Baitulmaqdis
Baitul-Maqdis (bahasa Arab: بيت المقدس, Rumah Suci) atau Baitul-Muqaddas (bahasa Arab: بَـيْـت الْـمُـقَـدَّس) adalah istilah yang kerap digunakan untuk merujuk pada Masjid Al-Aqsha atau kota Yerusalem (utamanya bagian kota tuanya), terkadang juga digunakan pada kawasan yang lebih luas, tergantung konteks pembicaraan.[1] Latar belakangTanakh (kitab suci Yahudi) dan Alkitab (kitab suci Kristen) menyebutkan bahwa Sulaiman (Salomo) membangun tempat yang menjadi pusat ibadah Bani Israil, yakni Beit HaMikdash (bahasa Ibrani: בֵּית־הַמִּקְדָּשׁ) (disebut Bait Suci dalam bahasa Indonesia) di kota Yerusalem. Pada 587 atau 586 SM, Kekaisaran Babilonia Baru di bawah Nebukadnezar II menduduki kawasan Palestina dan menghancurkan Bait Suci. Babilonia Baru runtuh dan digantikan Kekaisaran Akhemeniyah. Pada 538 SM, Kaisar Akhemeniyah Koresy Agung mengeluarkan surat perintah yang mengizinkan Bani Israil kembali ke Palestina dan membangun Bait Suci kedua.[2] Setelah terjadi Perang Yahudi-Romawi Pertama pada tahun 66-73 M, banyak umat Yahudi yang terbunuh dan dijadikan budak, sedangkan Bait Suci kembali dihancurkan.[3][4][5] Kaisar Romawi Hadrianus kemudian membangun ulang kota Yerusalem dan memberinya nama baru Aelia Capitolina. Kota baru ini dibangun dan dipersembahkan untuk dirinya sendiri dan beberapa dewa Romawi, utamanya Dewa Yupiter,[6] dan berperan sebagai koloni Romawi dan digunakan untuk barak Legiuner.[7] Dalam bahasa Arab, kota ini disebut Iliya' (bahasa Arab: إِيْـلْـيَـاء), pelafalan Arab dari Aelia, kependekan dari Aelia Capitolina.[8] Batas kota Yerusalem diperluas seiring berjalannya waktu hingga masa modern dan kawasan yang dulunya disebut Iliya' (Aelia Capitolina) sendiri merujuk pada bagian kota tuanya yang dikelilingi tembok. Pada tahun 610, Kekaisaran Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina. Umat Yahudi diberi wewenang untuk mendirikan negara bawahan dan mulai membangun Bait Suci. Namun lima tahun kemudian, Romawi kembali mengambil alih Palestina dan umat Kristen menghancurkan Bait Suci yang belum selesai pembangunannya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah.[9] Situs tersebut tetap berupa puing-puing sampai umat Muslim menguasai kawasan tersebut, kemudian membersihkan dan mendirikan beberapa bangunan di atas situs tersebut, seperti Jami' Al-Aqsha dan Kubah Shakhrah. Masjid Al-AqshaDalam Islam, tempat berdirinya Bait Suci disebut dengan Masjid Al-Aqsha (bahasa Arab: المسجد الاقصى, arti harfiah: "masjid terjauh") yang pada masa kekuasaan Muslim dibangun berbagai bangunan di tempat tersebut, di antaranya Jami' Al-Aqsha dan Kubah Shakhrah. Istilah masjid sendiri secara harfiah bermakna "tempat sujud"[10] dan secara syara dapat berarti semua tempat di bumi yang digunakan untuk beribadah kepada Allah,[11] sehingga Bait Suci juga disebut sebagai masjid dalam Al-Qur'an.[12] Penggunaan Baitul-MaqdisIstilah Baitul-Maqdis (bahasa Arab: بيت المقدس) atau Baitul-Muqaddas (bahasa Arab: بَـيْـت الْـمُـقَـدَّس) telah dikenal sejak masa pra-Islam dan juga digunakan Nabi Muhammad sendiri dalam beberapa kesempatan. Secara harfiah, Baitul-Maqdis bermakna "rumah suci". Meski demikian, Baitul-Maqdis tidak mesti memiliki makna harfiah, sebagaimana lazimnya kawasan tersebut pada masa lalu yang menggunakan kata bait untuk nama tempat, seperti Bait Lahm (Bethlehem) tidak diterjemahkan secara harfiah menjadi "rumah daging".[13] Nama Baitul-Maqdis sendiri tidak pernah digunakan dalam berbagai berkas resmi. Meski demikian, nama ini sangat dikenal, utamanya terkait kandungan keagamaannya.[14] Nabi Muhammad dan beberapa sumber Islam awal menggunakan istilah Baitul-Maqdis untuk merujuk pada beberapa hal: Masjid Al-Aqsha, Iliya' (Yerusalem),[15] atau kota Yerusalem beserta kawasan di sekitarnya,[1] tergantung pada konteks pembicaraan. Iliya'Baitul-Maqdis kerap digunakan untuk merujuk pada kota Iliya' (Yerusalem). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi Muhammad menceritakan perjalanan isra' mi'raj pada penduduk Makkah. Penduduk Makkah bertanya, "Ke mana?" Nabi Muhammad menjawab, "Baitul Maqdis." Penduduk Makkah bertanya kembali, "Maksudmu Iliya'?" Nabi Muhammad menjawab, "Ya."[16][17][18] Hal ini menunjukkan bahwa kaum kafir Makkah mengenal nama Baitul-Maqdis dan menyamakannya dengan Iliya' (Aelia).[19] Setelah penaklukan Palestina oleh Muslim, nama Iliya' (Aelia) masih tetap digunakan untuk merujuk pada Yerusalem.[20] Walaupun begitu, ada kecenderungan untuk mendorong penggunaan nama Baitul-Maqdis untuk menggeser nama Iliya'. Upaya ini dialamatkan pada Ka'ab al-Ahbar, Yahudi Yamani yang menjadi Muslim dan seorang tabi'in. Sangat jelas penolakan Ka'ab menggunakan nama Iliya' berkonotasi keagamaan. Mu'awiyah bin Shalih (wafat 775) juga menyebutkan, "Jangan menyebut Madinah dengan Yatsrib dan Baitul-Maqdis dengan Iliya'."[14] Dalam sebuah riwayat pada masa Kekhalifahan Umayyah disebutkan mengenai Abu Sinan yang mengatakan bahwa setiap 'Umar bin 'Abdul 'Aziz pergi ke Baitul-Maqdis, dia pasti berkunjung ke rumahnya. Ini menunjukkan bahwa Baitul-Maqdis merujuk pada kota.[21] MasjidNama Baitul-Maqdis juga digunakan untuk merujuk pada Masjid Al-Aqsha secara khusus dan bukan untuk keseluruhan kota Iliya'. Disebutkan bahwa Nabi Muhammad mengisahkan Yahya mengumpulkan Bani Israil di Baitul-Maqdis hingga penuh sampai ke teras, kemudian Yahya menyampaikan lima nasihat pada mereka.[22][23] Hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud Baitul-Maqdis oleh Nabi Muhammad adalah masjid, yakni Masjid Al-Aqsha.[1] Hadits yang lain menyebutkan bahwa telaga Nabi Muhammad di hari kiamat seluas antara Ka'bah dan Baitul-Maqdis.[24] Lantaran disejajarkan dengan Ka'bah, Baitul-Maqdis yang dimaksud dalam hadits ini adalah Masjid Al-Aqsha.[25] Ibnu 'Abbas meriwayatkan bahwa seorang wanita hendak pergi beribadah ke Baitul-Maqdis sebagai pemenuhan nazarnya bila telah sembuh dari penyakit. Namun Maimunah binti al-Harits mengatakan pada wanita itu untuk memakan perbekalannya saja dan beribadah di Masjid Nabi karena beribadah di masjid tersebut lebih utama dari masjid manapun, kecuali Masjid Al-Haram.[26] Riwayat ini menggandengkan Baitul-Maqdis dengan Masjid Nabawi dan Masjid Al-Haram, sehingga yang dimaksud Baitul-Maqdis dalam riwayat ini merujuk pada Masjid Al-Aqsha secara khusus.[27][28] KawasanBaitul-Maqdis seringnya digunakan untuk merujuk pada masjid atau kota dan jarang, bukan tidak pernah, digunakan untuk merujuk pada kawasan yang lebih luas. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa saat Nabi Muhammad wafat, orang-orang terbagi dalam beberapa kelompok mengenai tempat Nabi Muhammad harusnya dimakamkan. Sebagian menyatakan Makkah dan sebagiannya lagi Madinah. Sebagian kelompok mengusulkan agar Nabi Muhammad dikebumikan di Baitul-Maqdis, tempat makam para nabi. Baitul-Maqdis yang digunakan dalam konteks ini bukanlah Masjid Al-Aqsha atau Iliya', tetapi merujuk pada kawasan yang lebih luas. Makam para nabi sendiri tersebar di berbagai tempat di kawasan Palestina dan tidak berada di Iliya' (Yerusalem) secara khusus.[29] Makam Ibrahim, Ishaq, Ya'qub beserta istri mereka sendiri berada di Masjid Ibrahimi yang ada di kota Hebron, letaknya 30 km di selatan Yerusalem. Nama terkait
Ketenaran nama-nama ini meredup seiring semakin terkenalnya penggunaan nama Al-Quds.[35] Nama lainNama Arab yang lebih sering digunakan untuk merujuk Yerusalem pada masa modern adalah Al-Quds (bahasa Arab: القُدس)[36][37] yang secara harfiah bermakna "kudus" atau "suci". Catatan paling awal yang diketahui terkait penggunaan nama Al-Quds adalah koin yang dicetak pada masa Khalifah Abbasiyah 'Abdullah Al-Ma'mun bin Harun Ar-Rasyid (wafat 833 M/218 H).[38] Al-Quds kemudian menjadi nama populer untuk Yerusalem di kawasan Syam dan juga masyarakat Arab, sangat mungkin karena namanya yang singkat, tetapi kawasan lain seperti Iran masih populer menggunakan nama Baitul-Maqdis, setidaknya pada masa penyair Nasir Khusraw (wafat 1088 M/481 H). Penggunaan nama Al-Quds juga mengakhiri ketenaran nama Iliya' dan menyaingi kepopuleran Baitul-Maqdis.[39] Penggunaan nama Al-Quds mengalami perkembangan lebih lanjut pada masa Shalahuddin dan masa pemerintahan setelahnya, yakni Mamluk dan Utsmaniyah, dan menjadi nama yang populer untuk Yerusalem dalam bahasa Arab hingga masa modern. Beberapa kata juga diimbuhkan dalam nama tersebut, seperti Al-Quds Asy-Syarif (Al-Quds yang Mulia).[40] Pemerintah Israel sendiri menjadikan nama resmi Yerusalem dalam bahasa Arab adalah Ūršalīm (bahasa Arab: أُورُشَلِيمَ). Kata ini memiliki akar yang sama dengan nama resmi Yerusalem dalam bahasa Ibrani (יְרוּשָׁלַיִם, Yerusyaláyim) dan Inggris (Jerusalem).[41] Nama Ursyalim sendiri sudah dikenal bangsa Arab jauh sebelumnya. Seorang penyair yang meninggal di awal masa kenabian Muhammad, Maymun ibn Qais Al-A'sya, menyebutkan nama Ursyalim dalam syairnya.[42] Lihat pulaRujukan
Daftar pustaka
|