Bukit Bambu, Poso Kota Selatan, Poso
Bukit Bambu adalah kelurahan di kecamatan Poso Kota Selatan, Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. DemografiPenduduk asli Kelurahan Bukit Bambu atau dulunya disebut Buyumboyo yaitu dari Suku Bare'e To Lage berkehidupan dengan berpenghasilan mayoritas petani cokelat. SejarahPada awal bulan Desember 1904, Engelenberg memerintahkan untuk memulai pembangunan jalan di Tambarana, Poso Pesisir Utara dengan sistem Kerja Paksa Heerendiensten. Para pekerja di sini beristirahat ketika siang hari, sementara Engelenberg memerintahkan mereka untuk terus bekerja, dan permintaan ini ditolak oleh para pekerja dari Suku Bare'e. Engelenberg kemudian memerintahkan aparat pribumi untuk bertindak tegas, akibatnya rakyat menjadi marah dan menyerang aparat pemerintah Hindia Belanda dan pertikaian tidak dapat dihindarkan. Beberapa orang aparat pemerintah terluka, tetapi Engelenberg berhasil menyelamatkan diri.[1] Engelenberg segera meminta kepada komandan pasukan Hindia Belanda di Donggala, Kapten G.W. Mazee, untuk mengirim pasukan ke Tambarana. Korban terus berjatuhan dan yang lainnya lari dan menyerahkan diri kepada Engelenberg serta bersedia melanjutkan untuk mengerjakan jalan sesuai dengan instruksi yang diberikannya.[2] Pada akhirnya, Engelenberg tidak menaati janji yang diberikan bahwa mereka yang menyerah dan telah membayar pajak akan dibebaskan dan dikembalikan pada posisinya. Rakyat Suku Bare'e yang tidak terima dengan perlakuan Hindia Belanda melaporkan ke Kerajaan Tojo dan laporan diterima oleh Raja Tojo Lariu bahwa telah terjadi pemungutan Asele (Asele dari Bahasa Bare'e; artinya pajak) dan Kerja Paksa Heerendiensten kepada rakyat Suku Bare'e di Tambarana. Setelah beberapa lama di Poso, Pemerintah Hindia Belanda bertemu dengan penguasa wilayah Poso yaitu Kerajaan Tojo, dan melakukan provokasi kepada Raja Tojo Lariu, dan juga Papa i Lila (Kolomboy) penerus Lariu, supaya mau bekerja sama dengan Pemerintah Hindia Belanda, tetapi ditolak. Setelah itu pemerintah Hindia Belanda menduduki Buyumboyo atau yang sekarang dinamakan Kelurahan Bukit Bambu, dengan mengangkat Budak dari Kerajaan Tojo yaitu Tadjongga atau biasa dipanggil dengan nama Papa i Melempo dari pihak To Kadombuku.[3] Itulah pemerintah Hindia Belanda yang berhasil mengatasi pihak Kerajaan Tojo, dan berkat kerjasama misionaris Kristen Hindia Belanda yang konon katanya berhasil melepaskan wilayah Poso dari cengkeraman Kedatuan Luwu dengan mengadakan suatu taktik gerakan misionaris Kristen yang disebut Monangu Buaja[4] (krokodilzwemmen). Penolakan istilah Toraja di Sulawesi TengahTo Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[5], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan. Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[6] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[7] Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[8] Referensi
|