Arie Smit
Arie Smit (15 April 1916 – 23 Maret 2016[1]) adalah seorang pelukis dari Belanda yang kemudian menetap dan berkarya di Bali. Tetapi sejak kehadirannya tahun 1956, warna warni mulai masuk kedalam garis dan bidang. "itulah jasa besar yang diberikan Arie Smit: memperkenalkan warna," ujar Drs. Sudarmadji, Direktur Balai Seni Lukis yang juga Ketua DPH Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Arie adalah anak tertua dari delapan saudaranya dan ia adalah satu satunya yang berbakat dalam seni lukis. ketika Perang Dunia II pecah, keluarga Smit mengugsi dari Rotterdam, tetapi Arie (23) ketika itu memilih pergi lebih jauh dan memilih pergi ke Indonesia yang dikenalnya lewat bacaan. Tiba di Indonesia ia awalnya bekerja sebagai litografer di Jawatan Tipografi Jakarta dengan bekerja sambilan sebagai seorang pelukis, belajar seni grafis, dan bahasa Indonesia. Ia berteman akrab dengan Pelukis sudjojono seorang pendiri Persagi. Pada saat Jepang datang ia ditangkap dan pada bulan Maret 1942 ia dikirim ke Muangthai sebagai romusa untuk membangun rel kereta api. Ia dibebaskan ketika Jepang telah takluk, dan dikembalikan ke Indonesia pada saat Indonesia telah merdeka. Pada tahun 1950, Arie resmi menjadi warga negara Indonesia. Disanggarnya yang berlokasi di Ubud yang kemudian dikenal sebagai Young Artist. Generasi muda pelukis itu terus mengembangkan perubahan yang diperkenalkan oleh Arie, aliran yang dikembangkan dari impresionisme. Arie sendiri menolak menggolongkan dirinya ke aliran tertentu. "karena gaya yang saya pakai sekarang tidak ada yang meniru, saya cenderung menyebutnya corak Smit" katanya. Pelukis ini sebelumnya pernah tinggal menetapdi Bandung, da menjadi staff pengajar Seni Rupa ITB. Tetapi karena ia tidak betah maka ia pindah ke Bali. Konon berbeda dengan rekan rekan sesama pengajar. Kini ia tinggal dirumah sewaan Sanur, hidup membujang hanya makan roti atau sayur yang dibelikan seorang pembantu yang tinggal bersamnya. kabarnya hubungan dengan keluarganya di Belanda telah putus. dengan bercelana pendek dan bersandal, ia gemar bersepeda ke desa desa.[2] Ia berjasa bagi masyarakat desa Penestanan karena membimbing dan mendidik anak-anak petani di desa tersebut melukis dengan genre baru "Young Artist" tahun 1960-an. Dunia seni yang kemudian memberi peluang kesejahteraan hidup petani desa setelah himpitan ekonomi akibat letusan Gunung Agung awal tahun 1963. Tercatat, puluhan pelukis berbakat lahir dari komunitas yang ia dirikan seperti, Nyoman Tjakra, Ketut Soki, Nyoman Londo, Wayan Pugur, Ketut Tagen, Gusti Ngurah KK, dan lain sebagainya.[1] Referensi
|