Bubuhan
Pemerintahan Bubuhan Tempo Dulu di Kalimantan SelatanKenyataan bahwa bubuhan memeluk Islam secara berkelompok telah memberikan warna pada keislaman masyarakat kawasan ini, yaitu pada asasnya diintegrasikannya kepercayaan Islam ke dalam kepercayaan bubuhan, yaitu kepercayaan yang dianut oleh warga bubuhan yang sama terjadi pada masyarakat Dayak Bukit sampai setidak-tidaknya belum lama berselang. Kelompok bubuhan dipimpin oleh warganya yang berwibawa. Sama halnya dengan masyarakat balai saat ini, kepala bubuhan yang pada masa kesultanan sering disebut sebagai asli, berfungsi sebagai tokoh yang berwibawa, sebagai tabib, sebagai kepala pemerintahan dan mewakili bubuhan bila berhubungan dengan pihak luar, sama halnya seperti kepala balai yang biasanya seorang balian, bagi masyarakat Dayak Bukit sampai belum lama ini. Ketika terbentuk pusat kekuasaan, kelompok masyarakat bubuhan diintegrasikan ke dalam ke dalamnya; kewibawaan kepala bubuhan terhadap warganya diakui. Biasanya sebuah kelompok bubuhan membentuk sebuah 'anak kampung', gabungan beberapa masyarakat bubuhan membentuk sebuah kampung, dan salah satu kepala bubuhan yang paling berwibawa diakui sebagai kepala kampung itu. Untuk mengkoordinasikan beberapa buah kampung ditetapkan seorang lurah, suatu jabatan Kesultanan di daerah yang dahulu disebut banua, yaitu biasanya seorang kepala bubuhan yang berwibawa pula. Beberapa lurah dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, suatu jabatan yang mungkin dapat disamakan dengan jabatan bupati di Jawa pada kurun yang sama. Dengan sendirinya seorang yang menduduki jabatan yang formal sebagai mantri atau penghulu merupakan tokoh pula dalam lingkungan bubuhannya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sistem pemerintahan pada masa kesultanan, dan mungkin rezim-rezim sebelumnya, diatur secara hirarkis sebagai pemerintahan bubuhan. Di tingkat pusat yang berkuasa ialah bubuhan raja-raja, yang terdiri dari sultan dan kerabatnya ditambah pembesar-pembesar kerajaan (mantri-mantri). Pada tingkat daerah memerintah tokoh-tokoh bubuhan, mulai dari lurah-lurah, yang dikoordinasikan oleh seorang lalawangan; berikutnya ialah kepala-kepala kampung, yang adalah seorang tokoh bubuhan, semuanya yang paling berwibawa di dalam lingkungannya, dan membawahi beberapa kelompok rakyat jelata pada tingkat paling bawah. Peranan bubuhan ini sangat dominan pada zaman sultan-sultan. dan masih sangat kuat pada permulaan pemerintahan Hindia Belanda. Belakangan memang dilakukan perombakan-perombakan; jabatan kepala pemerintahan di desa tidak lagi melalui keturunan, melainkan melalui pendidikan. Bubuhan Dalam Dunia PolitikSegala aspek kehidupan masyarakat Banjar berkelindan pada dua hal utama, agama dan kekerabatan. Apa pun konflik personal dan komunitas yang terjadi dalam etnis terbesar di Kalimantan Selatan tersebut dapat dirembuk lewat pendekatan bubuhan. Di samping agama (Islam), urang (orang) Banjar dipertautkan pula melalui bubuhan. Merunut sejarah warga kampung Banjar, bubuhan awalnya menunjuk pada nama kelurahan atau lalawangan (wilayah setingkat kabupaten) tertentu. Dalam perkembangannya, istilah yang berkembang pada zaman kesultanan itu tidak selalu mengacu pada nama wilayah. Saat ini bisa juga mengacu pada nama salah satu tokoh masyarakat setempat atau orang yang dihormati. Alfani Daud, pakar budaya Banjar, dalam bukunya Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar (1997) menuturkan bahwa bubuhan mulanya mengacu pada identifikasi seseorang sebagai warga atau anak kampung tertentu. Seiring perjalanan waktu, istilah bubuhan merujuk pada salah satu identifikasi keberadaan seseorang dalam konteks sosio-kultural masyarakat Banjar. Secara sederhana, bubuhan dapat dipahami sebagai suatu wadah orang Banjar dalam satu ikatan kekerabatan. Pada akhirnya, meskipun secara umum bubuhan bersandar pada garis keturunan, lokalitas, atau kesejarahan, wadah kekeluargaan itu makin berkembang. Sifatnya kini relatif lebih terbuka bagi siapa saja yang berhasil memetakan posisi dirinya dalam suatu kelompok atau komunitas. Dalam konteks politik kekuasaan di wilayah ini, bubuhan sangat berperan penting. Kepatuhan masyarakat Banjar terhadap patron tokoh agama atau ulama dan tokoh masyarakat dapat menjadi nilai tambah terhadap konsep bubuhan. Apriansyah, dosen politik dari Universitas Lambung Mangkurat, Kota Banjarmasin, menyatakan, bubuhan menjadi sandaran untuk mencandrai eksistensi seseorang, melacak jejaring orang yang bersangkutan, dan akhirnya menetapkan orang tersebut kawan atau lawan dalam berpolitik. Bubuhan yang menjadi sandaran ikatan kekerabatan masyarakat dan Islam tersemai dan terpelihara lewat budaya sungai. Islam membangun sikap kepatuhan masyarakat sebagai santri terhadap ulamanya sebagai patron dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik. Sikap tersebut masih lestari, terutama pada santri duduk. Calon yang merupakan santri duduk dari majelis salaf (pengajian) dan mempunyai kedekatan dengan ulamanya akan lebih mudah meraih pendukung ketimbang santri formal (sekolah agama formal), kata Apriansyah. Patron ulama, terutama yang berasal dari kaum tuha (mengacu pada Nahdlatul Ulama), masih sangat dihormati dan dipatuhi sebagian masyarakat Banjar. Hal ini menjawab realitas bahwa hampir semua bupati dan wali kota, termasuk gubernur, yang terpilih melalui pemilihan kepala daerah langsung selalu melalui jalur partai berhaluan Islam, khususnya yang kental bernuansa NU, seperti PPP dan PKB. Islam vs NasionalisAfiliasi keagamaan agaknya tetap menjadi pijakan utama masyakarat Kalsel dalam menetapkan pilihan politiknya. Hal tersebut tecermin dalam hasil pemilihan umum legislatif di bumi Lambung Mangkurat ini. Pada Pemilu 1955, partai politik bernuansa Islam mendominasi lebih dari 82 persen perolehan suara, tersalur pada Partai Nahdlatul Ulama (49,5 persen) dan Masjumi. Parpol berhaluan nasionalis, yaitu PNI, hanya bisa memetik sekitar enam persen suara. Semasa Orde Baru, Kota Baru adalah lumbung suara Partai Golkar di Kalsel. Perolehan suara parpol tersebut di bumi Sa-ijaan tak pernah kurang dari 80 persen. Namun, meski secara umum masih memenangi Pemilu 1999 dan 2004 di Kalsel, Partai Golkar tak lagi eksis di Banua Lima yang meliputi Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong. Kegairahan memilih parpol bernuansa Islam bangkit kembali selepas hegemoni Partai Golongan Karya yang mendominasi kemenangan pemilu di Kalsel pada tahun 1971-1997. Hal itu tampak dari penurunan suara beringin secara signifikan di beberapa kabupaten yang menjadi basis dukungan parpol itu. Seperti halnya suara Partai Golkar di Kota Baru. Sejak pemilu multiparpol berlaku kembali pada tahun 1999, perolehan beringin menyusut drastis, hanya mampu meraih kurang dari 36 persen suara. Adapun PPP, yang sebelum era reformasi selalu menempati posisi runner up dalam setiap pemilu, semakin menunjukkan kekuatan politiknya. Gelombang pembalikan semakin kuat pada pemilu selanjutnya. Pada Pemilu 2004, mayoritas konstituen di lima kabupaten di wilayah ini kembali memilih parpol Islam. Partai Persatuan Pembangunan mengantongi suara cukup banyak di wilayah yang mayoritas dimukimi orang Banjar Pahuluan. Padahal, sepanjang Orde Baru, selain Kota Baru, Banua Lima adalah basis Partai Golkar. Sejumlah parpol lain bernuansa Islam yang menjadi peserta pemilu pascareformasi juga berbagi suara di 11 kabupaten dan dua kota di Kalsel. Beberapa di antaranya, seperti PKB, PKS, dan PAN, berhasil meraih simpati ratusan ribu konstituen hanya dalam dua kali pemilu. Hal tersebut tak lepas dari pengaruh napas keislaman yang diusung parpol- parpol tersebut. Walaupun cukup berjaya di Kalsel, tidak semua kabupaten dan kota terpapar haluan politik parpol bernapaskan Islam. Beberapa wilayah yang menjadi pusat keberadaan orang Banjar Kuala, seperti Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, dan Kota Banjarmasin, menjadi lahan potensial bagi parpol berhaluan nasionalis. Dari pemilu ke pemilu, jumlah pemilih PDI-P di daerah-daerah tersebut cenderung meningkat. Bahkan, pada Pemilu 1999, PDI-P mengungguli Partai Golkar di wilayah urban. Beberapa wilayah, seperti Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Tanah Laut, juga berpotensi disemai partai berhaluan nasionalis. Wilayah tersebut memang merupakan wilayah transmigran dengan komposisi penduduk heterogen, yaitu pembauran antara etnis Banjar, Jawa, dan Bugis. Pemersatu politik Tak dimungkiri, bubuhan cukup memengaruhi opini konstituen di Kalsel. Apriansyah memaparkan, jika seorang caleg berhasil merangkai benang merah bubuhan dari orang-orang di sekitarnya termasuk jejaring kekerabatan dari pihak istri atau suami, mertua, dan iparyang bersangkutan berpeluang memperkuat eksistensinya di mata konstituen. Ini disebabkan masyarakat Banjar menempatkan bubuhan sebagai bagian dari labelling seseorang dalam konteks sosial masyarakat. Selain jaringan kekerabatan, kedekatan lokalitas, dan bobot kesejarahan keluarga, bubuhan juga terbangun dari kekuatan patron yang dimiliki calon kepala daerah atau caleg yang bersangkutan. Dalam pemilihan gubernur Kalsel beberapa waktu lalu, misalnya, kedekatan gubernur terpilih Rudy Arifin dengan Tuan Guru Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani (lebih dikenal sebagai Tuan Guju Ijai) tokoh ulama dari Kalsel, menjadi salah satu pemersatu beragam bubuhan dalam pilgub. Fenomena tersebut cukup membuktikan, tokoh yang menjadi patron masyarakat berperan banyak dalam menentukan dukungan bubuhan terhadap calon atau parpol tertentu. Sepeninggal Tuan Guru Ijai, ditengarai belum ada tokoh ulama atau tokoh masyarakat yang dipandang mampu mempersatukan bubuhan-bubuhan di Kalsel. Jika sampai Pemilu 2009 berlangsung tak muncul tokoh kharismatik baru, bisa diperkirakan afiliasi politik masyarakat Kalsel akan terpencar pada bubuhan- bubuhan yang caleg-calegnya mampu menggalang pengaruh cukup luas, baik melalui parpol Islam maupun parpol berhaluan nasionalis.[2] Rujukan
|