Anak Agung Gde Rai

Anak Agung Gde Rai atau biasa dipanggil Agung Rai (lahir di Peliatan, UbudBali, 17 Juli 1955; umur 67 tahun) adalah budayawan dan tokoh seni yang berjasa besar melestarikan dan mempopulerkan karya-karya seni Indonesia (khususnya Bali). Dia adalah pendiri ARMA (Agung Rai Museum of Art).[1] Pria yang pernah berprofesi sebagai pedagang acung (pedangan asogan) ini mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk mempopulerkan, melestarikan dan mengembangkan seni budaya Indonesia. Di samping kesibukannya mengurus galeri, museum dan kegiatan-kegiatan seni, Agung Rai juga mengelola resort yang bernuansa budaya lokal dan kehidupan alami pedesaan ubud (dengan latar persawahan).

Kehidupan Awal

Agung Rai lahir sebagai anak kedua bagi pasangan Anak Agung Ajia Punia dan Anak Agung Biang Ngurah. Dari segi silsilah, keluarga Agung Rai sebenarnya masih tergolong keturunan bangsawan. Namun keluarga Agung Rai tak mendapat hak istimewa apapun berkat garis keturunan tersebut. Bahkan keluarganya hidup miskin dan tinggal di tebe dauhne, suatu tempat di pinggiran desa yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan kelas sosial ekonomi yang rendah. Fakta kemiskinan inilah di kemudian hari yang mendorong Agung Rai untuk terus bekerja keras demi mengubah nasib.[2]

Agung Rai menghabiskan masa kecilnya di desa Peliatan dengan bekerja keras. Sejak kecil dia telah diserahi tugas mengurus bebek, bekerja di sawah dan di ladang. Tak jarang dia harus pulang ke rumah ketika hari sudah gelap. Ritme kehidupan seperti itu berlangsung terus bahkan ketika dia menjalani hari-hari sebagai murid Sekolah Rakyat (SR).[3]

Kendati miskin dan serba kekurangan, keluarga Agung Rai sedari awal sudah sadar akan pentingnya pendidikan. Mereka mendorong Agung Rai untuk terus bersekolah. Karena itu, Agung Rai harus meninggalkan kampung halamannya dalam usia yang masih sangat belia untuk melanjutkan sekolah di Tabanan. Dia dititipkan oleh ayahnya kepada seorang kenalan di Tabanan. Jauh dari kampung halaman, tidak berarti dia bisa sepenuhnya menggunakan waktu untuk belajar saja. Dia tetap harus bekerja keras untuk membantu biaya sekolah dan kehidupannya sendiri di kampung orang.

Selama di Tabanan, di luar jam sekolah Agung Rai bekerja serabutan, mengerjakan apa saja yang bisa memberi rejeki. Dia bercita-cita menjadi guru, sebuah profesi terhormat di kalangan masyarakat Bali pada zaman itu. Namun setamat SMP, Agung Rai sadar bahwa cita-cita itu tak bisa diraihnya karena alasan ekonomi. Uang sekolah di PGA (Pendidikan Guru Agama) tergolong mahal untuk ukuran ekonomi keluarganya dan PGA berada di Gianyar sehingga butuh uang tak sedikit untuk ongkos.

Dari Tour Guide Ke Pedagang Acung

Gagal menjadi guru, Agung Rai menghidupkan kembali mimpinya masa kecilnya menjadi pelukis hebat. Kampung halamanya memang sangat kental dengan tradisi seni lukis dan sudah ada banyak contoh seniman lukis dari kampungnya berhasil mengubah nasib berkat lukisan. Maka hampir semua anak muda di kampungnya bermimpi menjadi pelukis besar. Terutama karena beberapa pelukis besar dunia seperti Walter Spies dan Bonnet sering mengunjungi Peliatan untuk melatih pelukis-pelukis muda.

Agung Rai seperti anak-anak lain di Peliatan beberapa kali juga mengikuti kursus melukis yang diselenggarakan pelukis barat secara cuma-cuma. Namun dia segera menyadari bahwa dirinya tak memiliki cukup bakat untuk menjadi pelukis besar. Diapun segera berubah haluan.

Dari hari ke hari semakin banyak turis manca negara yang mengunjungi Bali. Karena itu Agung Rai mendapat ide untuk mencoba peruntungan sebagai pemandu wisata (tour guide). Untuk itu dia butuh kemampuan berbahasa Inggris. Berkat tekad yang kuat dia memberanikan diri meminta bantuan kepada seorang tour guide yang sering dilihatnya mengantar turis ke kampung halamannya. Dari sana dia mengetahui beberapa kalimat bahasa inggris yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Dengan bekal pas-pasan itu dia memberanikan diri menyapa para turis manca negara dan mengajak mereka mengobrol. Sebagian dengan senang hati melayaninya dan membantunya untuk bisa berbicara bahasa Inggris. Beberapa bule kemudian bersedia menggunakan jasanya sebagai pemandu wisata. Maka sambil terus belajar, dia mulai bisa menghasilkan uang dari tips sebagai tour guide amatiran.

Menariknya, Agung Rai cukup piawai melihat peluang lain dari perjumpaannya dengan para turis manca negara. Dia mencoba membawa beberapa lukisan para pelukis di kampungnya untuk ditawarkan kepada para turis. Dia menjelajah ke Kuta, Sanur, Padang Bay dan tempat-tempat wisata lain sambil membawa lukisan. Pelan-pelan dia menyadari bahwa berdagang lukisan secara acung (asogan) memberinya rejeki lebih baik daripada menjadi tour guide. Dia pun semakin serius menekui profesi sebagai pedagang acung lukisan. Para pelanggan memujinya karena memiliki insting seni yang dalam memilih lukisan bernilai tinggi.

Ketika permintaan terhadap lukisan hasil pilihannya semakin tinggi, dia membuka sebuah geleri seni di Ubud. Para pelukis datang untuk menitipkan lukisannya di galeri tersebut untuk dijual seiring dengan perkembangan reputasinya sebagai pedangan lukisan yang handal.

Menjadi Kolektor Lukisan

Bisnis lukisan semakin berkembang dan kondisi ekonomi Agung Rai telah jauh membaik. Cita rasa terhadap lukisan juga semakin tinggi seiring dengan jaringannya yang semakin luas dengan kalangan para seniman dan kolektor. Agung Rai juga pelan-pelan membangun reputasinya sebagai kolektor lukisan-lukisan bernilai tinggi, bukan sekadar pedagang. Dia mulai memburu lukisan para mestro Indonesia seperti Affandi. Di kemudian hari, Agung Rai mengetahui bahwa banyak lukisan mestro Indonesia telah berpindah ke luar negeri. Diapun berpetualang ke luar negeri untuk memburu lukisan-lukisan Indonesia.

Koleksi seninya semakin banyak dan mendapat apresiasi dari para pecinta seni dalam dan luar negeri. Dia juga semakin intens terlibat dalam berbagai kegiatan seni di dalam dan luar negeri. Agung Rai beberapa kali mendampingi seniman Indonesia yang mengadakan pameran di luar negeri. Pegelaran-pegelaran seni di dalam negeri dengan kelas internasional juga sering dia organisir. Kariernya sebagai kolektor dan kurator seni semakin meningkat.

Mempromosikan Indonesia

Reputasi Agung Rai sebagai kolektor dan kurator seni semakin dikenal dunia. Diapun semakin sering diundang ke luar negeri untuk melakukan kerja-kerja seni dan budaya. Kesempatan itu tak disia-siakannya untuk mempromosikan seni budaya Indonesia ke seluruh dunia.

Pada bulan Mei 1989, misalnya, Agung Rai berangkat ke Jepang memboyong 100 lukisan karya 50 pelukis yang tergabung dalam Sanggar Seniman Agung Rai. Lukisan-lukisan itu dipamerkan di Jepang selama 2 bulan. Pada kesempatan itu, Agung Rai lebih banyak menampilkan lukisan para seniman muda untuk memacu semangat mereka dengan memberi kesempatan tampil di kancah internasional. Selain menampilkan karya para seniman muda, Agung Rai sengaja membawa lukisan-lukisan yang memotret wajah Indonesia dari berbagai sisi dan dengan berbagai gaya sebagai upaya memperkenalkan budaya Indonesia ke seluruh dunia.

“Diplomasi seni seperti ini sebenarnya tidak kalah penting dengan diplomasi politik untuk mempererat persaudaraan antar bangsa. Dan lagi, kita ingin mempromosikan pariwisata Indonesia melalui kegiatan seni” kata Agung Rai kepada wartawan Jawa Post yang mewawancarainya menjelang keberangkatannya ke pameran yang disponsori oleh Tatsumura Institute Textile of Art tersebut.

Kepada wartawan lain, Agung Rai bercerita bahwa pameran itu terselenggara atas bantuan seorang tentara Jepang yang pernah bertugas dan tinggal di Indonesia. Mantan tentara tersebut sangat terkesan dan mencintai Indonesia. Karena itu dia berusaha untuk turut serta melestarikan dan mempopulerkan budaya Indonesia ke seluruh dunia. Untuk tujuan tersebut, dia bekerja sama dengan Ajip Rosidi, warga Indonesia yang bekerja sebagai dosen di salah satu universitas di Osaka.

Menyadari arti penting kesempatan emas tersebut dalam mempromosikan Indonesia khususnya Bali ke dunia internasional, Agung Rai berusaha melakukan yang terbaik dengan memboyong koleksi-koleksi yang bermutu. Dia memamerkan karya lukis modern, kontemporer, tradisional, gaya Pengosekan dan gaya Batuan. Untuk kategori modern dan kontemporer, Agung Rai menyertakan karya Made Wianta, Pande Gde Supada, Djirma, Made Surita, Nyoman Suradnya, Made Budiana, dan Tjok Raka. Untuk jenis lukisan tradisi, dia menyertakan karya Nyoman Meja, Ketut Budiana, Bendi dan Taweng.

Pameran itu diselenggarakan di beberapa kota agar dapat menjangkau masyarakat lebih luas. Untuk meningkatkan nilai promosi budaya Indonesia, Agung Rai bersama tim juga memutar video yang memotret hidup keseharian seniman Bali. Cara itu ditempuh untuk memberi pemahaman kepada masyarakat internasional bagaimana karya seni dihasilkan dan bagaimana kehidupan para seniman sebagai masyarakat biasa yang juga disibukkan dengan pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari seperti bertani atau profesi lain. Dengan demikian pengunjung dapat melihat gambaran real kehidupan dan budaya masyarakat Indonesia khususnya Bali.

Pada kesempatan lain, tepatnya pada bulan Mei 1991, Agung Rai membawa 7 anak-anak dari Ubud melakukan pameran lukisan, mendemonstrasikan kemampuan melukis dan menari di Museum of Northern Territory Australia. Selama pameran, anak-anak Australia terlibat sebagai penonton sehingga pertemuan seni itu menjadi pertemuan budaya dua bangsa yang berbeda. Program seperti itu baru pertama kalinya dilakukan oleh pengelola seni Indonesia karena biasanya hanya hasil karya para seniman yang dibawa untuk pameran tanpa kehadiran para senimannya sendiri. Maka Agung Rai cukup optimistis, program itu akan menaikkan semangat para seniman muda untuk terus berkarya karena mereka merasa dihargai, diparesiasi secara luas. Dalam lingkup yang lebih luas, program seperti itu turut memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional.Berbagai pameran lukisan dan pagelaran pentas seni diorganisir oleh Agung Rai di berbagai negara.

Agung Rai Museum of Art

Kendati Agung Rai memulai kariernya di dunia seni sebagai pedagang lukisan, dia tidak terperangkap dalam nafsu bisnis yang membutakan. Dari hari ke hari dia menghayati seni sebagai bagian dari sebuah kebudayaan yang luhur. Karena itu dia sering dihinggapi rasa cemas dan kahwatir akan kelesatarian budaya negerinya terutama di bidang kesenian. Pengalamannya menyaksikan pegelaran seni di berbagai negara dan cara mereka melesatarikan kesenian membuat Agung Rai iri. Di dalam lubuk hatinya tersimpan sebuah mimpi untuk bisa memiliki pusat pelestarian dan pengembangan seni yang dikelola dengan baik seperti di negara-negara maju[4].

Agung Rai Museum of Art

Agung Rai berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan mimpinya dengan membangun sebuah museum dan galeri seni yang berperan sebagai tempat pelestarian, pertunjukan dan tempat belajar seni bagi generasi muda yang diberi nama ARMA (Agung Rai Museum of Art). Sejak awal Museum Arma dirancang tidak hanya untuk menyimpan dan memamerkan karya seni saja, tetapi juga sebagai tempat untuk belajar sehingga dapat memberi mamfaat bagi banyak orang terutama generasi muda yang ingin mengasah bakat seni. Karena itulah museum ini sering disebut sebagai living museum. Ini sesuai dengan visi dan pandangan hidup Agung Rai yang memiliki keinginan untuk mempersembahkan hidupnya demi kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama manusia.

Museum ARMA diresmikan pada tanggal 9 Juni 1996 oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam perjalanannya, museum ARMA telah dikunjungi oleh banyak pejabat negara antara lain Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI.

ARMA merupakan salah satu museum dengan koleksi terlengkap di Indonesia. Mulai dari lukisan-lukisan klasik hingga kontemporer, baik karya seniman lokal maupun manca negara. Untuk lukisan klasik misalnya, ARMA mengoleksi lukisan Kamasan dengan medium kulit kayu, karya-karya masterpieces para seniman Batuan dari tahun 1930-an dan 1940, karya mestro lukis abad ke-19 Raden Saleh dan Syarif Bustaman. Karya seniman asing antara lain Willem Gerard Hofker, Rudolf Bonnet, dan Willem Dooijewaard. Karya-karya Walter Spies, pelukis kondang asal Jerman, diberi ruangan khusus.[5]

Selain koleksi lukisan yang kaya dan lengkap, popularitas ARMA melejit cepat karena juga sering menghelat berbagai kegiatan seni budaya seperti pertunjukan musik, teater, menyediakan ruang baca dengan koleksi aneka buku bagi para pengunjung, menyelenggarakan seminar tentang budaya dan seni. Kegiatan-kegiatan di ARMA sebagian besar berskala internasional dan tak jarang diselenggarakan dengan berbagai pekerja seni dan budaya dari berbagai negara seperi konser Konser dua malam Bhakti Nights di antaranya diisi oleh Ajeet Kaur, Devotional Chant dari AS, Maneesh de Moor dari Belanda, Kevin James dari AS, Peia dari AS, dan Ali Ghamsari dari Iran. Konser tersebut adalah bagian dari kegiatan BaliSpirit Festival yang diselenggarakan di ARMA dan dihadiri para pemerhati hidup sehat dari seluruh dunia. Dengan berbagai rangkaian kegiatan berskla internasional tersebut, ARMA mendapat predikat sebagai museum terpopuler dan terbaik di Indonesia menurut para wisatawan sebagaimana dihimpun oleh situs traveling dunia, TripAdvisor.[6]

ARMA semakin mengukuhkan dirinya sebagai museum hidup berkat konsistensi memamerkan karya seni dengan sentuhan alam yang terlihat seolah hidup dan terlihat nyata. Energi kreatif tidak pernah berhenti di museum ini.Bahkan di masa pandemi, museum ini tetap buka kendati membatasi jumlah pengunjung dan para seniman tetap dapat berkarya di dalamnya. ARMA juga tetap dapat melaksanakan pagelaran seni di masa pandemi yakni MEGARUPA 2020 dan MENGARUPA 2021.

Kehidupan Keluarga dan Aktivitas Sehari-hari[7]

Agung Rai menikah dengan Anak Agung Rai Suartini. Pasangan ini dikaruniai 2 putra dan 1 putri. Agung Rai bersama istri dan anak-anaknya tinggal di Puri Kelodan, Peliatan, Ubud. Di sinilah rumah di mana dia tinggal, bercengkerama bersama keluarga, melepas lelah, menemukan energi baru dan juga rumah untuk mehaturkan syukur sembah kepada Tuhan.

Sehari-hari dia menghabiskan waktu antara rumah, museum, galeri dan resort (hotel). Rumah bagi Agung Rai tak hanya memiliki fungsi sebagai tempat beristirahat secara fisik setelah seharian bekerja di luar. Lebih dari itu, rumah adalah sumber energi baru untuk kemudian bisa melanjutkan aktivitasnya pada hari berikut.

Setelah melewati jalan panjang penuh perjuangan dan kini menjadi tokoh penting di bidang seni dan menjadi seorang entrepeneur sukses, Agung Rai tetap tampil sebagai pribadi sederhana dan bersahaja. Sering kali pengunjung ARMA menyangka di adalah karyawan biasa karena dengan senyum khas dan keramahannya dia sering ikut menjadi pemandu bagi pengunjung museum. Mereka terkejut setelah tahu bahwa pria itu adalah pendiri sekaligus pemilih museum yang sedang mereka kunjungi.Sikap hidup seperti itu hanya bisa dijalani karena ada keyakinan, pandangan hidup, dan falsafah yang diimani dengan kuat serta dipraktikkan dalam hidup.

Bagi Agung Rai, pengabdiannya di bidang seni adalah bagian dari Yadnya, yakni jalan melayani sesama manusia dan memuliakan Tuhan. Dia selalu menekannya pentingnya menjaga harmoni dalam hubungan dengan sesama, alam dan Tuhan. Harmoni itu tampak dalam tiap-tiap detail museum dan juga resort yang dia kelola yang menampilkan nilai-nilai budaya (manusia), penghormatan pada alam dan sembah pada Tuhan.

Penghargaan

  • Tahun 2000 Agung Rai dianugerahi penghargaan oleh Pemerintah Indonesia sebagai “Pelopor Memajukan Seni Rupa”. Penyerahan pernghargaan itu disaksikan oleh Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur). Agung Rai dinilai telah berjasa dalam memperkenalkan karya-karya seni rupa Indonesia ke dunia Internasional dan berjasa memajukan dunia seni (terutama seni rupa) berkat kegigihan, kerja keras dan displinnya mengeleksi karya seni, mengadakan pameran dan mengorganisir sejumlah kegiatan seni di dalam dan di luar negeri.
  • Tahun 2012 Agung Rai terpilih sebagai ketua Himusba (Himpunan Museum Bali) 2012-2017
  • Tahun 2016 TripAdvisor menobatkan ARMA sebagai museum terbaik Indonesia. Pilihan ditentukan oleh para wisatawan yang telah mengunjungi berbagai museum di Indonesia.

Publikasi (Buku)

  • Gung Rai, Kisah Sebuah Museum (KPG, 2013)
  • Saraswati in Bali: A Temple, A Museum and A Mas ( BAB Publishing Indonesia, 2015)
  • Agung Rai, Sang Mumpuni (Lestari Kiranatama, 2017)

Pranala luar

Referensi

  1. ^ Wawancara TV Thailand, bisa diakses di https://www.youtube.com/watch?v=Gerqr446jhs
  2. ^ Bdk. Couteau Jean & Wisatsana Warih, GUNG RAI: Kisah Sebuah Museum. Jakarta: Gramedia, 2013. Hlm. 19-26
  3. ^ Couteau Jean & Wisatsana Warih, GUNG RAI: Kisah Sebuah Museum. Jakarta: Gramedia, 2013. Hlm. 89-93
  4. ^ Couteau Jean & Wisatsana Warih, GUNG RAI: Kisah Sebuah Museum. Jakarta: Gramedia, 2013. Hlm.157-160
  5. ^ Museum Harus Masuk Kurikulum, bisa diakses di http://news.okezone.com/read/2015/12/23/65/1273289/museum-harus-masuk-kurikulum
  6. ^ Sepuluh Museum Terbaik di Indonesia, http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160919140036-269-159389/sepuluh-museum-terbaik-di-indonesia-pilihan-wisatawan/
  7. ^ Diringkas dari Couteau Jean & Wisatsana Warih, GUNG RAI: Kisah Sebuah Museum. Jakarta: Gramedia, 2013. Hlm. 173-190
Kembali kehalaman sebelumnya