Angkatan Balai PustakaAngkatan Balai Pustaka adalah nama yang diberikan kepada pengarang yang dianggap sangat produktif menerbitkan karyanya oleh Commissie voor de Volkslectuur (Balai Pustaka) pada tahun 1920-an. Di antaranya adalah Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Marah Rusli, Muhammad Kasim, dan Merari Siregar. Angkatan ini juga dinamakan Angkatan Siti Nurbaya karena novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli merupakan puncak karya sastra pada zaman itu. Novel Siti Nurbaya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi yang kaku.[1] Kebanyakan penulis pada zaman itu berasal dari Minangkabau sehingga persoalan yang dikemukakan sangat kental dengan budaya lokal Minangkabau. Angkatan Balai Pustaka juga disebut dengan angkatan 20-an yang lebih banyak menuliskan tentang persoalan adat yang kaku, kebebasan individu yang terkungkung, penindasan hak perempuan serta kesewenangan kaum tua (adat) terhadap kaum muda.[2] SejarahBalai Pustaka lahir sebagai reaksi dari keresahan Pemerintah Hindia Belanda pada zaman itu terhadap banyaknya koran-koran atau bacaan yang berkembang pada masyarakat luas. Kritikan dan protes banyak dihadirkan oleh pihak bumiputra untuk menentang kekuasaan Belanda waktu itu. Hasilnya, berdirilah "Commissie voor de Volkslectuur" (Komisi Bacaan Rakyat, KBR) pada 1908, yang kelak menjadi Balai Pustaka. KBR saat itu menerbitkan buku-buku dan majalah yang dianggap "aman" oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tak disangka, pilihan berupa buku asing yang diterjemahkan, justru membantu pikiran rakyat Indonesia menjadi lebih terbuka. Lembaga ini dibangun sebagai konsekuensi politik etis yang mendirikan sekolah bagi kaum Bumi Putera.[3] Karya Sastra
Referensi
|