Anak cucu orang sepuluhAnak Cucu Orang Sepuluh adalah sebutan bagi anak cucu keturunan dari sepuluh orang pambakal yang berjasa pada Kesultanan Banjar karena berhasil menggagalkan laskar yang dipimpin Pangeran Surya dan Pangeran Ahmad yaitu saudara tiri Sultan Tahmidullah II yang menyerang kebun lada milik Sultan di daerah Amuntai pada tahun 1785 pada masa Sultan Sulaiman. Pada waktu itu Pangeran Suria saudara Sultan Tahmidullah II berkeinginan pula menjadi raja. Dalam melaksanakan niatnya itu ia dibantu oleh Pangeran Ahmad, tetapi kemudian mereka dapat dihalau oleh kesepuluh orang datu hingga ke perbatasan negeri Paser.[1] Kesepuluh datu[2] tersebut adalah:
Mereka dibebaskan dari pajak dan kerja rodi oleh Kesultanan Banjar. Kemudian anak cucu orang sepuluh yang setia kepada Belanda setelah Kesultanan Banjar dihapuskan oleh Belanda, hak ini tetap mereka miliki. Pembebasan PajakPada masa Sultan Sulaiman terjadi serangan masuk atas kesultanan Banjar yang datang dari Pasir. Serangan ini dipukul mundur oleh rakyat Banua Lima yang dipimpin oleh sepuluh orang datu. Sultan amat berterimakasih akan kejadian ini dan sebagai balasan anak cucu sepuluh datu-datu ini dibebaskan dari erakan dan pajak-pajak lainnya..[3] Perang BanjarDi zaman Perang Banjar anak cucu orang sepuluh terpecah-pecah. Sebagian besar memihak rakyat dan Sultan ikut berjuang dan kehilangan hak-haknya. Tapi kelompok Adipati Danuraja memihak Belanda dan beserta prajuritnya mengamankan Banua Lima. Adipati Danuraja yang diangkat Belanda sebagai regent pertama Banua Lima mati terbunuh dalam suatu perkelahian dengan rakyat. Kelompok Danuraja inilah yang meneruskan hak-hak istemewa golongan anak cucu orang sepuluh dan bebas rodi dan pajak dalam pemerintahan kolonial Belanda selanjutnya setelah tahun 1865.[3] MerantauDi permulaan abad ke-20, anak cucu orang sepuluh banyak yang keluar Banua Lima, ada yang merantau hingga Kota Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara dan sebagain menetap di Kampung Banjer (Banjar). Mengingat hak-hak istimewa keturunannya, mereka berkeberatan dipaksa kerja rodi, sehingga menimbulkan gelombang protes kepada pemerintah Belanda di Batavia. Tindakan BelandaTindakan Pemerintah Hindia Belanda yang diambil untuk mengatasi masalah ini:[3]
Ordonansi ErakanDalam ordonansi erakan (kerja rodi) untuk Karesidenan Selatan dan Timur Borneo(Stb. 1927 no.:203 diubah dan ditambah oleh Stb. 1931 No.:483) dikatakan bahwa:[3]
Jadi ketetapan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda sesudah tahun 1927 itu adalah membebaskan kelompok anak cucu orang sepuluh dari wajib rodi bila sebelum tahun 1927 mereka memang telah bebas rodi, sehingga kelompok bebas rodi semakin kecil. Sebab kalaupun betul turunan anak cucu orang sepuluh, bila dalam tahun 1927 belum ada ketetapan bebas rodi, untuk seterusnya kena wajib rodi. Referensi
Pranala luar |