Ali Hanafiah
Prof. Dr. dr. Mohammad Ali Hanafiah gelar Sutan Maharaja adalah seorang dokter dan ahli farmasi Indonesia. Ia merupakan guru besar sekaligus Dekan Perguruan Tinggi Ahli Obat (cikal bakal Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada) dari September 1945 sampai September 1946.[1] Semasa pendudukan Jepang, ia ditangkap oleh Kempeitai bersama para peneliti Lembaga Eijkman pada 7 Oktober 1944 terkait Peristiwa Doktor Mochtar. Ia dibebaskan pada Januari 1945 setelah ditahan selama 105 hari.[2][3] Nama Ali Hanafiah dibadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Batusangkar, Tanah Datar, Sumatera Barat.[4] Keluarga dan kehidupan pribadiAli Hanafiah lahir di Padang Panjang pada 11 Juli 1900. Keluarganya berasal dari Nagari Lubuk Jantan, Tanah Datar. Ayahnya bernama Mohammad Yasin gelar Datuk Muntiko Rajo, seorang jaksa kepala di Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman.[5] Ali Hanafiah merupakan adik Siti Hasnah, istri Achmad Mochtar. Ia juga sepupu Abu Hanifah.[2][5] Ali Hanafiah menikah dengan Siti Syarifah, kakak Djamaloeddin, seorang ahli bedah yang memipin Rumah Sakit St. Carolus dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI). Pasangan ini memiliki anak bernama Taty Hanafiah; Luki Hanafiah, seorang pengacara;[6] dan Asikin Hanafiah, seorang ahli jantung yang menjadi guru besar Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK UI. PendidikanSebelum umur enam tahun, Ali Hanafiah sudah masuk ke sekolah dasar di Suliki. Ia dibawa oleh pamannya, Ismail, yang mengajar sebagai guru bahasa Melayu di sana. Pada umur tujuh tahun, Ali Hanafiah pindah ke Padang dan diasuh oleh keluarga Saleh Radjo Bagindo di Kampung Jawa.[1] Menjelang umur delapan tahun, ia lulus ujian Europeesche Lagere School (ELS). Di surat keterangan untuk keperluan sekolah, tahun kelahiran Ali Hanafiah ditulis menjadi 1901 demi menghindari kemungkinan tidak diterima karena umurnya "sudah melewati batas".[7] Ia lulus dari ELS pada tahun 1916. Setelah itu, ia menempuh pendidikan di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).[1] KarierAli Hanafiah diangkat sebagai dokter oleh pemerintah Hindia Belanda pada 11 September 1926. Ia bertugas di beberapa tempat di Sumatra dan Jawa seperti Surabaya, Solok, Baturaja, Malang, dan Tangerang (sejak 1939). Saat di Baturaja, ia berdedikasi membantu korban gempa bumi di Sumatera Selatan pada Juni 1933 sehingga mendapat penghargaan Bintang Perak Besar dari pemerintah Hindia Belanda.[3] Pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi pengajar farmasi di perguruan tinggi kedokteran Ika Dai Gaku (sebelumnya STOVIA) yang dibuka kembali pada 29 April 1943 setelah sempat ditutup Jepang.[8] Di sini, ia mengajar bersama dua orang pengajar Indonesia lainnya, yakni Ir. Baginda Rasad dan Ir. Surachman Cokroadisuryo. Pada 22 September 1943, ia diangkat sebagai asisten profesor Ika Dai Gaku. Pada tahun yang sama, ia juga menjadi asisten Lembaga Eijkman.[9] Pada September 1945, ia diangkat sebagai guru besar sekaligus Dekan Perguruan Tinggi Ahli Obat (PTAO), bagian dari Perguruan Tinggi Kedokteran (sebelumnya Ika Dai Gaku).[10] Namun, ia tidak lama memimpin perguruan tinggi tersebut. Pada September 1946, PTAO dipindahkan ke Klaten (kelak menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada)[3] akibat situasi Jakarta yang tidak kondusif setelah kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi NICA. Bersamaan dengan itu, posisi Ali Hanafiah sebagai Dekan PTAO digantikan oleh Sardjito.[1] Sembari menjadi Dekan PTAO, Ali Hanafiah juga diperbantukan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejak Desember 1945. Ia ditugaskan di beberapa jabatan di Kemenkes seperti Kepala Perbekalan dan Obat-Obat, Kepala Jawatan Rumah-Rumah Sakit dan Bagian Ilmu Pengetahuan, dan terakhir Kepala Direktorat Farmasi.[3] Pada 1957, ia ditugaskan menghadiri sidang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Belanda yang membahas tentang kesehatan masyarakat.[9] Ali Hanafiah pensiun pada 1957 dan selanjutnya menjadi pegawai bulanan Kemenkes. Ia ikut serta dalam berbagai badan dan panitia dalam organisasi Kemenkes serta memberi kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada 1970, ia mendapat Surat Penghargaan atas berbagai jasanya di bidang kedokteran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).[3] Referensi
|