Boyamin SaimanBoyamin Saiman (lahir 20 Juli 1969) adalah Ketua Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI). Ia lahir di Desa Ngumpul, Balong, Ponorogo yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Tegalombo di Pacitan. Ia adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ketika kemudian ia terjun ke politik di Solo, ia menjadi anggota DPRD Solo dari fraksi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) pada tahun 1997. Saat menjadi anggota dewan, Boyamin Saiman sudah dikenal sebagai tokoh yang lantang. Dia banyak bersentuhan dengan masalah-masalah antikorupsi dalam sistem birokrasi, yang dia ungkap semuanya itu dengan apa adanya. Padahal saat itu masih di bawah rezim Orde Baru.[1] Boyamin disebut-sebut sudah pernah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) di masa Orde Baru. Pengamat politik Tjipta Lesmana mengatakan kala itu Boyamin, yang aktif di LBH Semarang, vokal mengkritisi kasus Waduk Kedung Ombo di Boyolali, Jawa Tengah.[2] Selesai jadi anggota DPRD Solo, Boyamin pindah ke Semarang. Di Semarang dia aktif di LSM dengan bergabung dengan LBH, kemudian ikut mendirikan KP2KKN (Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme) di Semarang tanggal 8 Mei 1998, beberapa hari menjelang Soeharto lengser. Merasa kariernya sebagai pengacara akan lebih berkembang bila tinggal di Ibu Kota, Boyamin kemudian boyong ke Jakarta. Di Jakarta, ia mendirikan MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) pada tahun 2007.[1] Boyamin juga beberapa kali berurusan dengan pihak berwenang. Pada tahun 2012, ia ditangkap polisi karena memperkarakan proyek Bank Dunia di Jambi.[2] Boyamin Saiman mengakui dirinya memang menjadi direktur di PT Bumi Redjo, perusahaan milik keluarga Bupati Banjarnegara nonaktif Budhi Sarwono. Boyamin masuk ke dalam perusahaan itu secara formal pada 2018.[3] Pada tahun 2019, Boyamin dipolisikan oleh Ketua Pengadilan Negeri Semarang Sutaji karena perbuatannya yang menempel stiker 'Bangunan Ini Bukan Milik Negara' di gazebo PN Semarang. Boyamin berujar salah satu aset PN Semarang itu diduga terkait dengan kasus pidana suap yang menyangkut salah seorang hakim. Gazebo itu, kata Boyamin, digunakan sebagai tempat merokok pengunjung.[2] Ia memiliki lima anak. Putra sulungnya, Almas Tsaqibbirru, dan putra keduanya, Arkaan Wahyu, menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Surakarta dan keduanya dikenal karena mengajukan gugatan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pendaftaran Capres dan Cawapres agar putra sulung Presiden Indonesia Joko Widodo yang bernama Gibran Rakabuming dapat maju menjadi cawapres.[4] Referensi
|