Novel ini terbit pertama kali pada tahun 1981.[1] Sampai tahun 2007 Burung-burung Manyar telah terbit sebanyak 15 kali.[2] Novel Burung-burung Manyar merupakan novel sejarah. Sejarah yang termuat dalam novel ini adalah sejarah Indonesia dari tahun 1934-1978.[2] Tema dari novel ini adalah Nasionalisme.[2] Latar yang digunakan adalah sejak penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, Perang Kemerdekaan sampai masa Orde Baru.[2] Tokoh dan penokohanBurung-burung Manyar mempunyai dua tokoh utama yaitu, Atik dan Teto.[1] AtikAtik bernama lengkap Larasati.[3] Atik bukanlah seorang perempuan yang anggun dan halus, melainkan berwatak pemberani dan aktif.[3] Tokoh Atik menjadi representasi tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karya Y.B. Mangunwijaya yang cenderung aktif, berani dan cerdas.[3] Nama Larasati diambil dari tokoh wayang yang merupakan adik Kresna.[3][4] Larasati adalah tokoh wayang yang lembut dan diidealkan sebagai seorang istri.[3] Akan tetapi Larasati dalam Burung-burung Manyar merupakan kebalikan dari tokoh Larasati dalam pewayangan.[3] Mangunwijaya memang kerap mengambil tokoh-tokoh wayang menjadi tokoh novelnya.[5] Kedua orang tua atik adalah pribumi Indonesia.[3] Ayahnya bernama Antana yang bekerja di Kebun Raya Bogor dan Cagar Alam Ujung Kulon. Ibunya adalah seorang perempuan desa yang memiliki hubungan dengan Keraton Mangkunegaran.[3] Atik kemudian bekerja untuk membantu Sjahrir di Yogyakarta.[3] TetoTeto merupakan tokoh yang menjalin asmara dengan Atik.[1] Dia adalah seorang Indo, ibunya seorang Belanda dan ayahnya seorang Jawa.[3] Dalam tokoh wayang karakter Teto mirip dengan Kakrasana atau Baladewa yang adalah saudara Kresna.[3] Baladewa memihak Kurawa dalam perang melawan Pandawa, sehingga ia melawan saudaranya sendiri.[3] Ayah Teto adalah seorang tentara KNIL.[3] Ibunya seorang Indo yang masih memiliki hubungan dengan keluarga keraton Mangkunegaran.[3] Selama penjajahan Jepang ayah Teto ditangkap Kempetai atas tuduhan terlibat gerakan bawah tanah.[3] Sementara ibu Teto dipaksa untuk menjadi gundik kepala Kempetai. Kelak, Teto juga bergabung dengan KNIL.[3] Verbruggen dan SyahrirVerbruggen dan Syahrir merupakan tokoh yang cukup penting di samping dua tokoh utama di atas.[3] Verbruggen adalah seorang mayor jenderal Belanda.[3] Sementara Syahrir adalah tokoh sejarah Indonesia. Keduanya meruoakan wakil hubungan antara dua kebudayaan, yaitu Belanda dan Indonesia.[3] Pasca-kolonialNovel Burung-burung Manyar dapat dibaca sebagai bentuk proyek pasca-kolonial.[3] Novel ini berusaha untuk mencari penyimpangan yang terjadi dalam penulisan sejarah Revolusi Indonesia.[3] Sejarah dalam novel Burung-burung Manyar diceritakan secara mengalir dengan beberapa masukan anekdot. Sejarah tidak disampaikan dengan nada otoriter.[3] Menjelang akhir novel, terdapat kejutan yang menggelitik. Teto atau Satadewa terbangkitkan jiwa nasionalismenya, dengan menjadi relawan membongkar kecurangan perusahaan tempatnya bekerja yang merugikan Indonesia. Jika saja tahun 1981 sudah ada KPK, atau kesadaran umum di Indonesia tentang pengelolaan sumber daya alam negara maka novel ini tentu akan lebih fenomenal lagi. Tentu saja mafia Migas masih menjadi makhluk extra terrestrial di dasawarsa 80 - 90an. Mangunwijaya sudah mengajak kita memikirkan pengelolaan Migas tiga dasawarsa lalu. Dia memiliki misi mendidik masyarakat yang masih dalam pengaruh kuat Orde Baru dengan kisah-kisah karangannya. Meski jelas bukti kuat yang dibawa seorang eksekutif perusahaan migas, tidak otomatis dapat menguntungkan rakyat Indonesia. Perjuangan Daud melawan Goliath, bukan adu tembak ala wild west, yang dihadapi Satadewa adalah perusahaannya dan gurita koruptor di Indonesia tercintanya waktu itu. PenghargaanBuku ini memperoleh dua penghargaan yang terkenal yakni South East Asia Write Award (1983) dan Ramon Magsasay Award (1996).[6] Rujukan
|