Bagong Kussudiardja
Bagong Kussudiardja (9 Oktober 1928 – 15 Juni 2004) adalah seorang penari, koreografer, pelukis[1] dan aktor[2] Indonesia. Beliau telah melahirkan banyak karya berupa sketsa, lukisan, dan berbagai macam tarian. Kehidupan pribadiBagong Kussurdiardja lahir pada hari Selasa Kliwon, tanggal 9 Oktober 1928 (19 hari sebelum Sumpah Pemuda). Beliau lahir dari ayah yang bernama Raden Bekel Atma Tjondro Sentono dan ibu yang bernama Siti Aminah. Bagong sendiri merupakan anak kedua. Saudara kandung lainnya adalah Kus Sumarbirah, Handung Kussudyarsana, dan Lilut Kussudyarto. Latar belakang keluarga Bagong Kussurdiardja memiliki garis lingkaran kebangsawanan Keraton Yogyakarta.[1] Ayahnya adalah putra dari G.P.H. Djuminah yang merupakan kakak Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Walaupun lahir dari keluarga ningrat, keluarga tersebut harus menghadapi kenyataan hidup yang sulit akibat dari hukuman Kuranthil yakni sejenis hukuman pengasingan atau kurungan rumah. Hukuman tersebut dijatuhkan oleh Keraton Yogyakarta kepada G.P.H Djuminah karena putra mahkota Sri Sultan Hamengkubuwono VII itu melakukan pembelotan. Ayahnya yang pelukis wayang dan penulis aksara Jawa, kurang mampu menopang kehidupan keluarga. Bagong harus melakoni berbagai pekerjaan seperti menambal ban dan jadi kusir andong.[1] Bagong Kussudiardja menikah dengan perempuan bernama Soetina. Dari pernikahannya tersebut, Bagong memiliki tujuh orang. Tiga anak dari Bagong mengikuti terjun ke dunia seni yaitu Otok Bima Sidharta, Butet Kertaredjasa dan Djaduk Ferianto.Otok merupakan musisi gamelan yang juga belajar melukis secara otodidak. Salah satu lukisannya berjudul Dibawah Kekuasan Gareng.[3] Butet Kertaredjasa merupakan seorang pemain teater sekaligus pelawak yang dikenal luas oleh masyarakat. Kini, Butet menjadi orang yang memimpin Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK). Sedangkan Djaduk Ferianto merupakan salah satu anggota dari kelompok musik Kua Etnika, musik humor Sinten Ramen, dan Teater Gandrik. Djaduk banyak menggarap musik untuk sinetron, jingle iklan, musik untuk pentas teater dan lainnya.[4] Pasca meninggalnya Soetiana, Bagong Kussudiardja menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Yuli Sri Hastuti. Bagong menikahi Yuli Sri Hastuti pada tahun 2003 yakni setahun sebelum dirinya meninggal dunia.[5] KarierMasa awal 1928-1949Bagong mulai berkenalan dengan seni tari jawa klasik melalui Sekolah Tari Kredo Bekso Wiromo, yang dipimpin oleh Pangeran Tedjokusumo, seorang seniman tari ternama. Masuknya beliau ke sekolah tersebut tidak terlepas dari statusnya sebagai bagian dari keluarga ningrat. Pada saat itu, keluarga Bagong juga sedang tinggal di Dalem Tejokusuman.[6] Pada tahun-tahun berikutnya Bagong juga bergabung dengan Poesat Tenaga Peloekis Indonesia (PTPI). Sanggar rupa itu sendiri dibangun oleh pelukis Djajengasmoro pada tahun 1945.[7] Tahun 1946, Bagong mulai belajar melukis.[8] Bagong kemudian juga bergabung di Sanggar Pelukis Rakyat. Di tempat tersebut, Bagong banyak belajar dengan pendiri sanggar yakni pelukis Hendra Gunawan. Ia juga banyak belajar dari pelukis Sudiarjo. Beliau juga menjadi anggota Perkumpulan Kesenian Irama Tjitra.[1] Masa Orde LamaPada tahun 1953, Bagong dan Kuswadji menciptakan Tari Kuda-Kuda. Tarian ini merupakan tarian yang berdurasi singkat. Pada tahun 1954, Bagong diutus Presiden Soekarno untuk ikut Misi Kesenian Indonesia ke Republik Rakyat Tiongkok. Dalam misi kebudayaan itu, beliau menampilkan Tari Kuda-Kuda tersebut. Tari itu dianggap sukses karena berhasil mendapat respon positif dari masyarakat mancanegara. Selain itu, kesuksesan tarian Kuda-Kuda juga dianggap sebagai titik penting bagi Bagong untuk menciptakan tarian-tarian berikutnya.[6] Pasca misi kesenian ke Tiongkok, Bagong juga menjadi utusan yang dikirim pemerintah ke berbagai negara seperti Korea, Vietnam, India, Thailand, Filipina, Singapura, Hungaria, Cekoslovakia, Austria, Italia, Perancis, Swiss, Jerman, Belanda, Swedia, dan Inggris.[8] Di era Orde Lama, Bagong mulau belajar melukis secara formal. Beliau menempuh pendidikan formal di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia masuk sebagai angkatan pertama di institusi tersebut. Selanjutnya pada tahun 1957-1958, Bagong mendapatkan kesempatan belajar ke Amerika Serikat. Beliau belajar di Connecticut College School of The Dance dan Studio Martha Graham. Proses belajar di dua tempat tersebut sangat mempengaruhi komposisi karya-karya Bagong di kemudian hari. Sepulang dari Amerika Serikat, beliau mendirikan Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja pada 5 Maret 1958.[1] Selain di bidang tari, Bagong juga mulai aktif di seni rupa pada masa-masa ini. Surat kabar Star Weekly yang terbit pada 23 Juli 1960 menjadi arsip pertama yang menuliskan karier Bagong sebagai seorang pelukis.[9] Pada tahun 1960-an, ketika kondisi politik dan seni begitu kental, Bagong dan beberapa rekannya seperti Edhi Sunarso, Rustamadji, C.J. Ali, dan Abas Alibasyah serta yang lain memutuskan keluar dari Sanggar Pelukis Rakyat. Sanggar tersebut dianggap terlalu dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Selanjutnya, bersama sejumlah kawannya seperti Kusnadi dan Sumitro, mereka mendirikan Sanggar Pelukis Indonesia (PI).[10] Di sanggar tersebut, ketiganya memilih netral dan tidak terlibat dengan politik praktis. Walaupu begitu, Sanggar Pelukis Indonesia masih memainkan peran integratif dengan pemerintah dan sanggar-sanggar besar lainnya. Kedekatan Kusnadi dengan Bagian P. dan K. yang ada di pemerintahan juga membuat sanggar tersebut bisa memperoleh pesanan karya seni dari pemerintah dan acara-acara internasional lainnya.[10] Selain itu, berkat Sanggar Pelukis Indonesia, Bagong sering mewakili organisasi tersebut untuk sejumlah misi kesenian seperti ke Bukarest di Rumania, Italia, dan Sri Lanka.[11] Pada tahun 1962, Bagong melakukan pameran tunggal yang hasilnya diberikan untuk Operasi Pembebasan Irian Barat.[9] Masa Orde BaruDi era Orde Baru, Bagong Kussudiardja dianggap mencapai puncak kariernya. Di periode ini, beliau memperoleh banyak pesanan karya seni dari pemerintah, BUMN, korporat, maupun lembaga-lembaga lainnya. Pada tahun 1971, Bagong berperan dalam pendirian Yayasan Kebudayaan Tegalrejo KODAM VII Diponegoro. Yayasan tersebut membawahi Kethoprak Sapta Mandala yang dipimpin oleh adik Bagong bernama Handung Kussudyarsana dan Sanggar Banjar Barong. Dua kelompok seni budaya tersebut dijadikan wadah bagi Bagong untuk menggagas kesenian kethoprak eksperimental. Selain itu, melalui dua kelompok tersebut, Bagong bersama rekan-rekannya merintis karya lukis batik yang terkenal hingga mancanegara.[9] Dari sisi politik, kedua sanggar tersebut dianggap sebagai upaya Bagong untuk menyelamatkan sebagian warga desa dan para seniman yang kehilangan pekerjaan karena dituduh sebagai bagian dari PKI dan terlibat peristiwa G30S/PKI. Sanggar Sapta Mandala digunakan Bagong untuk menyelamatkan sebagian warga di desa Patuk di Gunungkidul. Sedangkan, Sanggar Banjar Barong digunakan Bagong sebagai tempat bagi para seniman yang sulit berkarya. Salah satu seniman yang bergabung di Sanggar Banjar Barong adalah Djoni Trisno.[12] Sejak 1973, Bagong juga diutus sebagai perwakilan pemerintah untuk berbagai kegiatan internasional seperti kegiatan di Meksiko, Argentina, Uruguay, dan Jerman Barat.[8] Pada 2 Oktober 1978, Bagong resmi mendirikan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Bantul, Yogyakarta. Pendirian padepokan seni ini, di latar belakangi oleh inpirasi yang beliau dapatkan ketika bermain peran di film Al-Kaustar yang disutradarai oleh Chaerul Umam pada tahun 1977. Dalam film tersebut, banyak adegan yang diambil di pesantren. Dari situ, Bagong terinspirasi dengan kehidupan para santri dan dunia pesantren. Hal tersebut kemudian yang Bagong bawa ke padepokan seni miliknya.[13] Pada Desember 1984, Bagong memulai perjalanan lima bulan ke tujuh negara Eropa. Bersama 14 penari, ia mengadakan 69 kali kegiatan: pentas tari, seminar, lokakarya, pameran batik, dan demonstrasi melukis batik. Pada Hari Kebangkitan Nasional di Jakarta, 20 Mei 1985, ia mempertunjukkan Pawai Lintasan Sejarah Indonesia, didukung 710 penari dan figuran. Sebulan kemudian, Bagong beserta 100 penari muncul di pesisir Parangtritis, 27 km di selatan Yogyakarta. Pentas tari kreasinya berjudul Kita Perlu Berpaling ke Alam dan Bersujud pada-Nya. Bulan berikutnya ia dengan 15 penari manggung di Malaysia, mementaskan tari Gema Nusantara, Igel-igelan, dan Ratu Kidul. Pada 5 Oktober 1985 di Jakarta, ia menampilkan Pawai Lintasan Sejarah ABRI yang melibatkan 8.000 seniman, militer, hansip, dan veteran. Di masa Orde Baru ini, Bagong bersama pelukis Affandi juga pernah menghadap langsung ke Presiden Soeharto.[12] PameranBagong Kussudiardja telah banyak menggelar pameran semasa hidup. Selain pameran pada tahun 1962, pada tahun-tahun berikutnya beliau semakin banyak menggelar pameran. Bagong pernah melaksanakan pameran bersama di Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta, Semarang dan Denpasar dalam kurun 1971 hingga 1972. Beliau pernah menyelenggarakan pameran lukisan cat minyak dan batik di Surabaya.[14] Beberapa pameran Bagong juga banyak disponsori oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yakni Pameran Besar Senilukis Indonesia DKJ pada tahun 1972, 1974, dan 1976. Dirinya juga pernah menyelenggarakan pameran tunggal pada tahun 1975 dan 1978.[8] Bagong sendiri pernah menggelar pameran di luar negeri yakni di Singapura dan di kota Roma, Italia pada tahun 1971-1972. Selanjutnya, pada tahun 1973 beliau melaksanakan pameran di Belanda, Italia, Meksiko, Argentina, Uruguay, dan Jerman Barat.[14] Pameran lukisan cat minyak dan batik yang pernah diselenggarakan di Surabaya, juga pernah beliau bawa ke Leiden, Belanda.[14] Pada 28 September hingga 3 November 2018, diadakan pameran "Ruang dan Waktu Bagong Kussudiardja" di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Dusun Kembaran, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Pameran tersebut menandai peringatan 90 tahun Bagong Kussudiardja, 60 tahun Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja, dan 40 tahun Padepokan Seni Bagong Kussurdiardja (PSBK).[15] Pameran ini dikurasi oleh Suwarno Wisetrotomo. Dalam pameran ini, ditampilkan berbagai macam arsip yang disimpan oleh Bagong selama hidupnya. Arsip-arsip tersebut berupa catatan perjalanan, liputan media, dokumentasi peristiwa kesenian, hingga surat-surat milik Bagong Kussudiardja.[16] KaryaSelama hidupnya, Bagong Kussudiardja telah menciptakan lebih dari 200 tari dalam bentuk tunggal atau massal. Selain itu, beliau juga banyak menghasilkan lukisan. Tari
LukisanBagong merupakan pelukis yang produktif melahirkan banyak karya. Adapun karya lukisannya adalah[18]
Patung
FilmografiSelama berkarier, Bagong Kussudiardja juga pernah bermain peran dan menjadi kru sejumlah film.[2]
PenghargaanBagong Kussudiardja telah mendapat banyak penghargaan nasional maupun internasional. Pada tahun 1973, beliau mendapat penghargaan Sri Paus Paulus VI atas fragmennya Perjalanan Yesus Kristus.[4] Pada tahun 1975, memperoleh Satya Lencana Dwija Setia. Untuk lukisan abstraknya yang dipamerkan di Pameran Lukisan Asia Pasifik di Dacca, ia memperoleh medali emas dari pemerintah Bangladesh pada 1980/1981. Pada 1985, ia menerima Hadiah Seni Pemerintah RI dan mendapat Art Award. Pada tahun 1987 mendapatkan Penghargaan ASEAN. Pada tahun 1988 mendapat Art Award dari Pemerintah Yogyakarta. Pada tahun 1992 mendapat penghargaan dari Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi.[1] WafatPada 15 Juni 2004, Bagong Kussudiardja meninggal dunia di Rumah Sakit Bethesda pada pukul 23.00 WIB. Beliau meninggal dikarenakan adanya komplikasi diabetes, jantung, dan tekanan darah tinggi. Jenazah Bagong dimakankan di samping makam istri pertamanya Soetiana yang berada di Dusun Sembungan, Gunung Sempu, Kasihan di Kabupaten Bantul. Dalam surat wasiatnya, Bagong berpesan agar proses pemakamannya diiringi oleh gending yang berjudul Mega Mendung Tiba Tlutur.[5] Referensi
Pranala luar
|