Anafilaksis
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi berat yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat menyebabkan kematian.[4][5] Anafilaksis biasanya ditunjukkan dengan beberapa gejala termasuk di antaranya ruam gatal, pembengkakan tenggorokan, dispnea, muntah, pusing berasa mau pingsan, dan tekanan darah rendah. Gejala-gejala ini akan timbul dalam hitungan menit hingga jam.[1] Penyebab yang umum dari reaksi ini adalah gigitan serangga, makanan, dan obat. Penyebab lainnya dapat berupa paparan lateks. Selain itu, kasus dapat terjadi tanpa alasan yang jelas.[1] Mekanisme terjadinya anafilaksis melibatkan pelepasan mediator dari sel darah putih tertentu. Pelepasan protein ini dapat disebabkan oleh reaksi sistem imun ataupun oleh sebab lain yang tidak berkaitan dengan sistem imun.[6] Diagnosis anafilaksis dilakukan berdasarkan gejala dan tanda pada seseorang setelah terjadi paparan dengan alergen potensial.[1] Tata laksana awal anafilaksis adalah pemberian suntikan epinefrin, pemasangan infus, dan pengaturan posisi tubuh mendatar.[1][7] Dosis epinefrin tambahan dapat diberikan apabila diperlukan. Membawa injektor epinefrin otomatis dan tanda pengenal mengenai kondisi medis direkomendasikan bagi orang yang memiliki riwayat anafilaksis.[1][7] Di seluruh dunia, sekitar 0,05–2% dari populasi pernah mengalami anafilaksis pada suatu saat dalam kehidupannya. Angka ini tampaknya terus meningkat.[3] Anafilaksis lebih sering terjadi pada kalangan remaja dan wanita.[7][8] Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuno: ana yang berarti "lawan", dan phylaxis yang berarti "pertahanan".[9] Gejala dan tandaAnafilaksis biasanya memberikan berbagai gejala yang berbeda dalam hitungan menit atau jam.[10][11] Gejala akan muncul rata-rata dalam waktu 5 sampai 30 menit bila penyebabnya adalah suatu zat yang masuk ke dalam aliran darah secara langsung (intravena) dan rata-rata 2 jam jika penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi oleh orang tersebut.[12] Daerah yang umumnya terpengaruh adalah: kulit (80–90%), sistem pernapasan (70%), saluran cerna (30–45%), jantung dan pembuluh darah (10–45%), dan sistem saraf pusat (10–15%).[11] Anafilaksis biasanya melibatkan dua sistem organ atau lebih.[3] KulitGejala khas yang timbul berupa kaligata (urtikaria), gatal, wajah dan kulit kemerahan, atau angioedema pada jaringan tertentu.[13] Pada orang yang mengalami angioedema, mereka tidak merasakan gatal tetapi kulitnya terasa seperti terbakar.[12] Pembengkakan lidah atau tenggorokan dapat terjadi pada hampir 20% kasus.[14] Gejala lain yang dapat timbul adalah hidung berair dan pembengkakan konjungtiva.[15] Kulit dapat menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen.[15] PernapasanGejala pada sistem pernapasan meliputi dispnea, mengi, atau stridor.[13] Mengi biasanya disebabkan oleh spasme pada otot-otot yang menyusun bronkus.[16] Stridor timbul karena pembengkakan yang menyebabkan penyempitan di saluran napas bagian atas.[15] Suara serak, nyeri saat menelan, atau batuk juga dapat terjadi.[12] Jantung dan pembuluh darahSpasme arteri koroner dapat terjadi disertai dengan infark miokardium, gangguan irama jantung, atau henti jantung.[3][11] Penderita dengan riwayat penyakit jantung memiliki risiko lebih besar untuk mendapatkan efek anafilaksis pada jantung.[16] Spasme arteri koroner memiliki keterkaitan dengan pelepasan histamin oleh sel tertentu di jantung.[16] Meskipun lebih sering terjadi denyut jantung cepat akibat tekanan darah rendah,[15] 10% orang yang mengalami anafilaksis dapat memiliki denyut jantung yang lambat akibat tekanan darah rendah. Kombinasi antara denyut jantung lambat dan tekanan darah rendah dikenal sebagai refleks Bezold–Jarisch.[8] Penderita dapat merasakan pening atau bahkan kehilangan kesadaran karena penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah ini disebabkan oleh syok.[16] Pada kasus yang jarang, tekanan darah yang sangat rendah dapat menjadi satu-satunya tanda anafilaksis.[14] Lain-lainGejala pada lambung dan usus dapat berupa nyeri pada perut (mulas), diare, dan muntah.[13] Penderita dapat mengalami kebingungan, kehilangan kendali untuk berkemih, dan nyeri panggul yang terasa seperti mengalami kontraksi rahim.[13][15] Melebarnya pembuluh darah di otak dapat menyebabkan sakit kepala.[12] Penderita dapat juga cemas atau merasa seperti akan mati.[3] PenyebabAnafilaksis dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa asing.[17] Hal yang sering menjadi pemicu antara lain: bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan obat-obatan.[8][18] Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan dewasa muda. Obat-obatan dan gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang sering ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua.[3] Penyebab yang lebih jarang di antaranya adalah faktor fisik, senyawa biologis (seperti air mani), lateks, perubahan hormon, aditif makanan (seperti monosodium glutamat dan pewarna makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit.[15] Faktor fisik seperti olahraga atau suhu juga dapat memicu anafilaksis dengan efek langsung dari sel mast.[3][19] Anafilaksis karena berolahraga biasanya terkait dengan asupan makanan tertentu.[12] Bila anafilaksis timbul saat seseorang sedang dibius, penyebab tersering adalah obat penghambat saraf otot, antibiotik, dan lateks.[20] Pada 32–50% kasus, penyebab anafilaksis tidak diketahui.[21] Enam jenis vaksin (MMR, varicella, influenza, hepatitis B, tetanus, meningokokus) dapat juga menjadi penyebab anafilaksis.[22] MakananBanyak makanan yang dapat memicu anafilaksis, bahkan saat makanan tersebut dikonsumsi untuk pertama kali.[8] Pada budaya Barat, penyebab tersering adalah makan atau terpapar dengan kacang tanah, gandum, kacang pohon, kerang, ikan, susu, dan telur.[3][11] Di Timur Tengah, wijen sering menjadi makanan pemicu. Di Asia, nasi dan kacang arab sering menyebabkan anafilaksis.[3] Kasus yang berat biasanya disebabkan karena mengonsumsi makanan tersebut, tetapi beberapa orang mengalami reaksi yang hebat saat makanan pemicu bersentuhan dengan bagian tubuh.[8] Dengan bertambahnya usia, alergi dapat mengalami perbaikan. Pada usia 16 tahun, 80% anak dengan anafilaksis terhadap susu atau telur dan 20% anak yang pernah mengalami anafilaksis terhadap kacang dapat mengonsumsi makanan tersebut tanpa masalah.[17] ObatSetiap obat dapat menyebabkan anafilaksis. Obat yang paling umum adalah antibiotik beta-laktam (seperti penisilin) diikuti oleh aspirin dan obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS).[11][23] Apabila seseorang memiliki alergi terhadap salah satu jenis OAINS, biasanya masih dapat menggunakan jenis lainnya tanpa memicu anafilaksis.[23] Penyebab lain anafilaksis yang sering ditemukan di antaranya adalah kemoterapi, vaksin, protamin, dan obat-obatan herbal.[3][23] Beberapa obat termasuk vankomisin, morfin, dan agen radiokontras, menyebabkan anafilaksis karena degranulasi sel mast.[8] Frekuensi reaksi terhadap obat sebagian tergantung pada seberapa sering obat diberikan dan sebagian lagi tergantung pada cara kerja obat di dalam tubuh.[24] Anafilaksis terhadap penisilin atau sefalosporin hanya terjadi setelah mereka berikatan dengan protein di dalam tubuh, dan beberapa obat lebih mudah berikatan dibandingkan dengan yang lainnya.[12] Anafilaksis terhadap penisilin muncul pada satu di antara 2.000 hingga 10.000 orang yang mendapat pengobatan. Kematian terjadi pada kurang dari satu setiap 50.000 orang yang mendapat pengobatan.[12] Anafilaksis terhadap aspirin dan OAINS muncul pada kurang lebih satu di antara 50.000 orang.[12] Jika seseorang mengalami reaksi terhadap penisilin, risiko reaksinya terhadap sefalosporin akan lebih besar, tetapi masih lebih kecil dari 1: 1.000.[12] Agen radiokontras generasi lama menyebabkan reaksi pada 1% dari seluruh kasus. Agen radiokontras berosmolaritas rendah yang lebih baru menimbulkan reaksi pada 0,04% kasus.[24] BisaBisa dari sengatan atau gigitan serangga seperti Hymenoptera (semut, lebah, tawon) atau Triatominae (kissing bug) dapat menyebabkan anafilaksis.[11][25][26] Bila seseorang mengalami reaksi terhadap bisa sebelumnya, dan reaksinya meluas ke sekitar tempat sengatan, mereka memiliki risiko anafilaksis lebih besar pada masa yang akan datang.[27][28] Namun, separuh dari penderita yang meninggal karena anafilaksis tidak menunjukkan adanya reaksi meluas sebelumnya.[29] Faktor risikoSeseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksem, atau rinitis alergi memiliki risiko tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen radiokontras. Orang-orang ini tidak memiliki risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun sengatan.[3][8] Dalam suatu studi yang dilakukan pada anak-anak dengan anafilaksis, ditemukan bahwa 60% memiliki riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih dari 90% anak yang meninggal karena anafilaksis menderita asma.[8] Orang dengan mastositosis atau berasal dari status sosioekonomi yang tinggi, memiliki risiko yang lebih besar.[3][8] Makin lama waktu sejak terakhir kali terpapar agen penyebab anafilaksis, maka makin rendah risiko terjadi reaksi yang baru.[12] PatofisiologiAnafilaksis adalah suatu reaksi alergi berat yang terjadi dengan tiba-tiba dan memengaruhi banyak sistem tubuh.[5][6] Hal ini disebabkan oleh pelepasan mediator inflamasi dan sitokin dari sel mast dan basofil. Pelepasan ini biasanya merupakan suatu reaksi sistem imun, tetapi dapat juga disebabkan kerusakan pada sel-sel ini yang tidak berkaitan dengan reaksi imun.[6] ImunologiDalam mekanisme terkait reaksi imun, imunoglobulin E (IgE) berikatan dengan antigen (bahan asing yang menyebabkan reaksi alergi). IgE yang berikatan dengan antigen kemudian mengaktifkan reseptor FcεRI pada sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil bereaksi dengan melepaskan mediator inflamasi seperti histamin. Mediator ini meningkatkan kontraksi otot polos bronkus, menyebabkan pelebaran pembuluh darah, meningkatkan kebocoran cairan dari dinding pembuluh darah, dan menekan kerja otot jantung.[6][12] Diketahui pula suatu mekanisme imunologi yang tidak bergantung pada IgE, tetapi belum diketahui apakah hal ini terjadi pada manusia.[6] Non-imunologiDalam mekanisme tidak terkait reaksi imun, terdapat suatu faktor yang secara langsung merusak sel mast dan basofil, sehingga keduanya melepaskan histamin. Faktor yang dapat merusak sel ini di antaranya adalah zat kontras untuk sinar-x, opioid, suhu (panas atau dingin), dan getaran.[6][19] DiagnosisAnafilaksis didiagnosis berdasarkan tanda dan gejala yang timbul pada seseorang.[3] Jika muncul salah satu dari tiga gejala di bawah ini dalam waktu beberapa menit hingga jam setelah seseorang terpapar suatu alergen, kemungkinan besar orang tersebut mengalami anafilaksis:[3]
Gejala pada kulit meliputi: urtikaria, gatal, atau pembengkakan lidah. Kesulitan dalam bernapas meliputi: sesak napas, stridor, atau kadar oksigen yang rendah. Tekanan darah rendah didefinisikan sebagai penurunan sebesar 30% dari tekanan darah biasanya. Pada orang dewasa, tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg sering digunakan sebagai penentu tekanan darah rendah.[3] Jika seseorang memberikan reaksi berat setelah tersengat serangga atau minum obat tertentu, pemeriksaan darah untuk menguji kadar triptase atau histamin (yang dilepaskan oleh sel mast) akan sangat membantu dalam mendiagnosis anafilaksis. Namun, pemeriksaan ini tidak akan bermanfaat apabila penyebabnya adalah makanan atau bila tekanan darah tetap normal,[3] dan pemeriksaan tersebut tidak dapat menyingkirkan diagnosis anafilaksis.[17] KlasifikasiTerdapat tiga klasifikasi utama anafilaktik, yaitu syok anafilaksis, analisis bifasik, dan anafilaksin non-imun. Syok anafilaktik terjadi ketika pembuluh darah di hampir seluruh bagian tubuh melebar, sehingga menyebabkan tekanan darah rendah sampai sedikitnya 30% di bawah tekanan darah normal orang tersebut.[14] Diagnosis anafilaksis bifasik ditegakkan ketika gejala di atas muncul kembali dalam waktu 1–72 jam kemudian meskipun tidak ada kontak baru antara pasien dengan alergen.[3] Beberapa studi menyatakan bahwa kasus anafilaksis bifasik mencakup sampai dengan 20% kasus.[30] Biasanya gejala-gejala tersebut muncul kembali dalam waktu 8 jam.[8] Reaksi kedua tersebut diatasi dengan cara yang sama dengan anafilaksis awal.[11] Pseudoanafilaksis atau reaksi anafilaktoid adalah istilah lama anafilaksis yang bukan disebabkan oleh reaksi alergi, melainkan oleh kerusakan langsung pada sel mast.[8][31] Nama yang saat ini digunakan oleh Badan Alergi Dunia adalah “anafilaksis non-imun”[31] Beberapa pihak menyarankan agar istilah lama tersebut tidak digunakan lagi.[8] Tes alergiTes alergi dapat digunakan untuk memastikan penyebab anafilaksis pada seseorang. Tes alergi kulit sudah tersedia untuk beberapa jenis makanan dan bisa hewan.[17] Pemeriksaan darah untuk IgE spesifik dapat bermanfaat dalam memastikan alergi susu, telur, kacang, kacang-kacangan pohon, dan ikan.[17] Tes kulit dapat digunakan untuk mengetahui alergi penisilin, tetapi tidak dapat digunakan untuk jenis obat lainnya.[17] Jenis anafilaksis non-imun hanya dapat didiagnosis dengan pemeriksaan riwayat kesehatan orang yang bersangkutan atau pemaparan dengan bahan alergen yang pernah menyebabkan reaksi di masa lalu. Tidak ada pemeriksaan darah maupun tes kulit untuk anafilaksis non-imun.[31] Diagnosis bandingKadang kala sulit untuk membedakan anafilaksis dengan asma, pingsan, dan serangan panik.[3] Penderita asma biasanya tidak mengalami gatal atau gejala saluran cerna. Pada orang yang pingsan, kulitnya pucat dan tidak beruam. Seseorang yang mengalami serangan panik mungkin kulitnya berwarna kemerahan tetapi tidak memiliki urtikaria.[3] Penyakit lain yang juga menunjukkan gejala serupa adalah keracunan makanan yang berasal dari ikan busuk dan infeksi akibat parasit tertentu.[8] PencegahanCara yang dianjurkan untuk mencegah anafilaksis adalah menghindari segala sesuatu yang sebelumnya pernah menyebabkan reaksi. Apabila sulit dilakukan, desensitisasi dapat menjadi pilihan. Imunoterapi dengan bisa Hymenoptera efektif digunakan untuk desensitisasi hingga 80–90% pada orang dewasa dan 98% pada anak terhadap alergi lebah, tawon, tabuhan, tawon yellowjacket, dan semut api. Imunoterapi oral sebenarnya cukup efektif untuk desensitisasi pasien terhadap makanan tertentu seperti susu, telur, dan kacang-kacangan; namun cara ini sering kali menyebabkan efek samping yang tidak baik.[3] Sebagai contoh, beberapa orang mengalami gatal tenggorokan, batuk, atau pembengkakan bibir selama melakukan imunoterapi.[32] Desensitisasi juga dapat dilakukan pada alergi obat, namun sebagian besar pasien sebaiknya cukup menghindari penggunaan obat yang menyebabkan masalah tersebut. Bagi mereka yang alergi terhadap lateks, sangat penting menghindari makanan yang mengandung bahan-bahan makanan yang dapat bereaksi silang, antara lain alpukat, pisang, kentang, dan beberapa makanan lainnya.[3] Tata laksanaAnafilaksis adalah kondisi darurat medis yang memerlukan tindakan resusitasi seperti penanganan jalan napas, pemberian oksigen, cairan infus intravena dengan volume besar, serta pengawasan ketat.[11] Epinefrin adalah obat pilihan. Antihistamin dan steroid sering kali digunakan bersama dengan epinefrin.[3] Jika pasien sudah kembali normal, dia harus tetap dipantau di rumah sakit selama 2 sampai 24 jam untuk memastikan bahwa gejala tidak muncul kembali, seperti yang terjadi pada anafilaksis bifasik.[8][12][30][33] EpinefrinEpinefrin (adrenalin) adalah obat pilihan pada anafilaksis. Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk obat ini.[11] Cara penggunaan yang dianjurkan yaitu penyuntikan larutan epinefrin ke otot di bagian pertengahan paha sisi anterolateral segera setelah dicurigai terjadi reaksi anafilaksis.[3] Penyuntikan dapat diulang setiap 5 sampai 15 menit apabila orang yang bersangkutan tidak memberikan respons yang baik terhadap obat tersebut.[3] Dosis kedua biasanya diperlukan pada 16 hingga 35% kasus.[8] Pemberian lebih dari dua dosis jarang diperlukan.[3] Penyuntikan ke dalam lapisan otot lebih banyak dilakukan ketimbang suntikan ke bawah lapisan kulit, karena penyerapan obat menjadi terlalu lama.[34] Efek samping minor akibat penggunaan epinefrin antara lain tremor, kecemasan, sakit kepala, dan berdebar-debar.[3] Epinefrin mungkin tidak akan bekerja pada orang yang mengonsumsi obat penghambat reseptor beta.[8] Dalam kondisi demikian, apabila epinefrin tidak bekerja efektif, maka suntikan intravena glukagon dapat diberikan. Glukagon memiliki mekanisme aksi yang tidak melibatkan reseptor beta.[8] Jika perlu, epinefrin juga dapat disuntikkan ke pembuluh vena dengan larutan pengencer. Meski demikian, suntikan eprinefrin intravena sering dikaitkan dengan disritmia dan serangan jantung.[35] Alat penyuntik epinefrin otomatis dapat digunakan oleh orang dengan anafilaksis untuk menyuntik diri sendiri, biasanya tersedia dalam dua dosis, satu untuk dewasa atau anak dengan berat badan lebih dari 25 kg dan satu lagi untuk anak dengan berat badan 10 sampai 25 kg.[36] Tata laksana tambahanAntihistamin umumnya digunakan di samping epinefrin. Secara teori, antihistamin diduga lebih efektif namun sangat sedikit bukti yang menunjukkan hal ini. Kajian Cochrane pada tahun 2007 tidak menemukan adanya penelitian berkualitas baik yang dapat digunakan sebagai rekomendasi obat tersebut.[37] Antihistamin diyakini tidak membantu dalam mengatasi penumpukan cairan atau spasme otot saluran napas.[8] Kortikosteroid kemungkinan tidak akan memberikan pengaruh apabila orang yang bersangkutan sedang mengalami anafilaksis. Kortikosteroid dapat digunakan untuk menurunkan risiko anafilaksis bifasik, tetapi tidak jelas efektivitasnya dalam mencegah reaksi anafilaksis berikutnya.[30] Salbutamol yang diberikan melalui terapi nebulizer mungkin efektif apabila epinefrin tidak berhasil menghilangkan gejala bronkospasme.[8] Metilena biru juga sudah digunakan pada orang yang tidak responsif terhadap obat lain, karena dapat melemaskan otot polos.[8] PersiapanSeseorang yang memiliki risiko anafilaksis disarankan agar memiliki "rencana aksi alergi". Orang tua harus memberi tahu sekolah perihal alergi anak-anaknya dan langkah yang harus dilakukan apabila terjadi kondisi darurat anafilaksis.[38] Rencana aksi tersebut biasanya mencakup cara penggunaan alat penyuntik epinefrin otomatis, saran untuk mengenakan gelang peringatan medis, serta penyuluhan mengenai pencegahan bahan pemicu.[38] Imunoterapi sudah tersedia untuk beberapa pemicu tertentu. Terapi ini dapat mencegah timbulnya kejadian anafilaksis di kemudian hari. Rangkaian desensitisasi subkutan selama beberapa tahun telah diketahui efektif terhadap alergi bisa serangga penyengat, sementara desensitisasi oral efektif untuk berbagai jenis makanan.[11] PrognosisPeluang kesembuhan cukup besar apabila penyebab anafilaksis diketahui dan orang yang bersangkutan langsung mendapatkan pengobatan.[39] Meskipun penyebabnya tidak diketahui, apabila tersedia obat-obatan untuk menghentikan reaksi, maka orang tersebut biasanya cepat pulih.[12] Jika sampai terjadi kematian, biasanya diakibatkan oleh masalah pernapasan (umumnya asfiksia) atau masalah kardiovaskuler (syok).[6][8] Anafilaksis menyebabkan kematian pada 0,7–20% kasus.[12][16] Beberapa kasus kematian terjadi dalam hitungan menit.[3] Pada orang yang mengalami anafilaksis akibat aktivitas fisik umumnya bisa teratasi dengan baik, dan seiring bertambahnya usia, biasanya kejadian anafilaksis lebih jarang dan lebih ringan.[21] EpidemiologiInsidensi anafilaksis adalah 4–5 per 100.000 orang setiap tahun,[8] dengan risiko kejadian seumur hidup sebesar 0,5%–2%.[3] Jumlah tersebut tampaknya mengalami peningkatan. Jumlah orang yang mengalami anafilaksis pada 1980-an kira-kira hanya 20 per 100.000 per tahun, sementara pada 1990-an menjadi 50 per 100.000 per tahun.[11] Peningkatan ini tampaknya terjadi pada kelompok anafilaksis yang disebabkan oleh makanan.[40] Risikonya lebih besar pada kalangan remaja dan wanita.[8][11] Saat ini, anafilaksis menyebabkan 500–1.000 kematian setiap tahun (2,4 per satu juta) di Amerika Serikat, 20 kematian per tahun di Inggris (0,33 per satu juta), dan 15 kematian per tahun di Australia (0,64 satu per juta).[8] Kematian antara tahun 1970-an hingga 2000-an sudah mengalami penurunan.[41] Di Australia, kematian akibat anafilaksis yang disebabkan oleh makanan terutama terjadi pada wanita, sementara yang disebabkan oleh gigitan serangga terutama terjadi pada pria.[8] Kematian akibat anafilaksis umumnya dipicu oleh obat.[8] SejarahIstilah "aphylaxis" diciptakan oleh Charles Richet pada 1902 dan kemudian diganti menjadi "anaphylaxis" agar lebih enak didengar.[17] Dalam percobaannya, Richet menyuntikkan racun anemon laut (Actinia) pada seekor anjing sebagai upaya perlindungan. Meskipun sebelumnya anjing ini telah kebal terhadap racun tersebut, pada paparan ulang dengan dosis yang sama tiga minggu kemudian, anjing tersebut mengalami anafilaksis fatal. Dia kemudian dianugerahi Hadiah Nobel bidang Kedokteran dan Fisiologi pada 1913 berkat hasil penelitiannya dalam bidang anafilaksis.[12] Sebenarnya, reaksi anafilaksis sudah pernah dilaporkan sejak zaman kuno.[31] Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuno: ana yang berarti "lawan", dan phylaxis yang berarti "pertahanan".[42] PenelitianSaat ini masih berlangsung usaha pengembangan epinefrin sublingual yang dapat diberikan di bawah lidah untuk mengobati anafilaksis.[8] Injeksi subkutan antibodi anti-IgE omalizumab sedang diteliti sebagai metode pencegahan munculnya kembali reaksi, tetapi hasil penelitian itu belum dapat dijadikan rekomendasi.[3][43] Referensi
Pranala luarLihat entri anafilaksis di kamus bebas Wiktionary. Wikimedia Commons memiliki media mengenai Anafilaksis.
|