Arsyad Thawil al-Bantani
Syekh Mas Mohammad Arsyad Thawil al-Bantani al-Jawi[1] (1851 - 19 Maret 1934) atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Arsyad Thawil adalah ulama sekaligus pahlawan Indonesia yang berjuang dalam Perang Cilegon dari 9 sampai 30 Juli 1888 bersama Ki Wasyid, Tubagus Ismail, dan pejuang lainnya dari Banten.[2] Arsyad adalah murid dari Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama dari Banten yang menjadi Imam Masjidil Haram, Mekkah.[3][4] Pada bulan Desember 1945, Soekarno, selaku presiden Indonesia menyampaikan pidato di hadapan masyarakat Banten di alun-alun Kota Serang. Pada awal sambutannya, Soekarno menyebutkan bahwa Arsyad Thawil adalah pahlawan besar dari Banten.[5][6] BiografiKehidupan awalArsyad lahir di desa Lempuyang, Tanara, Kabupaten Serang. Ayahnya adalah orang Banten yang bernama Imam As'ad bin Mustafa bin As'ad, sementara ibunya adalah Ayu Nazhah.[7] Tidak ada yang tahu persis tanggal dan tahun kelahirannya,[6] namun di batu nisannya tertulis bahwa ia lahir pada tahun 1851 M.[8] Arsyad lahir dengan nama Mas Mohammad Arsyad. Julukan "Mas" adalah singkatan dari Permas, sebuah gelar kebangsawanan Banten yang merupakan keturunan kesultanan.[9] Sementara nama Thawil (bahasa Arab: ﻃﻮﻳﻞ, translit. ṭawīl) yang berarti panjang, ia peroleh karena ada seorang teman bernama Syekh Arsyad Qashir al-Bantani, Qashir (bahasa Arab: ﻗﺼﻴﺮ, translit. qaṣīr) berarti pendek. Karena itu, untuk membedakannya dari Arsyad Qashir, teman-temannya kemudian menyematkan nama Thawil di balik namanya.[7] PendidikanArsyad menerima pendidikan agama Islam dasar seperti menulis aksara Arab dan membaca al-Quran dari ayahnya secara langsung, Imam As'ad yang juga seorang ulama dan memiliki pesantren di Tanara. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu lain seperti nahwu (tata bahasa arab), sharaf, fikih, dan tauhid dari ayahnya.[7] Ketika usianya menginjak 16 tahun, pada tahun 1867 Arsyad melakukan perjalanan menuju Bima di Pulau Sumbawa untuk belajar kepada Syekh Abdul Ghani. Namun baru sampai di Surabaya, dia bertemu dengan Syekh Abdul Ghani yang akan melaksanakan haji ke Mekkah. Selanjutnya dia menyatakan keinginannya untuk belajar kepadanya, Syekh Abdul Ghani kemudian menerima Arsyad sebagai murid sekaligus mengajaknya untuk pergi ke Mekkah bersama.[10][6] Di Masjidil Haram, Arsyad mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Mufti Mekkah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, terutama mengenai Ilmu nahwu, fikih, dan sirah. Selain belajar kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Arsyad juga belajar kepada beberapa ulama di Mekkah, di antaranya Syekh Nawawi al-Bantani dan Sayyid Abu Bakri Syatha (di bawah bimbingan kedua putranya, Sayyid Umar Syatha dan Sayyid Utsman Syatha).[7] Arsyad memperdalam ilmu hadis kepada Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi al-Makki di bawah bimbingan anaknya, Mufti al-Muhaddits al-Habib Husain bin Muhammad al-Habsyi al-Makki. Selain itu, Arsyad juga memperoleh ilmu hadis dari ulama Madinah, Syekh Abdul Ghani bin Abi Sa'id al-Mujaddidi di bawah bimbingan beberapa muridnya, Sayyid Ali bin Zhahir al-Watri, Syekh Shalih bin Muhammad az-Zhahiri, dan Syekh Abdul Jalil Barradah. Sedangkan untuk ilmu fikih, Arsyad juga memperdalamnya kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki.[7] Kehidupan pribadiArsyad menikah di tempat pengasingannya di Manado dengan seorang gadis Minahasa yang merupakan anak dari seorang pendeta setempat bernama Magdalena Runtu (l. 1880; m. 1937),[11] yang setelah memeluk agama Islam mengubah namanya menjadi Tarhimah Magdalena Runtu.[10] Hubungan dekat dengan Syekh NawawiSelama lima tahun (dari 1868 - 1873), Arsyad adalah murid dari ulama Mekkah yang juga berasal dari Banten, Syekh Nawawi al-Bantani.[3] Suatu hari, Syekh Nawawi mengirimkan karyanya berupa naskah buku (kitab) kepada ulama Mesir, tetapi karya tersebut ditolak dan dikembalikan dalam bentuk kode. Setelah kode tersebut diterima, Syekh Nawawi kemudian menjawabnya kembali dalam bentuk kode yang sama. Menerima kiriman kode dari Syekh Nawawi, ulama Mesir pun sangat terkejut karena hanya ulama-ulama berpengetahuan tinggi yang dapat memahami kode tersebut. Untuk mengobati rasa penasaran, para ulama Mesir sepakat mengundang Syekh Nawawi untuk ditanyai. Syekh Nawawi pun memenuhi undangan ulama Mesir dan mengajak serta Arsyad sebagai muridnya untuk bersandiwara dan bertukar tempat (Syekh Nawawi menjadi Arsyad, begitupun sebaliknya).[4] Kedatangan ulama Banten tersebut disambut baik oleh ulama Mesir meskipun tanpa upacara. Di hadapan ulama Mesir, Arsyad yang bersandiwara menjadi Syekh Nawawi pun duduk di atas kursi, sedangkan Syekh Nawawi duduk di bawah sebagai pengawalnya. Banyak pertanyaan diajukan oleh ulama Mesir yang tidak mudah untuk dijawab oleh sembarang ulama. Sebagai Syekh Nawawi, Arsyad pun mempersilakan pengawalnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Semua masalah dan pertanyaan dijawab dengan memuaskan oleh Syekh Nawawi yang bertindak sebagai pengawal Arsyad. Para ulama Mesir pun kagum mendengar jawaban memuaskan tersebut, hingga mereka berpikir bahwa pengawalnya saja sudah sedemikian hebat, apalagi yang dikawal, pastinya akan lebih hebat lagi.[4][12] Usai undangan itu, ulama dari Nusantara semakin dihormati. Karya Syekh Nawawi yang sempat ditolak penerbit Mesir pun mulai diterbitkan. Hal ini juga berimbas kepada penghormatan yang baik oleh ulama-ulama Mesir terhadap ulama Nusantara kala itu.[3] Peran dan perjuanganPerang CilegonPada tahun 1893, Arsyad kembali ke tanah airnya, Banten. Saat itu Banten menghadapi bencana besar: Setelah letusan Krakatau 1883 yang menelan korban setidaknya 36.417 orang,[13] kemudian disusul dengan terjadinya wabah penyakit hewan pada tahun 1885, sampai masyarakat percaya akan tahayul dan perdukunan.[13] Tidak hanya itu, penjajah Belanda kemudian membuat masyarakat Banten semakin tertekan dengan hukuman yang diberikan kepada masyarakat secara tidak adil.[7] Kemudian para ulama dan petani sepakat untuk melakukan perang total dengan pihak kolonial Belanda yang kemudian disetujui oleh Syeikh Nawawi al-Bantani di Mekkah, Syekh Abdul Karim al-Bantani, dan beberapa ulama lainnya. Bersamaan dengan itu, umat Islam mengangkat senjata untuk berjihad, termasuk Arsyad Thawil.[14] Arsyad adalah tokoh utama dalam Pertempuran Geger Cilegon 1888 (Perang Cilegon) dan dengan demikian menjadi ulama paling dicari oleh penjajah.[11] Sebagai hasil pemberontakan, Belanda kemudian menangkap ulama-ulama Banten dan mengasingkan mereka (semua pemimpin yang diasingkan berjumlah 94 orang).[15] Beberapa diantara yang diasingkan antara lain: Haji Abdurrahman dan Haji Akib diasingkan ke Kepulauan Banda, Haji Haris ke Bukittinggi, Haji Arsyad Qashir ke Buton, Haji Ismail ke Flores,[14] Sementara Arsyad Thawil kemudian dibuang ke Manado, Sulawesi Utara.[16] Selainnya kemudian dibuang ke Tondano, Ternate, Ambon, Kupang, dan kota lainnya.[15] AktivitasDi MekkahPada tanggal 27 Februari 1879, Arsyad diangkat menjadi seorang "Syekh" (mengurus orang berhaji yang datang dari Indonesia), dan karena ada dua Arsyad dari Indonesia, dia dijuluki Arsyad "Thawil" (Bahasa Arab: jangkung) dan satunya lagi Arsyad "Qasir" (Bahasa Arab: pendek). Ketika mengurus haji itulah dia sering berkunjung ke kantor Konsulat Belanda di Jeddah dan berkenalan dengan Christiaan Snouck Hurgronje yang akhirnya menjadi temannya dalam berdiskusi tentang ajaran Islam.[17] Di tempat pengasinganSetelah kalah dalam Perang Cilegon tahun 1888, Arsyad ditangkap bersama 100 pejuang lain yang terlibat dalam pertempuran tersebut. Dia dipenjara di Serang, lalu dipindahkan ke Batavia. Saat dipenjara di Batavia inilah Snouck Hurgronje menemuinya, tetapi persahabatan antara mereka tidak mengubah statusnya sebagai tahanan. Tak lama setelah dipenjara di Batavia, ia kemudian diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.[17] Arsyad aktif mengajar masyarakat di tempat pengasingannya, Manado. Ia mengajar di bidang ilmu pengetahuan Islam, di antaranya adalah fikih, nahwu-sharaf, tasawuf, hadis dan lain-lain. Tidak kurang ratusan ulama dari Manado, Gorontalo, Ambon, Ternate, Kabupaten Poso, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Donggala, dan daerah lainnya belajar kepada Arsyad. Dia juga dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam ke wilayah mayoritas Kristen di Indonesia. Bahkan, dia menikahi anak seorang pendeta yang telah masuk Islam, bernama Magdalena Runtu.[6] Arsyad meninggal di Manado, Sulawesi Utara, pada hari Senin, 14 Zulhijah 1353 Hijriyah atau bertepatan dengan 19 Maret 1935 Masehi. Imam salat Jenazahnya adalah al-Habib Hasan bin Abdur Rahman Maula Khailah al-'Alawi.[4] PenghargaanNama Arsyad Thawil kemudian diabadikan menjadi nama sebuah masjid di Komo Luar, Wenang, Manado dengan nama Masjid Kiai Haji Arsyad Thawil. Haul atau peringatan hari kematiannya selalu diadakan setiap tahun di masjid ini.[11] Pada haul yang ke-79, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Utara akan mengajukan Arsyad Thawil menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.[11] ReferensiCatatan Kaki
Bibliografi
|