Bahasa Bali Nusa Penida
Bahasa Bali Nusa Penida (disebut oleh penuturnya sebagai basa Nosa) adalah sebuah dialek Bahasa Bali yang dituturkan oleh masyarakat sub-suku Bali Nak Nusé di Nusa Penida, sebuah pulau di sebelah selatan Bali. Dialek ini dianggap sebagai dialek yang paling unik dan berbeda dalam bahasa Bali karena sebagian besar penutur bahasa Bali daratan tidak dapat memahami dialek ini, baik secara lisan maupun tulisan. Karena dialek ini sangat berbeda dengan dialek-dialek lainnya di Bali daratan yang masih bisa dimengerti, kemudian banyak digunakannya kosa kata dari dialek ini yang tidak ditemukan dalam Kamus bahasa Bali sehingga sangat sulit bagi orang-orang dari Bali daratan untuk bisa berkomunikasi dengan lancar secara langsung dengan masyarakat Nusa Penida.[5] Secara linguistik, bahasa Bali Nusa Penida dianggap sebagai dialek bahasa Bali yang merupakan bahasa Melayu-Polinesia dalam cabang bahasa Bali-Sasak-Sumbawa di bawah rumpun bahasa Austronesia. Dialek ini dianggap dekat dengan dialek Bali Aga yang merupakan turunan dialek kuno dalam bahasa Bali.[5] KlasifikasiDialek Nusa Penida merupakan sebuah dialek dari Bahasa Bali yang sendirinya termasuk dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia. Dalam rumpun Melayu-Polinesia, bahasa Bali berada di subcabang Bali-Sasak-Sumbawa.[6] Dialek ini seringkali digolongkan sebagqi sub-dialek dari lain dalam bahasa Bali, yakni bahasa Bali Aga. Hal ini dikarenakan dialek NP memiliki persamaan ciri kebahasaan dengan dialek Aga yang oleh Jendra, dkk. (1997) dijabarkan sebagai berikut:[5]
Meskipun demikian, terdapat perbedaan lain yang cukup mencolok antara kedua dialek, yakni hilangnya atau berkurangnya distribusi fonem /a/ pada posisi akhir kata.[5] SejarahTerdapat dugaan bahwa keberadaan basa Nosa berkaitan dengan invasi Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh patih Gajah Mada terhadap Kerajaan Bali. Setelah upacara pengangkatannya sebagai "Patih Amangkubhumi Majapahit" pada tahun 1336 M (1258 Saka), Gajah Mada bersama pasukannya berhasil menaklukkan Kerajaan Bali, termasuk Nusa Penida yang disebut sebagai Gurun (?)[a] dalam Sumpah Palapa oleh Gajah Mada. Penaklukan ini disinyalir memengaruhi kondisi kebahasaan di Pulau Bali maupun Nusa Penida.[5] PersebaranSaat ini, dialek Nusa Penida hanya digunakan secara luas di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Selain itu, dialek ini juga digunakan dan di luar Nusa Penida, hal ini terutama karena setelah terjadinya Letusan Gunung Agung pada tahun 1963, sebagian besar penuturnya merantau ke Sumatra bagian selatan, terutama Bandar Lampung, Palembang, Mesuji, dan Lampung Timur. Tata bahasaBerikut ini perbandingan beberapa kosa kata dalam dialek Nusa Penida dan bahasa Bali standar:
Jika dalam bahasa Bali standar lazim menggunakan huruf [u] sebagai huruf awalan, maka dalam dialek Nusa Penida huruf [u] diganti dan diucapkan menjadi [o]. Selain itu, huruf [o] dan [h] biasanya lebih sering digunakan dalam awal kata, misalnya seperti pada kata homah, honya, hoba, hobat, dan poles. Lihat jugaCatatanReferensi
|