Bersih Desa

Bersih Desa merupakan slametan atau upacara adat Jawa untuk memberikan sesaji kepada danyang desa.[1] Sesaji berasal dari kewajiban setiap keluarga untuk menyumbangkan makanan.[1] Bersih desa dilakukan oleh masyarakat dusun untuk membersihkan desa dari roh-roh jahat yang mengganggu.[1][2] Maka sesaji diberikan kepada danyang, karena danyang dipercaya sebagai penjaga sebuah desa.[1] Dengan demikian, upacara bersih desa diadakan di makam danyang.[1] Di desa yang mempunyai pengaruh muslim kuat, upacara bersih desa diadakan dilaksanakan di Masjid.[1] Adapun isinya adalah doa-doa dalam Muslim.[1] Sementara, di beberapa desa yang tidak memiliki makam danyang, upacara bersih desa diadakan di rumah kepala desa maupun di Pendopo Kantor Kepala Desa.[1] Bersih desa juga dimaknai sebagai ungkapan syukur atas panen padi, maka upacaranya dilakukan setelah panen padi berakhir.[3]

Bersih desa yang ditandai dengan sedekah bumi berwujud tumpeng

Pelaksanaan

Bersih desa biasanya diadakan pada bulan Sela atau Syawal, yaitu bulan ke-11 Kalender Jawa.[4] Untuk tanggal, setiap desa berbeda pelaksanaannya, namun yang pasti semua mengambil waktu di bulan Sela.[4] Dalam upacara bersih desa ada sedekah bumi yang biasanya berupa nasi tumpeng dan lauk pauk yang dibuat oleh warga desa.[4] Seluruh makanan yang ada dalam upacara bersih desa merupakan hasil sumbangan keluarga-keluarga di desa.[4] Upacara bersih dsa wajib diikuti oleh orang yang sudah dewasa.[4] Di berapa daerah upacara bersih desa juga dilengkapi dengan pertunjukan wayang semalam suntuk.[5]

Tujuan

Bersih desa, sebagai upacara adat, memiliki makna spiritual di baliknya.[5] Pertama-tama bersih desa bertujuan untuk mengungkapkan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang didapat.[5] Selanjutnya, upacara bersih desa bertujuan untuk memohon perlindungan kepada danyang sebagai penjaga sebuah desa.[5] Terakhir, tujuan bersih desa adalah untuk memohon berkat agar hasil panen berikutnya melimpah.[5] Selain itu, bersih desa juga memuat tujuan solidaritas di dalamnya.[5] Makanan yang menjadi santapan bersama adalah hasil sumbangan warga sendiri.[5]

Tahapan

Upacara bersih desa dilakukan selama sehari penuh dengan beberapa tahapan.[5] Pada pukul 07.00 dilaksanakan kegiatan bersih-bersih seluruh lingkungan desa.[5] Selain itu mulai dipersiapkan pula alat-alat untuk upacara seperti tikar, panggung, dan tempat sesaji.[5] Pagar pohon yang dikeramatkan di desa juga diganti dengan yang baru.[5] Sementara itu, beberapa anggota yang lain mempersiapkan makanan untuk upacara.[5] Pada jam 12.00 kepala desa akan memukul kentongan sebagai tanda semua makanan sudah harus siap diantar ke rumah kepala dusun.[5]

Setelah semua siap, menjelang sore seluruh warga yang sudah dewasa berkumpul ditempat yang telah ditentukan oleh masing-masing desa untuk memulai upacara.[5] Pertama-tama biasanya dibacakan doa-doa dan mantra.[5] Biasanya juga diceritakan kisah Dewi Sri yang menjadi pelindung para petani.[5] Upacara diakhiri dengan pemotongan tumpeng dan pembagian makanan.[5] Selama upacara ini sesaji juga diletakkan di keempat sudut desa.[5] Dipercaya setiap sudut desa dijaga oleh anak danyang.[5] Terakhir, jika memungkinkan, diadakan pertunjukan wayang selama semalam suntuk.[5] Lakon yang dibawakan dalam pentas wayang bermacam-macam, misalnya Bharatayuda, Wahyu Makutharama, Wahyu Purbasejati, Wahyu Gada Inten.[5] Setelah seluruh tahapan ini dipenuhi maka upacara bersih desa dianggap sah.[5]

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h Clifford Geertz (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. hlm. 32-33. 
  2. ^ Depdiknas (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. hlm. 181. ISBN 978-979-22-3841-9. 
  3. ^ Fitriani (2008). Makna Simbolis dalam Upacara Tradisional Bersih Desa di Desa Landungsari Kabupaten Malang (sebagai Kajian Folklor) (Tesis). Universitas Negeri Malang. 
  4. ^ a b c d e Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. hlm. 374-376. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v Suwardi (2006). "Mistisime dalam Seni Spiritual Bersih Desa di Kalangan Penghayat Kepercayaan". Universitas Negeri Yogyakarta. 
Kembali kehalaman sebelumnya