Birrul WalidainBirrul Walidain (Arab: بر الوالدين) adalah bagian dalam etika Islam yang menunjukan kepada tindakan berbakti (berbuat baik) kepada kedua orang tua. Yang mana berbakti kepada orang tua ini hukumnya fardhu (wajib) ain bagi setiap Muslim, meskipun seandainya kedua orang tuanya adalah non muslim. Setiap muslim wajib mentaati setiap perintah dari keduanya selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah.[1][2] Birrul walidain merupakan bentuk silaturahim yang paling utama. Dalam Islam tidak saja ditekankan harus menghormati kedua orang tua saja, akan tetapi ada akhlak yang mengharuskan orang yang lebih muda untuk menghargai orang yang lebih tua usianya dan yang tua harus menyayangi yang muda,[3][4] seorang ulama dalam bukunya juga menjelaskan hal yang serupa.[5] Dalam segala kegiatan umat Islam diharuskan untuk mendahulukan orang-orang yang lebih tua usianya, penjelasan ini berdasarkan perintah dari Malaikat Jibril,[6] karena dikatakan bahwa menghormati orang yang lebih tua termasuk salah satu mengagungkan Allah.[7] Akhlak ini telah dilakukan oleh para sahabat, mereka begitu menghormati terhadap yang orang yang lebih tua meskipun umurnya hanya selisih satu hari atau satu malam,[8][9] atau bahkan lahir selisih beberapa menit saja.[10] DefinisiAl-Walidain maksudnya adalah kedua orang tua kandung. Al-Birr maknanya kebaikan, berdasarkan hadits rasulullah ﷺ: “Al-Birr adalah baiknya akhlak”.[11] Al-Birr merupakan hak kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al-‘Uquuq (durhaka), yaitu "kejelekan dan menyia-nyiakan hak“. Al-Birr adalah mentaati kedua orang tua di dalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al-‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya.”[12] Dasar hukumDasar hukum disyariatkannya untuk berbakti kepada orang tua di dalam Al-Qur'an, adalah firman Allah:
Juga dalam As-Sunnah, rasulullah ﷺ bersabda:
Kedudukan birrul walidainPengulangan perintah dan digandengkan dengan ayat perintah untuk mentauhidkan Allah menunjukan begitu pentingnya kedudukan berbakti terhadap kedua orang tua di dalam Islam. Allah meletakkan hak orang tua (untuk dibaktikan) setelah Hak Allah (untuk diibadahi) dalam ayat Al-Qur'an surah An-Nisa: 36[19] dan Al-Isra: 23.[20] Kedudukan dan hak seorang ibu untuk diberikan bakti oleh seorang anak adalah lebih tinggi tiga berbanding satu dibandingkan hak seorang ayah, padahal hak seorang Ayah terhadap anaknya sangat besar.[21] Dari Abu Hurairah ia berkata: "Ada seorang lelaki datang kepada rasulullah, kemudian berkata, "wahai rasulullah, siapa manusia yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku ?" Dia menjawab, "ibumu", ia berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Dia menjawab, "ibumu", ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Dia menjawab, "ibumu". Ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi?" Dia menjawab, "bapakmu".[22] Berkata Imam Al-Qurthubi: “Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al-Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan).[23]. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Zaadul Musaafir bahwa Abu Bakr berkata: “Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali”.[24] Keutamaan birrul walidainAmalan yang paling muliaDari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata: Saya bertanya kepada rasulullah ﷺ: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda rasulullah ﷺ: “Sholat tepat pada waktunya”, Saya bertanya: Kemudian apa lagi?, Bersabada rasulullah ﷺ “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Saya bertanya lagi: Lalu apa lagi?, Maka rasulullah ﷺ bersabda: “Berjihad di jalan Allah”.[25] Penyebab diampuninya dosaAllah menjanjikan ampunan kepada seseorang yang berbakti kepada kedua orang tua: “...Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (Al Ahqaf 15-16) Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwasannya seorang laki-laki datang kepada rasulullah ﷺ dan berkata: Wahai rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda rasulullah ﷺ: “Apakah Ibumu masih hidup?”, berkata dia: Tidak. Bersabda dia ﷺ: “Kalau bibimu masih ada?”, dia berkata: “Ya”. Bersabda rasulullah ﷺ: “Berbuat baiklah padanya”.[26] Penyebab masuknya seseorang ke surgaDari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata: Saya mendengar rasulullah ﷺ bersabda: “Celakalah dia, celakalah dia”, rasulullah ﷺ ditanya: Siapa wahai rasulullah?, Bersabda rasulullah ﷺ: “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga (karena tidak berbakti kepada keduanya)”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan). Dari Mu’awiyah bin Jaahimah, Bahwasannya Jaahimah datang kepada rasulullah ﷺ kemudian berkata: “Wahai rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasihat pada anda. Maka ﷺ bersabda: “Apakah kamu masih memiliki Ibu?”. Berkata dia: “Ya”. Bersabda ﷺ: “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya”.[27] Lebih utama dari jihad kifa'iBerbakti kepada orang tua lebih diutamakan dibanding Jihad yang fardhu kifayah.[28] Sehingga seseorang yang hendak berangkat berjihad kemudian Orang tuanya tidak mengizinkannya maka dia dilarang untuk pergi berjihad. Apabila jihad itu fardhu kifayah (tathawwu’), maka diwajibkan izin kepada orang tua dan diharamkan berangkat tanpa izin keduanya Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash, dia berkata, “Datang seorang lelaki kepada Nabi ﷺ minta izin kepadanya untuk berangkat jihad. Maka dia bertanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” la menjawab, “Iya.” Maka dia bersabda, “Pada keduanyalah engkau berjihad”.[29][30][31][32] Berbakti kepada orang tua hukumnya adalah fardhu ain. Sehingga ia lebih didahulukan terhadap jihad yang hukumnya hanya fardhu kifayah.[33] Sifat para nabi dan orang-orang salehSifat para nabiBerbakti kepada orang tua adalah akhlak para Nabi dan orang-orang saleh, hal ini sebagaimana yang telah Allah kabarkan sendiri di dalam al-Qur’an, di antaranya adalah: Allah menceritakan tentang permohonan ampun Nabi Ibrahim kepada Allah untuk ayahnya meskipun ayahnya adalah seorang yang kafir: "Dia (Ibrahim) berkata, ”Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku" (Maryam: 47). Firman Allah yang memuji Nabi Yahya; "...dan sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, dan dia bukan orang yang sombong (bukan pula) orang yang durhaka" (Maryam: 14). Allah juga bercerita tentang Nabi Isa: "...dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka" (Maryam: 32) Juga sifat orang-orang yang salehDiceritakan bahwa sahabat Nabi Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain. Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, maka dia berdiri terlebih dahulu di depan pintu rumah ibunya seraya mengatakan, “Keselamatan untukmu, wahai ibuku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Ibunya menjawab, “dan untukmu keselamatan wahai anakku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “dan semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.” Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak memasuki rumah.”[34] Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf (beribadah) mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.”[35] Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, dia bercerita, suatu malam ibu dari sahabat nabi Ibnu Mas'ud meminta air minum kepada Ibnu Mas’ud. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata ibunya sudah tertidur. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi (menunggu ibunya terbangun untuk memberikan minumnya, melaksanakan perintah ibunya).”[36] Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika dia sedang mengajar (yang dihadiri banyak jamah), ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya dia lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya.[37] Hafshah binti Sirin mengatakan, “Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirin bersuara keras di hadapan ibunya. Apabila dia berkata-kata dengan ibunya, maka dia seperti seorang yang berbisik-bisik.[38] Dari Asir bin Jabir dia mengatakan, “Jika para gubernur Yaman menemui khalifah Umar Ibnul Khatthab, maka khalifah selalu bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir”, sampai suatu hari dia bertemu dengan Uwais, dia bertanya, “engkau Uwais bin Amir?”, “Betul” Jawabnya. Khalifah Umar bertanya, “Engkau dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qarn?”, “Betul,” sahutnya. Dia bertanya, “Dulu engkau pernah terkena penyakit belang lalu sembuh akan tetapi masih ada belang di tubuhmu sebesar uang dirham?”, “Betul.” Dia bertanya, “Engkau memiliki seorang ibu.” Khalifah Umar mengatakan, “Saya mendengar rasulullah ﷺ bersabda, “Uwais bin Amir akan datang bersama rombongan orang dari Yaman dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qarn. Dahulu dia pernah terkena penyakit belang, lalu sembuh, akan tetapi masih ada belang di tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Seandainya dia berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Jika engkau bisa meminta kepadanya agar memohonkan ampun untukmu kepada Allah maka usahakanlah.” Maka mohonkanlah ampun kepada Allah untukku, Uwais Al-Qarni lantas berdoa memohonkan ampun untuk Umar Ibnul Khaththab. Setelah itu Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak pergi ke mana? “Kuffah,” jawabnya. Dia bertanya lagi, “Maukah ku tuliskan surat untukmu kepada gubernur Kuffah agar melayanimu? Uwais Al-Qarni mengatakan, “Berada di tengah-tengah banyak orang sehingga tidak dikenal itu lebih ku sukai.”[39] Dalam ajaran umat sebelumnyaBerbakti kepada orang tua merupakan perintah yang tercantum di dalam kitab umat Yahudi, yang disebut sebagai "Sepuluh perintah Allah (Ten Commandments)", pada perintah ke-lima. Termuat dalam kitab Keluaran 20:12 dan Ulangan 5:16. Hukum ini mencakup semua tindakan baik, dukungan materiil, hormat, dan ketaatan kepada orang-tua. Perintah ini mencegah kata-kata kasar dan tindakan yang mencederakan (Keluaran 21:15,17).[40] Begitu pula disebutkan di dalam kitab kekristenan pada Matius 15:4 dan 19:19; Markus 7:10 dan 10:19; dan Lukas 18:20. Lihat pulaRujukan
Pranala luar |