Bahasa Melayu Modern
Bahasa Melayu Modern adalah bahasa yang dituturkan pada abad ke-20 hingga kini, yaitu setelah kedatangan penjajah Eropa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris. Hasil karangan Munsyi Abdullahlah yang dianggap sebagai permulaan zaman bahasa Melayu Modern. Pada zaman ini pengaruh Barat banyak digunakan. Hal ini karena sebagian besar kosakata dari Barat difokuskan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak hanya itu, pemikiran dan filsafat Barat, teknologi Barat, dan sistem penadbiran Barat menguasai bahasa Melayu.[11] Sebelum penjajahan Inggris di Malaysia, bahasa Melayu mencapai kedudukan yang tinggi, berfungsi sebagai bahasa perantaraan, penadbiran, kesusastraan, dan bahasa pengantar di pusat pendidikan Islam. Setelah Perang Dunia II, Inggris menjadikan bahasa Inggris sebagai pengantar dalam sistem pendidikan. Setelah Malaysia merdeka, Undang-Undang Dasar Perserikatan Malaysia Pasal 152 menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan Malaysia. Undang-Undang Bahasa Kebangsaan 1963/1967 menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi negara Malaysia. Laporan Razak 1956 mengusulkan bahasa Melayu sebagai pengantar dalam sistem pendidikan negara. Selain di Malaysia, bahasa Melayu juga menjadi bahasa resmi di Singapura dan Brunei. Di Timor Leste dan Indonesia digunakan bahasa Indonesia yang dianggap sebagai sebuah dialek baku bahasa Melayu di Indonesia. SejarahPerkembangan kesusastraan Melayu pramodern pada abad ke-19 menyebabkan kebangkitan gerakan intelektual dalam kalangan penduduk setempat dan kemunculan komunitas baru ahli bahasa Melayu. Penghargaan bahasa semakin meningkat dan berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat untuk meningkatkan lagi penggunaan bahasa Melayu serta meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi zaman modern yang penuh tantangan. Di Malaysia, upaya yang dilakukan antara lain adalah perencanaan korpus bahasa Melayu yang pertama kali digagas oleh Pakatan Belajar-Mengajar Pengetahuan Bahasa (Persatuan Pembelajaran dan Pengajaran Pengetahuan Bahasa) yang didirikan pada tahun 1888. Persatuan yang berganti nama pada tahun 1935 menjadi Pakatan Bahasa Melayu dan Persuratan Buku Diraja Johor (Persatuan Bahasa Melayu dan Kesusastraan Kerajaan Johor) terlibat secara aktif dalam mengatur dan menyusun pedoman ejaan, kamus, tata bahasa, tanda baca, huruf, karangan, istilah, dan lain-lain lagi.[12] Pendirian Maktab Latihan Sultan Idris (SITC) di Tanjung Malim, Perak pada tahun 1922 menggiatkan upaya ini. Pada tahun 1936, Za'ba, seorang cendekiawan Melayu yang terkemuka dan dosen SITC, menghasilkan seri buku tata bahasa Melayu berjudul Pelita Bahasa yang memodernkan struktur bahasa Melayu Klasik dan menjadi dasar bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia pada saat ini.[13] Perubahan paling penting adalah dalam sintaksis, dari bentuk pasif klasik kepada bentuk aktif modern. Pada abad ke-20, perbaikan lain turut dilakukan oleh persatuan, organisasi, lembaga pemerintah, dan kongres lain di berbagai wilayah di wilayah ini. Penulisan mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah kesadaran diri dan perjuangan nasionalis di Indonesia dan Malaysia. Selain menjadi sarana utama untuk menyebarkan pengetahuan dan informasi, surat-surat kabar dan jurnal seperti Al-Imam (1906), Panji Poestaka (1912), Lembaga Melayu (1914), Warta Malaya (1931), Poedjangga Baroe (1933), dan Utusan Melayu (1939) menjadi pendorong utama dalam memperjuangkan dan membentuk perjuangan nasionalisme. Penulisan, baik dalam bentuk novel, cerita pendek, atau puisi, semuanya mempunyai peran tersendiri dalam menggelorakan semangat Kebangkitan Nasional Indonesia dan Nasionalisme Melayu. Sewaktu Kongres Pemuda Indonesia pertama yang diadakan pada tahun 1926, bahasa Melayu telah dipermaklumkan sebagai bahasa persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda. Pada tahun 1945, bahasa yang dinamakan bahasa Indonesia, diabadikan sebagai bahasa kebangsaan dalam undang-undang dasar Indonesia yang baru merdeka. Kemudian pada tahun 1957, bahasa Melayu telah diangkat menjadi bahasa kebangsaan untuk Perserikatan Malaya yang merdeka (kemudian dibentuk kembali menjadi Malaysia pada tahun 1963). Kemudian pada tahun 1959, bahasa Melayu juga menerima status bahasa kebangsaan di Brunei, walaupun baru berhenti menjadi negara naungan Britania pada tahun 1984. Ketika Singapura berpisah dari Malaysia pada tahun 1965, bahasa Melayu menjadi bahasa kebangsaan republik baru itu dan salah satu dari empat bahasa resmi. Kemunculan negara-negara yang baru merdeka ini membuka jalan bagi penggunaan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang lebih luas dan meluas dalam penadbiran pemerintahan dan pendidikan. Perguruan-perguruan tinggi dan universitas dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar utama telah diperkenalkan dan berkembang sebagai pusat penelitian dan penghasilan tulisan-tulisan intelektual baru dalam bahasa Melayu.[14] Setelah Timor Leste merdeka dari Indonesia, bahasa Indonesia telah ditetapkan oleh undang-undang dasar tahun 2002 negara itu sebagai salah satu dari dua bahasa kerja (yang lain adalah bahasa Inggris).
— Rancangan Sumpah Pemuda bagian ketiga sewaktu Kongres Pemuda yang diadakan pada tahun 1926. Istilah Bahasa Melajoe diubah menjadi Bahasa Indonesia pada tahun 1928.[15] Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia relatif terbuka untuk menampung pengaruh dari bahasa suku bangsa Indonesia yang lain, terutama Jawa sebagai suku bangsa mayoritas di Indonesia, bahasa Belanda sebagai penjajah terdahulu, dan bahasa Inggris sebagai bahasa antarbangsa. Akibatnya, bahasa Indonesia mempunyai sumber kata pinjaman yang lebih luas dibandingkan dengan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia, Singapura, dan Brunei. Telah dikemukakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa buatan yang dibuat pada tahun 1928.[16] Kata "buatan" ini berarti bahwa bahasa Indonesia direka oleh para akademikus dan bukannya berkembang secara alami seperti kebanyakan bahasa umum, untuk menampung tujuan politik untuk membentuk bahasa persatuan Indonesia yang resmi. Dengan meminjam banyak dari banyak bahasa lain, ia mengungkapkan evolusi bahasa alami. Pada hakikatnya, bahasa ini sama alaminya seperti bahasa seterusnya, seperti yang ditunjukkan dalam kemampuan luar biasa untuk menyerap perbendaharaan kata asing. Perbedaan evolusi bahasa Indonesia ini menyebabkan perlunya suatu lembaga yang dapat memudahkan penyelarasan dan kerja sama dalam pengembangan kebahasaan antarnegara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaannya. Contoh pertama kerja sama kebahasaan adalah pada tahun 1959 antara Malaya dengan Indonesia, dan ini semakin diperkuat pada tahun 1972 ketika MBIM (kependekan untuk Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia) dibentuk. MBIM kemudian berkembang menjadi MABBIM (kependekan untuk Majelis Bahasa Brunei-Indonesia-Malaysia) pada tahun 1985 dengan masuknya Brunei sebagai anggota dan Singapura sebagai pemerhati tetap. Lembaga penting lain adalah Dewan Bahasa dan Pustaka yang didirikan pada tahun 1956. Ini adalah badan pemerintah yang bertanggung jawab untuk menyelaraskan penggunaan bahasa Melayu di Malaysia dan Brunei. Bentuk ortografis dominan bahasa Melayu Modern berdasarkan aksara Romawi atau Latin, alfabet bahasa Melayu, pertama kali dikembangkan pada awal abad ke-20. Oleh sebab negara-negara berbahasa Melayu dibagi antara dua penadbiran penjajah (Belanda dan Britania), dua ortografi utama telah dikembangkan di Hindia Timur Belanda dan Malaya Britania masing-masing, dipengaruhi ortografi bahasa penjajah masing-masing. Pada tahun 1901, Sistem Ejaan Van Ophuijsen (1901–1947) menjadi ortografi baku untuk bahasa Melayu di Hindia Timur Belanda. Pada tahun berikutnya, pemerintah Negeri-Negeri Melayu Berserikat telah membentuk sebuah panitia ortografis yang dipimpin oleh Tuan Richard James Wilkinson yang kemudian mengembangkan Sistem Ejaan Wilkinson (1904–1933). Sistem-sistem ejaan ini nantinya akan digantikan oleh Sistem Ejaan Republik (1947–1972) dan Sistem Ejaan Za'ba (1933–1942) masing-masing. Selama Pendudukan Jepang di Malaya dan Indonesia, muncul suatu sistem yang seharusnya menyeragamkan sistem di kedua negara. Sistem yang dikenal sebagai Fajar Asia tampaknya menggunakan sistem penulisan vokal Republik dan sistem penulisan konsonan Malaya. Sistem ini hanya ada selama pendudukan. Pada tahun 1972, suatu pengisytiharan telah dibuat untuk sistem ejaan bersama di kedua negara yang dikenal sebagai Ejaan Rumi Baharu di Malaysia dan Sistem Ejaan Yang Disempurnakan di Indonesia. Dengan pengenalan sistem ejaan umum yang baru ini, semua dokumen tata usaha, bahan pengajaran dan pembelajaran serta semua bentuk komunikasi tertulis didasarkan pada sistem ejaan yang relatif seragam yang berhasil guna dan berdaya guna, terutama dalam tata usaha dan pendidikan nasional. Walaupun alfabet bahasa Melayu digunakan secara meluas dan terlembaga, abjad Jawi tetap menjadi salah satu dari dua aksara resmi di Brunei dan digunakan sebagai aksara alternatif di Malaysia. Penggunaan Jawi sehari-hari dipertahankan di kawasan berpenduduk Melayu yang lebih konservatif seperti Patani di Thailand dan Kelantan di Malaysia. Aksara tersebut digunakan untuk penadbiran agama dan budaya Melayu di Terengganu, Kelantan, Kedah, Perlis, dan Johor. Pengaruh aksara tersebut masih ada di Sulu dan Marawi di Filipina, sedangkan abjad Jawi di Indonesia masih digunakan secara meluas di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, tempat rambu-rambu jalan dan rambu-rambu gedung pemerintahan ditulis dalam aksara tersebut.[17] Tokoh-tokohUntuk artikel lanjutan, lihat Tokoh bahasa Melayu Tokoh Bahasa Melayu Modern yang terkenal di Malaysia antara lain: Lihat pula
Rujukan
Pranala luar |