Asam fusidat
Asam fusidat[1] adalah sejenis antibiotik bakteriostatik yang bisa digunakan secara topikal dalam bentuk sediaan krim, salep, gel, dan tetes mata, serta bisa juga diberikan secara sistemik dalam bentuk tablet atau suntikan.[2][3] Munculnya masalah signifikan karena meningkatnya resistansi antimikroba, komunitas ilmiah global telah berusaha untuk menemukan solusi alternatif, salah satu yang paling menjanjikan adalah evaluasi dan penggunaan senyawa-senyawa antibiotik lama. Hal ini dikarenakan penggunaan rendah dari banyak senyawa antibiotik lama, sehingga tetap aktif melawan sejumlah besar isolat bakteri yang lazim saat ini. Salah satu dari senyawa-senyawa antibiotik lama itu adalah asam fusidat.[4] Asal-usulAsam fusidat berasal dari fungus Fusidium coccineum yang awalnya diisolasi dari kotoran monyet dan tersedia di pasaran sejak tahun 1962.[5] Asam fusidat, yang merupakan agen anti-Staphylococcus terakhir, muncul dalam periode yang sangat produktif pada awal tahun 1960-an berasal dari apa yang mungkin merupakan sumber antibiotik yang paling tidak terduga, yakni kotoran monyet jepang. Temuan ini dilakukan oleh para ilmuwan dalam sebuah perusahaan farmasi Denmark kecil, Leo Pharma, di Ballerup, Denmark, barat laut Kopenhagen.[6] Penemuan asam fusidat tahun 1960 merupakan suatu kebetulan. Kelompok penelitian tersebut sedang mencari enzim fungus yang akan menghilangkan rantai samping dari penisilin untuk memberikan struktur dasar yang diperlukan untuk pembuatan penisilin semisintetis. Sebagai bagian dari investigasi, strain fungi yang masuk genus Fusarium dibeli dari koleksi kultur tipe Belanda, Centraalbureau voor Schimmelcultures, di Baarn, Belanda. Dalam daftar katalog Baarn menurut abjad, Fusarium diikuti oleh Fusidium, salah satu spesiesnya adalah Fusidum coccineum.[6] Ketika spesies ini dibeli—kelihatannya karena kesalahan atau keputusan yang mendadak—dan diuji, ditemukan tidak cocok sebagai sumber enzim yang dicari oleh para ahli kimia, tetapi pengujian rutin secara tak terduga menunjukkan aktivitas anti-Staphlococcus yang kuat. Fusidum coccineum awalnya telah diisolasi pada tahun 1953 oleh ahli mikologi Jepang Keisuke Tubaki dari kotoran monyet liar yang ditangkap di Settu, Jepang. Namun, saat itu belum diketahui sebagai penghasil antibiotik. Ironisnya fungus ini kemudian direklasifikasi dan telah dideskripsikan sejak tahun 1971 dalam koleksi Baarn menjadi Acremonium fusidioides, jauh dari Fusarium menurut abjad.[6] Mekanisme kerjaAsam fusidat membantu mencegah pertumbuhan bakteri selagi sistem kekebalan membersihkan infeksi. Asam fusidat bekerja dengan mengganggu sintesis protein bakteri, khususnya dengan mencegah translokasi faktor elongasi G (EF-G) dari ribosom. Hal ini juga dapat menghambat enzim kloramfenikol asetiltransferase.[3] Natrium fusidat, bentuk garam dari asam fusidat juga memiliki mekanisme aksi yang sama.[2] Asam fusidat bersifat bakteriostatik karena tidak membunuh bakteri yang menyerang, tetapi hanya menghambat sintesis protein bakteri dengan menghalangi translasi.[7] Penggunaan medisAsam fusidat sering digunakan secara klinis dalam bentuk garam natriumnya yang dikenal sebagai natrium fusidat. Nama-nama kimia lain untuk asam fusidat meliputi Fusidine, Ramycin, Fucithalmic, dan Fucidin acid.[7] Natrium fusidat adalah bahan aktif utama asam fusidat, yang merupakan turunan asam fusidat dan biasanya ditemukan dalam bahan salep.[1][7] Penggunaan asam fusidat adalah untuk mengobati infeksi yang disebabkan terutama oleh bakteri gram positif seperti Staphylococcus, Streptococcus, Corynebacterium, dan sebagian besar Clostridium.[2] Selain itu, juga termasuk sebagian besar Staphylococcus koagulase-positif, galur Staphylococcus aureus yang resistan terhadap metisilin, dan spesies dari Corynebacterium.[7] Penggunaan asam fusidat dalam sediaan salep, krim, dan gel terutama untuk pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak yang ringan sampai sedang, misalnya impetigo kontagiosa, folikullitis superfisial, eritrasma, furunkulosis, abses, paronikia, sikosis barbae, hidradenitis axillaris, dan luka traumatis yang terinfeksi. Sediaan dalam bentuk tetes mata digunakan untuk mengobati konjungtivitis. Sementara untuk pengobatan infeksi parah dan mencakup area tubuh yang luas, digunakan sediaan oral dalam bentuk tablet atau suspensi dan melalui suntikan.[2] Biasanya krim atau salep asam fusidat dioleskan tiga atau empat kali sehari sementara tetes mata asam fusidat digunakan dua kali sehari.[8] Di Indonesia, obat oles dalam bentuk krim yang mengandung asam fusidat dipasarkan dengan nama Futaderm, diproduksi oleh PT Interbat.[9] Efek sampingEfek samping yang paling umum dari tetes mata asam fusidic adalah mata kering, sakit, gatal, atau menyengat, serta kemungkinan terjadi penglihatan kabur. Tidak lazim terjadi efek samping penggunaan krim atau salep asam fusidat, tetapi beberapa orang mengalami iritasi kulit pada bagian kulit yang dioles.[8] Efek samping penggunaan asam fusidat dalam bentuk sediaan oral dan suntikan yang jarang terjadi adalah seperti kelelahan atau kelemahan yang tidak lazim, dan mata atau kulit kuning. Beberapa efek samping mungkin terjadi yang biasanya tidak memerlukan perhatian medis. Efek samping ini dapat hilang selama perawatan karena tubuh menyesuaikan diri dengan obat.[10] Efek samping lainnya yang kurang lazim dari penggunaan asam fusidat dalam bentuk sediaan oral dan suntikan antara lain kehilangan selera makan, mual, sakit perut, peningkatan gerakan usus, dan tinja yang lembek.[10] Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Fusidic acid. |