Anti-rohaniwanAnti-rohaniwan merujuk kepada gerakan-gerakan dalam sejarah yang menentang rohaniwan atas alasan-alasan yang meliputi tuduhan kekuasaan dan pengaruh mereka dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat dan politik dan keterlibatan mereka dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, hak-hak mereka atas pemaksaan ortodoksi mereka[1] Tidak semua anti-rohaniwan adalah irelijius atau anti-agama, beberapa beragama dan menentang rohaniwan atas dasar masalah-masalah kelembagaan dan/atau ketidaksetujuan dalam tafsir keagamaan, seperti saat Reformasi Protestan. EropaRevolusi PrancisRevolusi Prancis, terutama pada masa Jacobin, diwarnai salah satu peristiwa anti-rohaniwan paling keras dalam sejarah Eropa modern sebagai reaksi melawan peran dominan gereja Katolik di Prancis pada masa sebelum revolusi; otoritas revolusioner yang baru mendepak gereja; menghancurkan, menodai dan mengalihfungsikan biara-biara; mengasingkan 30,000 pendeta dan membunuh ratusan orang.[2] Sebagai bagian dari kampanye untuk mendekristenisasikan Prancis pada Oktober 1793 kalender Kristen digantikan dengan penghitungan dari tanggal Revolusi, dan Kultus Akal Budi yang ateis didirikan, seluruh gereja yang tidak bernaung pada kultus tersebut ditutup.[3] Pada 1794, kultus ateistik tersebut digantikan dengan Kultus Sosok Tertinggi yang deistik.[3] Saat anti-rohaniwan menjadi tujuan yang jelas dari kaum revolusioner Prancis, kontra-revolusioner memulihkan tradisi dan Rezim lama angkat senjata, terutama dalam Perang Vendée (1793 sampai 1796). Saat Paus Pius VI menyatakan pertentangan terhadap revolusi tersebut dalam Koalisi Pertama (1792–1797), Napoleon Bonaparte menginvasi Italia (1796).[4] Pasukan Prancis menahan Paus pada 1797, dan ia meninggal setelah enam minggu ditahan.[4] Setelah berubah sikap, Napoleon kemudian mendirikan kembali Gereja Katolik di Prancis dengan menandatangani Konkordat 1801,[4] dan mencekal Kultus Sosok Tertinggi. Beberapa kebijakan anti-rohaniwan masih diteruskan. Saat tentara Napoleon memasuki sebuah wilayah, biara-biara sering kali dijarah dan properti gereja disekulerisasikan.[5][6][7][8] Italia dan JermanAkibat revolusi Prancis, agama Katolik batal menjadi agama negara di Prancis. Kemudian, sejak 1815 kedudukan Gereja Katolik menjadi pokok pertarungan politis yang sangat memecah belah dan memuncak pada pemisahan Gereja dari negara secara permanen. Di Italia, anti-klerikalisme politis memuncak dengan penghapusan Negara kepausan pada tahun 1870. Sementara di Jerman, sejumlah besar undang-undang anti-klerikal yang dikeluarkan oleh Kanselir Bismarck terpaksa dibatalkan lagi pada tahun 1870-an.[butuh rujukan] Amerika LatinKubaKuba, di bawah pemerintahan ateis Fidel Castro, mengurangi ruang karya Gereja dengan mendeportasi uskup agung dan 150 pendeta Spanyol, mendiskriminasi umat Katolik dalam kehidupan masyarakat dan pendidikan dan menolak menerima mereka sebagai anggota Partai Komunis.[9] Pelarian 300,000 orang dari pulau tersebut juga membuat penurunan Gereja disana.[9] KomunismeKebanyakan pemerintahan Marxis–Leninis secara resmi anti-rohaniwan, meniadakan hari-hari libur keagamaan, mengajarkan ateisme di sekolah-sekolah, menutup biara-biara, lembaga-lembaga pendidikan dan sosial gereja dan beberapa gereja.[10] Di Uni Soviet, anti-rohaniwan diekspresikan melalui negara; dalam lima tahun pertama sendiri setelah Revolusi Bolshevik, 28 uskup dan 1,200 pendeta dieksekusi.[11] Anti-rohaniwan di dunia IslamIndonesiaPada masa kejatuhan Suharto pada 1998, dukun-dukun diburu di Banyuwangi atas tuduhan para dukung terlibat dalam merebaknya kerusuhan dan kekerasan. Selain para dukun, para rohaniwan Islam juga ditargetkan dan dibunuh, para anggota Nahdlatul Ulama dibunuh oleh para perusuh.[12][13] Catatan
Referensi
|