Bagus Rangin

Bagus Rangin adalah tokoh dari Bantarjati, Majalengka (diperkirakan lahir sekitar tahun 1761) dan tokoh sejarah dan pahlawan yang menentang dan memimpin pemberontakan melawan Belanda pada Perang Cirebon tahun 1805-1812 Bagus Rangin berasal dari Demak, distrik Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi Kecamatan Rajagaluh, Majalengka) yang terletak di kaki Gunung Ceremai. Dia adalah putra dari Sentayem (Ki Buyut Teyom), cucu dari Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar di daerah tersebut atau dalam Bahasa Cirebon disebut Ki Gede. Ayah dari Bagus Rangin adalah Buyut Sentayem alias Buyut Tayem. Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah).[1]

Riwayat Hidup

Perjuangan Bagus Rangin

Bagus Rangin bukanlah seorang Raja, ia hanya seorang rakyat biasa namun memiliki semangat ksatria untuk melawan kekejaman dan kediktatoran penguasa, baik itu pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun penguasa lokal di wilayah Keresidenan Cirebon. Dalam setiap kesempatan Ia berdiri dan mengurai khotbah pembangkitan. Sebuah khotbah yang panjang, yang menggugah kesadaran makna hidup dan kehidupan rakyat setempat yang didera nestapa. Juga khotbah politis yang menyoroti praktik-praktik tak benar penguasa lokal Cirebon. “Pangeran (Allah) telah menjadikan dunia, sebagai tempat kehidupan umat. Tapi oleh Sultan malah dijual kepada Cina dan Kompeni, yang tak pernah merasa kenyang” katanya bergelora. Bagus Rangin belum berhenti. Masih banyak pesan suci yang dipompakan untuk membuka mata hati, yang sebelumnya seakan sudah mati harapan. Dia pun berhasil. Warga tersadar akan kelemahannya selama ini.

Pada waktu itu, beberapa pengusaha dari etnis Cina memang ikut menyengsarakan masyarakat. Salah satu caranya, bersama Belanda, mereka menyewa tanah-tanah dari Sultan Cirebon di Cirebon.

Walhasil, ketiadaan sumber kehidupan telah memunculkan kelaparan. Sampai-sampai rakyat terpaksa harus makan dedaunan dan rumput[butuh rujukan]. Akibat lebih lanjut, banyak di antara masyarakat berguling-guling di tanah sembari memegangi perut. Semua merintih kesakitan. Di luar itu, sulitnya kehidupan telah membuat sebagian orang menjual diri (hal ini terus berkelanjutan mungkin hingga sekarang juga, seperti dilukiskan dalam tembang pantura “remang-remang”) .

Dengan kenyataan itu, masuk akal jika rakyat begitu benci dengan Babah –juga Belanda–setelah mendengarkan khotbah pencerahan dari Bagus Rangin. Simaklah kata-kata seperti Babah mah bakal dicacag / Disiksik diipis-ipis / Dicacag diwalang-walang / Getihna arek diuyup / Diburakeun ka bangawan / Sugan lauk baranahan / Tulangna diawur-awur / Leuweung jati sugan subur / Polona arek dicokrok / Diburakeun ka galengan / Rawinian sugan montok. Di sini, antara lain, terungkap tekad bahwa tubuh Babah yang tertangkap bakal diiris-iris, dihancurkan, dan sebagainya.

Perang Kedondong

Kisah perjuangan bagus Rangin nyaris tenggelam karena masyarakat Indonesia lebih mengenal Perang Diponegoro. Di Cirebon, ada perang melawan penjajah Belanda yang telah berlangsung sebelum Perang Diponegoro. Perang itu dikenal masyarakat setempat dengan nama ‘Perang Kedongdong’. Perang tersebut berlangsung pada 1802 – 1818, dengan tokoh pejuangnya yang bernama Ki Bagus Rangin. Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat mengatakan bahwa Perang itu merupakan pemberontakan besar pertama di Pulau Jawa dalam melawan penjajah Belanda, sebelum Perang Diponegoro.[2]

Perlawanan yang dilancarkan Ki Bagus Rangin sempat membuat pasukan kompeni kewalahan. Apalagi, perjuangan Ki Bagus Rangin mendapat dukungan dari masyarakat luas. Setelah rakyat Karaseidenan Cirebon terbangun kesadarannya sehingga mereka bergerak bersama Bagus Rangin.

Pertempuran yang terjadi antara pasukan Bagus Rangin dan pasukan kolonial Hindia Belanda pertama kalinya berlangsung pada 25 Februari 1806, hal ini sesuai dengan resolusi Pemerintah Kolonial di Hindia Belanda yang menyebutkan ada kerusuhan sosial di daerah Cirebon pada tanggal tersebut. Daerah-daerah lain yang membantu Bagus Rangin adalah berasal dari daerah Jatitujuh, Rajagaluh, Bangawan Wetan, Sumber, Bantarjati, Cikao, Kandanghaur[butuh rujukan], Kuningan, Linggarjati[butuh rujukan], Luragung, Maja[butuh rujukan], Sumedang[butuh rujukan], Karawang[butuh rujukan], dan Subang[butuh rujukan].

Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.J. Wiese menugaskan kepada Nicolas Engelhaard untuk meminta bantuan agar para bupati mengirimkan pasukannya untuk melawan Bagus Rangin. Akan tetapi tidak semua Bupati menaati perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut. Akibat membangkang pada Pemerintah kolonial Hindia Belanda, Sultan Kanoman Cirebon[butuh rujukan] Pangeran Suriawijaya dibuang oleh Belanda ke Ambon dan dipecat dari jabatan Sultan pada tanggal 2 Maret 1810 oleh Gubernur Jenderal Daendels.

Perang yang terjadi di Bantarjati dari tanggal 16 sampai 29 Februari 1812 adalah perang yang terakhir dan berakhir dengan kekalahan di pihak Bagus Rangin. Akhirnya pada tanggal 27 Juni 1812 Bagus Rangin dapat tertangkap oleh pasukan Belanda di daerah Panongan, Jatitujuh. Pada tanggal 12 Juli 1812 Bagus Rangin dijatuhi hukuman mati dengan cara dipenggal kepalanya di daerah Karangsambung, tepian sungai Ci Manuk[butuh rujukan].

Bagus Rangin pada akhirnya gugur, tetapi semangat pembelaan terhadap rakyat yang ditindas patut dihargai dan diteruskan perjuangannya. Akhirnya 133 tahun setelah gugurnya itu, cita-cita terbesar Bagus Rangin dapat terwujud. Apalagi kalau bukan kemerdekaan. Kemerdekaan yang dicita-citakan oleh masyarakat adalah bukan tujuan dan bukan pula sekadar penggantian penguasa untuk kemudian ganti berkuasa dan menindas. Tetapi kemerdekaan adalah salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Pada 1805 pertempuran pecah di daerah Pangumbahan, juga terjadi pertempuran di daerah Karesidenan Cirebon dan pantai utara Jawa. Pasukan Bagus Rangin yang berkekuatan ± 10.000 orang kalah dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda. Tanggal 12 Juli 1812 Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Cimanuk dekat Karangsembung, Cirebon.

Tahun 1818 terjadi perang kedondong di pimpin Pangeran Matangaji dibantu Laskar Santri. Peperangan ini dimenangkan oleh pasukan Cirebon karena pasukan Kesulthanan yang semula bergabung dengan VoC membelot dan ikut menggempur pasukan VoC bersama laskar "Klebet Waring".

Ketokohan Bagus Rangin

Sejarawan Nina Herlina Lubis mengatakan dari hasil penelitian sejarah yang dilakukan Guru Besar Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, memperkuat alasan bahwa Bagus Rangin sangat layak diberi gelar kehormatan oleh pemerintah.[3]

Tahun 2015, Bupati Cirebon memberikan penghargaan kepada Wali Kota Bandung, karena menjadi satu-satunya kota yang menggunakan nama Ki Bagus Rangin sebagai salah satu nama jalan di Kota Bandung,

Penghargaan

Puisi

Ajip Rosidi mengarang sebuah puisi berjudul "Bagus Rangin" dan puisi ini pernah digelar dalam bentuk drama oleh mahasiswa UPI (dahulu IKIP Bandung).

Referensi

  1. ^ Ekadjati, E.S. 1976. Sejarah jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  2. ^ "Perang Kedongdong dan Ki Bagus Rangin yang Terlupakan | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2018-03-31. 
  3. ^ Pikiran Rakyat. "Bagus Rangin layak peroleh gelar pahlawan". 2015. pikiran rakyat online. Diakses 31 Maret 2018
  4. ^ Aminuddin, Hazmirullah. "Gelar Pahlawan untuk Bagus Rangin" (dalam bahasa Inggris). 
  5. ^ "Ki Bagus Rangin Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional". beritasatu.com. 2015-09-06. Diakses tanggal 2018-03-31. 
  6. ^ "Bagus Rangin Layak Jadi Pahlawan Nasional - Wartakota". Wartakota. Diakses tanggal 2018-03-31. 
  7. ^ Sedayu, Agung (2015-09-07). "Bagus Rangin Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional". Tempo. Diakses tanggal 2018-03-31. 
  8. ^ "Gonjang-ganjing Gelar Pahlawan Nasional, Tugu Ki Bagus Rangin Tegak Berdiri di Desa Kedongdong". Ruang Akses Tanpa Batas. 2017-10-26. Diakses tanggal 2018-03-31. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya