Ameth, Nusalaut, Maluku Tengah
Ameth, kadang dieja sebagai Amet adalah salah satu dari tujuh negeri yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan Nusalaut, Maluku Tengah, Maluku, Indonesia. Negeri ini tergolong sebagai negeri pesisir.[4] Pemerintahan Kecamatan Nusalaut berkedudukan di Ameth, menjadikan negeri ini sebagai salah satu negeri yang paling maju di pulau itu.[5] Ameth juga memiliki fasilitas yang tergolong lebih memadai dibanding negeri-negeri yang lain. Data BPS Maluku Tengah tahun 2018 menyebutkan bahwa negeri ini memiliki status sebagai negeri atau desa swasembada.[6] EtimologiAmeth mendapatkan namanya yang sekarang tatkala para pemimpin negeri ini memutuskan untuk berpindah dari negeri lama di perbukitan ke daerah pesisir. Di daerah tersebut mereka menemukan sumber air yang cukup, protein hewani dari laut, bermacam tanaman yang bermanfaat seperti kelapa dan sukun. Oleh karena itu, negeri yang baru itu diberi nama Ameth yang asal katanya berhubungan dengan kata amat dalam bahasa Indonesia. Nama Ameth dapat diartikan sebagai negeri yang berkecukupan atau negeri yang mendapat banyak berkat.[7] Negeri Ameth memiliki teun Samasuru Amalatu. Menurut kepercayaan masyarakat, istilah samasuru berasal dari gabungan kata sama yang berarti atas dasar dan suru yang berarti perintah. Sedangkan amalatu berasal dari gabungan kata ama yang berarti bapak atau negeri dan latu yang berarti raja. Samasuru Amalatu kemudian biasa diterjemahkan sebagai sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang latu (raja) yang pembentukan negerinya itu terjadi karena adanya sebuah perintah. Perintah dalam konteks ini adalah titah dari raja Negeri Titawaai yang berkedudukan paling tinggi dalam strata adat di Pulau Nusalaut.[8] SejarahPada mulanya nenek moyang orang Ameth berasal dari daerah-daerah yang jauh. Mereka adalah Maharaja Guna Pattinasirat dan Sopaheri Berhitu. Setelah pelayaran dan pengembaraan mereka menemukan tanah yang dapat dihuni di Nusalaut. Nenek moyang orang Ameth menepi dan mulai membangun daerah permukiman di bukit-bukit yang agak jauh dari pantai. Tujuan pembangunan permukiman yang jauh dari pantai adalah untuk menghindari serangan pihak luar dan peperangan.[7] Permukiman pertama yang didirikan di perbukitan itu bernama Irihatu yang merupakan negeri lama daripada Ameth. Pendirian Irihatu dipimpin oleh Maharaja Guna Pattinasirat. Di bawah kepemimpinan beliau, Negeri Lama Irihatu dibagi menjadi lima soa yaitu Soa Rumah Hitam, Rumah Putih, Hursepuny-Tarumseley, Molle-Manduapessy, dan Hatalea. Kelima soa masing-masing diperintah oleh kepala soa. Bersama dengan raja Irihatu, mereka menyusun fondasi pemerintahan yang paling pertama di Negeri Ameth.[9] Setelah pemerintahan oleh Maharaja Guna Pattinasirat, fam Berhitu yang merupakan keturunan dari Sopaheri Berhitu mengambil alih jabatan raja. Raja pertama dari fam ini adalah Sopaheri Berhitu sendiri yang kemudian digantikan oleh Pieter Tahitoe Sopaheri Berhitu. Pada masa pemerintahan Raja Berhitu II ini masyarakat Ameth berkenalan dengan ajaran Protestan. Negeri saat itu masih berada di pedalaman dan jauh dari pantai. Baru pada masa pemerintahan Pieter Tarihula Berhitu alias Raja Berhitu III seluruh permukiman masyarakat dipindahkan ke pantai, ke lokasi negeri yang sekarang.[9] Geografi dan iklimAmeth adalah negeri yang berada di pesisir pantai. Permukiman masyarakatnya dibangun menghadap ke Laut Banda. Ketinggian rata-rata bagian negeri yang menjadi hunian atau permukiman adalalah 50 m.dpl.[10] Sementara itu daerah pedalaman didominasi oleh bukit-bukit yang ditutupi hutan. Wilayah Ameth yang berada di tepian pantai menyebabkan negeri ini mempunyai iklim tropis laut dan iklim musim.[11] Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat Ameth. Ombak yang tinggi dan tak dapat diprediksi membuat nelayan-nelayan Ameth terpaksa berhenti sementara dari melaut. Ombak yang terlampau besar kadang membuat kapal-kapal yang membawa bahan bakar dan sayur-mayur serta unggas dan telur tak jadi menyambangi Ameth. Akibatnya masyarakat kekurangan logistik dan harga barang menjadi mahal sekali. Salah satu upaya yang saat ini dilakukan Negeri Ameth dalam meminimalisasi kekurangan logistik terutama sayuran adalah dengan menerapkan pertanian berkelanjutan (permakultur) dengan bekerja sama dengan USAID Apik.[12] AdministrasiAmeth merupakan ibukota Kecamatan Nusalaut. Jarak ke ibukota kabupaten di Masohi mencapai 78 km dan dapat ditempuh dengan menggunakan jalur laut.[13] Negeri ini dibagi ke dalam delapan buah sektor yang dalam bahasa lokal dikenal sebagai wijk atau wayk.[14] Sebagai sebuah negeri atau desa adat, Ameth dipimpin oleh seorang raja yang berkedudukan layaknya kepala desa. Raja Ameth bergelar sebagai tuan latu (raja). Apabila raja belum terpilih, tampuk kepemimpinan dijabat oleh pejabat negeri. Jabatan raja di Ameth dipangku oleh fam (matarumah parentah) Berhitu dan Picauly. Raja Ameth saat ini adalah Bapak Wempi Dirk Parinussa.[15] Pelantikan raja di luar matarumah parentah ini menjadi permasalahan di tengah masyarakat Ameth saat ini, karena dinilai melanggar adat dan menabrak sejumlah peraturan di negeri tersebut.[16] DemografiData BPS Maluku Tengah tahun 2018 yang merujuk data tahun 2017 menunjukkan bahwa Ameth memiliki penduduk sebesar 1.589 jiwa, terbanyak kedua di Nusalaut setelah Titawaai. Dari 1.589 jiwa, 758 jiwa di antara adalah penduduk laki-laki dan sisanya 831 jiwa adalah penduduk perempuan.[2] Pada tahun 2016 Ameth memiliki populasi sebesar 1.596 jiwa dan mencatatkan laju pertumbuhan penduduk negatif (minus) 0,44% selama periode 2016-2017.[17] Adat dan budayaAgamaKristen Protestan yang dianut oleh 100% masyarakat Ameth pertama kali disebarkan oleh misionaris Belanda. Gereja di Ameth pertama kali dibangun pada tahun 1817 dan menjadi gereja Protestan kedua yang berdiri di Nusalaut setelah Gereja Eben Haezer yang melayani jemaat Sila dan Leinitu.[18] Gereja di Ameth diberi nama Beth Eden, kadang dieja sebagai Betheden. Sebagai salah satu gereja tertua di Nusalaut, Gereja ini masih mempertahankan sifat tradisional dari bangunan tua peninggalan masa Kolonial, terutama mengenai konstruksi langkang di bagian teras yang dibuat dari kayu yang membentuk pagar dengan pola hias yang disusun secara vertikal pada dua batangan kayu yang dipasang horizontal.[18] Hal lainnya yang menarik dari konstruksi Gereja Beth Eden adalah terdapatnya dowala atau tembok tinggi dan tebal yang mengelilingi gereja. Hal ini menyerupai konstruksi rampart pada bangunan perbentengan.[18] BaileuBaileu di Negeri Ameth bernama Beihata Kapalatu yang berfungsi sebagai balai rakyat atau balai pertemuan. Dalam baileu juga diadakan acara pelantikan raja, pelantikan kepala soa, serta upacara bayar upu (upacara bawa harta).[19] Fam di Ameth
KapataKondisi sastra lisan asli Maluku Tengah yang biasa disebut kapata di kalangan masyarakat Nusalaut terbilang sangat memprihatinkan. Sebagian besar masyarakat tak lagi dapat menggunakan dan berbicara dalam bahasa Tana, baik secara aktif maupun pasif. Di antara tujuh negeri di Nusalaut, Ameth, Abubu, dan Titawaai menjadi tiga negeri yang masih memiliki penutur kapata. Para penutur tersebut umumnya sudah berusia lanjut.[22] Beberapa kapata yang ditemukan di Ameth antara lain mae turu patalaga (kapata pelantikan raja), kapata pelantikan kepala soa, mae nusu o (kapata upacara bawa harta atau bayar upu), yale patalaga (kapata muda-mudi dalam acara adat), dan kapata kedatangan moyang Negeri Ameth.[23] Lembaga dan pranata tradisionalSoaSoa adalah sebuah kelompok yang terbangun di dalam sebuah negeri dan merupakan budaya khas orang Maluku Tengah. Soa menghimpun beberapa fam dan biasanya fam-fam dalam satu soa memiliki kesamaan atau pertalian sejarah. Di Ameth ada tujuh soa. Berikut adalah soa yang ada di Ameth dan fam (matarumah) yang memegang jabatan sebagai kepala soa.[24] Soa Hatalea
Soa Hursepunny
Soa Manduapessy
Soa Rumah Putih
Soa Rumah Mete (Rumah Hitam)
Soa Salamena
Soa Soumokil
Diaspora AmethSebagian di antara masyarakat Maluku yang mengungsi dan bermigrasi ke Belanda sebagai dampak dari kekalahan Republik Maluku Selatan pada tahun 1950an berasal dari Negeri Ameth. Untuk menguatkan tali persaudaraan sesama orang Ameth di tanah rantau, maka pada tahun 1958, bertempat di Ijsseloord, Arnheim, Provinsi Gelderland, beberapa pemuda asal Ameth yang meliputi Pattinasarany, J. Molle, dan J. Kaihatu sepakat untuk mendirikan perkumpulan bagi orang Ameth. Perkumpulan tersebut kemudian dinamai sebagai Persatuan Anak-anak Samasuru Amalatu Ameth (PAASAA). Tujuan lain dari pendirian PAASAA adalah untuk mempermudah penghimpunan uang bantuan duka dan sumbangan bagi perkembangan Negeri Ameth.[25] Hubungan sosialNegeri Ameth tergolong memiliki hubungan pela yang banyak. Negeri ini mengikat pela dengan sembilan negeri yang tersebar di tiga pulau yang berbeda yaitu Ambon, Saparua, dan Seram. Sembilan negeri yang terikat pela dengan Ameth dapat dilihat dalam tabel-tabel di bawah ini.
Upacara panas pela antara Ameth dengan Soahuku terakhir dilakukan pada 28 November-2 Desember 1994 di Negeri Soahuku. Upacara ini dinilai sangat penting dan bersejarah bagi masyarakat kedua negeri sehingga sebuah buku yang bercerita mengenai sejarah hubungan kedua negeri diterbitkan dengan judul Pela Parang Ika Poro. Setahun sebelum diadakannya upacara tersebut, Eddie Supusepa membuatkan sajak yang memperingati kedekatan hubungan antara kedua negeri yang diberi nama Sadjak Bikin Panas Pela Samasuru-Lilipory.[27] Dalam upacara tersebut masyarakat Ameth dan Soahuku sepakat untuk mengembalikan larangan kawin mengawini antara masyarakat kedua negeri. Larangan kawin mengawini antara orang Ameth dan Soahuku pernah dicabut pada tahun 1932.[28] Ameth dan Soahuku merencanakan untuk mengadakan panas pela pada tahun 2004. Namun, dikarenakan konflik dan kerusuhan di Maluku yang terus berlanjut hingga tahun 2004, rencana tersebut dibatalkan.[28] Ameth seperti halnya seluruh negeri di Pulau Nusalaut, memiliki ikatan gandong dengan seluruh desa/negeri di Pulau Ambalau. Referensi
|