Antropologi psikologis

Antropologi psikologis adalah cabang dari antropologi yang bersifat interdisipliner dan mengkaji interaksi kebudayaan dan proses mental. Cabang ini terutama memperhatikan cara perkembangan manusia dan enkulturasi dalam kelompok budaya tertentu-dengan sejarah, bahasa, praktik, dan kategori konseptualnya sendiri-membentuk proses perolehan kognisi, emosi, persepsi, motivasi, dan kesehatan mental. Juga memeriksa tentang bagaimana pemahaman kognisi, emosi, motivasi, dan proses psikologis sejenis membentuk model proses budaya dan sosial. Setiap aliran dalam antropologi psikologis memiliki pendekatannya sendiri-sendiri.

Beberapa aliran dalam antropologi psikologis:

  1. Antropologi psikoanalitis
  2. Kebudayaan dan Kepribadian
  3. Etnopsikologi
  4. Antropologi kognitif
  5. Antropologi psikiatris

Hubungan antropologi dengan psikologi

Antropologi dan psikologis saling beririsan dalam hal mempelajari manusia. Psikologi lebih berfokus pada manusia secara internal, sementara antropologi menekankan kepada aspek-aspek eksternal yang mempengaruhi manusia. Seorang psikolog harus menyelidiki unsur-unsur eksternal yang mempengaruhi sifat dan karakter seorang manusia, sedangkan seorang antropolog harus mempelajari interaksi yang terjadi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya yang membentuk pola-pola kebudayaan.[1]

Claude Lévi-Strauss menyatakan bahwa individu merupakan produk dari lingkungan sosial, dan kepribadian ditentukan oleh budaya lokal.[2]

Antropologi psikologi memandang manusia berdasarkan sudut pandang psikologi, sementara itu, tugas antropologi psikologi adalah menjawab secara akurat pertanyaan-pertanyaan dasar psikologi umum seperti apa itu jiwa dan apakah psikologi merupakan suatu ilmu yang koheren? Suatu model teori mesti dikembangkan terkait dengan manusia dan kehidupannya dari sudut pandang ilmu kejiwaan.[3]

Dinamika antropologi psikologis

Berdasarkan George Devereux yang tertarik pada tema tentang antropologi biologi, etologi manusia, serta psikoanalisis, ada beberapa hal terkait dengan antropologi psikologis. Pertama, hubungan timbal balik antara indvidu yang satu dengan yang lain mesti dipahami dalam cara berpikir yang dialektis. Kedua, adanya prinsip yang tidak pasti dari antropologi yaitu interaksi antara pengamat dan yang diamati; objek dan instrumennya merupakan hal pokok dalam memahami fenomena yang ada. Dengan kata lain, seorang antropologis dapat memilih metode serta teori yang dipakai, dan metode serta teori tersebut tidaklah bersifat objektif. Seorang antropologis dapat menggunakan dasar-dasar etika, politik, serta seni dalam memahami fenomena-fenomena yang praktis. Ketiga, adanya perbedaan yang cukup jauh antara pengalaman di lapangan dengan retorika dan teori. Namun demikian, apapun perbedaan nilai-nilai epistemologis, ilmu senantiasa menyediakan strategi alternatif dalam menelaah tingkah laku manusia. Keempat, argumen psikoanalitis dari Devereux yang menyatakan bahwa kesatuan psikis manusia merupakan bagian dari antropologi. Kelima, batasan ego individu berada dalam kondisi yang dinamis dalam kaitannya dengan kelompok sosial, budaya, serta negara, tidak seperti kajian antropologi budaya pada tahun 1970-an yang mengasumsikan bahwa ego manusia dalam batasan yang pasti serta dalam kondisi yang statis.[4]

Dikotomi ilmu sosial dan ilmu alam

Adanya dikotomi antara faktor sosial dengan faktor biologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu perilaku manusia. Para ilmuwan sosial seperti Emile Durkheim dan Franz Boas tidak memakai ilmu biologi dalam mengkaji perilaku manusia, mereka menganggap bahwa budaya terbebas dari hukum-hukum biologi.

Bloch menjelaskan bahwa perbedaan yang tajam antara ilmu sosial dengan ilmu alam berasal dari akar evousioner dari pendekatan kognitif dalam mengkaji masalah budaya dan beberapa kesalahan yang tak terbantahkan di awal-awal pembentukan ide evolusioner mengenai budaya. Setelah Franz Boaz mengkontraskan ras dengan sejarah, lalu antropologi menjadi berlawanan dengan penjelasan ilmiah mengenai ilmu alam, dan etnografi digeneralisir menjadi ilmu mengenai perilaku manusia sebagai spesies biologi.

Ilmu antropologi pada saat itu mampu menjelaskan bahwa budaya sanggup melawan hukum alam, namun tidak sanggup untuk mencegah peristiwa yang berkaitan dengan rasisme, etnosentrisme, seksisme, dan/atau kolonialisme. Bloch sendiri berpendapat bahwa sebaiknya dibentuk pemahaman multidisiplin dalam ilmu antropologi. Sementara itu, Laughlin dan Throop (2006) berpendapat bahwa manusia harus mampu mengembangkan budaya terlepas dari faktor biologis, yang mana hal tersebut merupakan pemberian Tuhan yang mesti diterima oleh manusia.[5]

Studi tentang etika adalah salah satu cara untuk menghubungkan antara kepribadian dengan budaya.[6]

Antropologi modern

Kajian tentang antropologi budaya Amerika modern dianalisis oleh Franz Boas bersama salah seorang muridnya yang bernama Margaret Mead.[7] Antropologi modern lahir dari pemikiran bahwa kondisi manusia mesti dianalisis secara keseluruhan/holistik.[8] Psikologi kultural kontemporer merupakan salah satu bagian yang turut berpengaruh terhadap perkembangan ilmu antropologi di Amerika selama tahun 1925-1975. Konsep tentang budaya, hubungan antara psikologi dan karakteristik kultural, kondisi mental individu dirumuskan, diteliti, dan diselidiki menggunakan ilmu etnografi, ilmu kebahasaan, serta metode klinis.[9]

Suatu konsep yang segar atau baru tentang budaya dicetuskan oleh Franz Boas, pemikirannya tersebut mendominasi ilmu antropologi. Boas menolak teori tentang rasis dan evolusioner sosial.[10]

Referensi

  1. ^ Sriyana (2020). Antropologi Sosial Budaya. Klaten: Lakeisha. hlm. 28. ISBN 978-623-6573-69-3. 
  2. ^ Edwardes, Martin P.J (2019). The Origins of Self (PDF). London: University College London Press. hlm. 23. ISBN 978-1-78735-630-6. 
  3. ^ Bertelsen, Preben (2005). Free Will Consciousness and Self. New York and Oxford: Berghahn Books. hlm. 47–48. ISBN 1-57181-661-5. 
  4. ^ Jackson, Michael (2010). From Anxiety to Method in Antropological Framework di dalam James Davies (ed) Emotions in the Field. California: Stanford University Press. hlm. 36–37. ISBN 978-0-8047-6940-2. 
  5. ^ Dein, Simon (2019). Culture and Psyche. Cambridge Scholars Publishing. hlm. 19–20. ISBN 978-1-5275-3653-1. 
  6. ^ Sapir, Edward (2010). The psychology of culture di dalam Robert LeVine (ed) Psychological Anthropology. Blackwell Publishing. hlm. 24. ISBN 978-1-4051-0575-0. 
  7. ^ Harkness, Sara (1999). Human development in psychological anthropology di dalam Theodore Schwartz (ed) New directions in psychological antropology. Cambridge University Press. hlm. 23. ISBN 0 521 41592 6. 
  8. ^ Klass, Morton (2003). Mind Over Mind. Rowman & LittlefieldPublishers, Inc. hlm. 8. ISBN 0-7425-2676-3. 
  9. ^ LeVine, Robert A (2007). Antropological Foundations of Cultural Psychology di dalam S. KItayama(ed) Handbook of Cultural Psychology (PDF). New York and London: The Guildford Press. hlm. 40. ISBN 978-1-59385-444-7. 
  10. ^ Jahoda, Gustav (2012). Culture and psychology : words and ideas in history di dalam Jaan Valsiner (ed) The Oxford Handbook of Culture and Psychology. Oxford University Press. hlm. 37. ISBN 978-0-19-539643-0. 
Kembali kehalaman sebelumnya