Bantarwaru, Ligung, Majalengka
Bantarwaru adalah sebuah desa di kecamatan Ligung, Majalengka, Jawa Barat, Indonesia. Desa ini berbatasan dengan Desa Ampel di Utara, Desa Ligung di Barat, Desa Sukawera di Selatan dan Desa Leuweunghapit di Timur. Bantarwaru adalah ibu kota dan pusat perekonomian kecamatan Ligung. Desa Bantarwaru terdiri atas 6 Blok yaitu Blok Jumat, Blok Sabtu, Blok Ahad, Blok Senen, Blok Munggang, dan Blok Kamis. Desa Bantarwaru memiliki 22 RT dan 5 RW. Bantarwaru menurut bahasa terdiri dari kata "Bantar" dan kata "Waru". Bantar adalah hutan sedangkan Waru adalah pohon waru. Menurut Istilah kata Bantarwaru diambil dari Sejarah asal muasal berdirinya desa, dimana Pada Tahun 1482 orang pertama yang singgah di Hutan Waru (red. sekarang Bantarwaru) yang bernama Syeikh Ngora dan Syeikh Bentong. Sejarah Desa BantarwaruPada tahun 1482 di Desa Kedongdong diadakan Pesta Raja para Demang dan Kompeni Belanda yang menjadi Raja (SULTAN) di kesultanan Cirebon waktu itu bernama Kesultanan Pakungwati. Pada waktu pesta, Raja Syeikh Ngora dan Syeikh Bentong menyerang Belanda dibantu oleh rakyat sekitarnya. Lokasi perang di lapangan TEGAL BERSIH sebelah barat Desa Kedongdong dan sekarang termasuk wilayah Desa Kodasari dan Susukan. Pada waktu Syeikh Ngora lari dari kejaran pasukan Kompeni Belanda ke arah barat ada hutan belantara yang banyak sekali ditumbuhi pohon waru, dia membuka hutan dengan menggunakan SELENDANG MAYANG CINDE bilamana selendang itu dilempar menjadi api mulai membuka hutan. Tahun 1568 seluruh warga kesultanan Cirebon berduka cita berpulang ke alam baqa Syeikh Ngora setelah berusia 120 tahun dikuburkan di Astana Gunung Jati Cirebon di depan pangimaman Masjid Astana disebut GEDE BANTARWARU. Setelah Ki Gede Bantarwaru wafat Pangeran Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu Cirebon (Wa`nya Sunan Gunung Djati) yang merupakan murid dari Syeikh Datul Kahfi atau Syeikh Nur Djati, mengutus Buyut Cidum untuk meneruskan perjuangan Ki Gede Bantarwaru, karena tempat itu, dipersiapkan untuk persinggahan atau singgahnya para pejuang atau penggeden, bahkan menjadi tempat persembunyian. Para penggeden itu, tidak hanya dari Kesultanan Cirebon, tetapi juga dari kerajaan lainnya. Mengingat, zaman itu, Kerajaan Pakuan Padjajaran yang dipimpin Prabu Siliwangi (Ayah Pangeran Walangsungsang) masih berkuasa didataran pasundan. Jejak berupa situs atau peninggalan lainnya dari orang Agung sendiri nyaris tidak bisa ditemui sekarang. Namun begitu, terdapat sisi lain yang masih disimpan oleh penggeden. Misalnya, Syeikh Maulana dari Kesultanan Cirebon, yang menyimpan ilmu kanuragannya berupa keris dan batu merah delima berbentuk kemangmang (pewujudan, mungkin khodam dari banaspati) di Pinangsraya (sekarang Buyut Raya). Konon, pusaka tersebut hanya bisa diambil oleh keturunannya. Atau, cerita Syeikh Masran bin Malik juga dari Cirebon, yang diutus untuk menaklukan dan mengusir bangsa lelembut di bantaran Kali Cimanuk (wilayah Buyut Kati, basuh cilik dan basuh gede). Lelembut yang tidak bersahabat dengan manusia itu, ditaklukan untuk diusir, sebagian yang mengikuti (jawa = manut) masih tersisa sampai sekarang. Tidak heran, sampai saat ini banyak orang dari sejumlah wilayah yang berjiyarah di buyut pejaratan yang ada di Bantarwaru. Tentang Buyut Cidum, tidak ada informasi menyebutkan nama aslinya siapa. Tetapi cidum sendiri diambil dari bahasa sunda yakni ceudeum, artinya sejuk karena mendung atau sendu. Mengingat wilayah yang dihuni Buyut Cidum (sekarang pejaratan Buyut Cidum) begitu sepi suasananya. Ternyata, pada waktu yang sama juga, dua wilayah lainnya dibuka oleh kedua adik Buyut Cidum. Ya'ni Buyut Arsitem di kawasan Desa Sumber, Jatitujuh yang berbatesan dengan Indramayu, dan Buyut Depok di kawasan Cisambeng, Cigasong dan Palasah. Seiring dibukanya pemukiman baru bernama Bantarwaru, para penduduk dari luar daerah mulai masuk. Sedikitnya, terceritakan ada enam rumpun yang menjadi cikal bakal berkembang atau menjadi nenek moyang masyarakat Bantarwaru dan Ligung. Pertama berasal dari tanah Cakrabuana, Cirebon dan Cirebon Girang. Termasuk Buyut Cidum juga berasal dari tanah Cirebon. Selain itu, rumpun Galunggung yang datang dari tanah Sunda, juga banyak migran ke Bantarwaru. Selanjutnya, berdatangan dari kawasan lainnya, seperti Indramayu, Tegal, dan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jadi, bisa dimaklumi kenapa penggunaan bahasa masyarakat Bantarwaru dan Ligung didominasi jawa. Namun sebagian penggunaan bahasanya juga mengadopsi sejumlah kosakata sunda. Pada suatu cerita ketika Si Nuhun (Orang Agung dari Cirebon) berkeliling ke daerah Majalengka Utara sekitar Bantarwaru membawa pedati, pedatinya terpeleset di Kali Cikeruh kemudian Buyut Raya menolong dengan mengambil kerbau dari Desa Kejiwan Kecamatan Susukan (kerbaunya kecil seperti rusa tapi tenaganya kuat) kemudian Kerbau itu menarik pedatinya dan Buyut Raya tenggelam (jawa slulup) mengangkat roda pedati dan Si Nuhun memecut kerbaunya, kemudian Si Nuhun memberi gelar pada kerbau tersebut dengan sebutan Kerbau Kejiwan. Sampe sekarang Pedati tersebut masih ada dan di simpan di Museum Desa Krangkeng Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu dalam keadaan rusak. Hadirnya banyak rumpun, juga menjadikan banyaknya buyut pejaratan. Sekiranya, terdapat tujuh yang semuanya berlokasi di Bantarwaru. Buyut pejaratan yang paling tua yakni Buyut Cidum. Namanya diambil dari nama tokoh yang membuka alas menjadi pemukiman itu. Kemudian Buyut Raya, nama terebut diambil dari nama Pinangsraya. Tidak nyata siapa orangnya, tetapi diceritakan orang Agung sakti yang pernah tinggal, lantas namanya dijadikan nama pejaratan. Jauh setelah itu, terdapat Buyut Panggih atau Buyut Kuru yang berada di Lunggandu, Dukuasih. Keberadaan Buyut Kuru sebagai sesepuh dikawasan tersebut. Terus, pejaratan Buyut Nurilah yang letaknya dibelakang Balai Desa Bantarwaru. Buyut Nurilah adalah seorang petapa dari Indramayu yang hingga akhir hayatnya dimakamkan ditempat tersebut. Adapun Buyut Kati, namanya diambil dari saudagar beras, bernama Katijah yang dimakamkan dilokasi tersebut. Sementara lainnya, terdapat Buyut Tekol dan Buyut Slamet. Intinya, penamaan buyut diambil dari masyarakat tokoh pada fase-fase tertentu di Bantarwaru. Mengenai pemisahan kawasan sendiri, baru belakangan dilakukan menjadi dua wilayah. Pada masa Buyut Cidum dan sesudahnya hingga paling tidak masa kemerdekaan, dua kawasan tersebut masih menyatu. Namun begitu, muasal perbatasan Bantarwaru Ligung yakni kali mati, yang sekarang kali mati itu sudah ditutup. Namun seiring waktu, diubah perbatasannya, yakni kali Cikeruh. Tahun 1705 seluruh Majalengka pemerintah kolonial menetapkan Pangeran ARIA Cirebon sebagai seorang GUBERNUR untuk seluruh Jawa Barat untuk diberi wewenang oleh Bupati memungut pajak dari Rakyat untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Kepala Desa
Sarana dan Prasarana Desa
APOTIK SETYA FARMA yang terletak di JL. Raya Barat Bantarwaru no 10
Peristiwa PentingTahun 1923 – 1925 Jalan PUK dibangun dengan batu kerikil Jalur Desa Bantarwaru, Desa Ligung, Desa Bongas dan Desa Ampel. Tahun 1930 Pemekaran Desa Majasari Tahun 1937 Kampung Tegal Maja diserahkan kepada Desa Bongas Tahun 1938 Kampung Tegal Simpur diserahkan kepada Desa Buniwangi Tahun 1970 rehabilitasi pasar tradisional yang diselenggarakan setiap hari Jum'at s/d Rabu pukul 02.00 s/d 08.00 yang sebelumnya terletak di timur simpang pertigaan jalan masuk ke jalan arah Desa Sukawera. Tahun 1982 Pemekaran Desa Sukawera beserta Kampung Cimuncang, Kampung Leuwiliang dan Kampung Dukuh Asih Tanggal 5 - 8 Juni 2001 Tragedi Bentrok masyarakat antara Desa Bantarwaru dan Desa Ampel Korban luka parah dari Bantarwaru 1 orang, rumah yang ada di Bantarwaru dibakar 40 rumah lebih, dan di Ampel sekitar 28 rumah Tanggal 8 Februari 2008 Internet Speedy sudah masuk Bantarwaru, dan sejak waktu itu banyak warnet di Desa Bantarwaru Pranala luar |