Ali Audah
Latar Belakang KeluargaAyahnya bernama Salim Audah dan ibunya bernama Aisyah Jubran. Pada saat usia Ali Audah 7 tahun, ayahnya meninggal dunia. Saat itu, keempat saudara Ali Audah belum ada yang bekerja. Mereka diasuh oleh ibu mereka dengan sabar dan bijaksana. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ibu Ali Audah bersama dengan kelima anaknya pindah ke Kota Kewedanan. Di kota itu, ibu Ali Audah membuka restoran, tetapi tidak bertahan lama sebab restoran itu selalu merugi. Selanjutnya, Ali Audah pindah ke sebuah desa industri di dekat Surabaya. Di tempat itu, hidup mereka ditanggung oleh kakak Ali Audah yang bekerja di perusahaan tenun. Pendidikan dan KarierDi bidang pendidikan ia pernah menjadi dosen Universitas Ibnu Khaldun, Bogor dan dosen Institut Kesenian Jakarta. Di bidang penerbitan ia pernah menjadi direktur Penerbit Tintamas, pengurus IKAPI Pusat, anggota Dewan Penasehat Horison, dan ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (1974-1984). Ia pernah menghadiri beberapa konferensi internasional, di antaranya Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Baghdad, Irak (1976), Konferensi Terjemahan yang diselenggarakan UNESCO di Paris, dan Pertemuan Penerjemah Malaysia (1978).[3] Ia menulis cerpen, novel, drama. Saat pendudukan Jepang, Ali Audah menulis cerpen, kemudian cerpen itu dikirimkannya ke majalah yang terbit di Jakarta. Namun, karangannya itu tidak ada satu pun yang dimuat. Hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus berusaha semakin banyak membaca dan mengarang. Pada tahun 1946, Ali Audah mengikuti lomba mengarang sandiwara di Jawa Timur. Tanpa disangka ia menang dalam perlombaan itu. Dengan kemenangan itu, Ali Audah mencoba menulis sajak, kemudian sajak-sajaknya itu dikirimkan ke majalah Sastrawan yang terbit di Malang.[4] Setelah pindah ke Solo, ia berkenalan dengan beberapa pengarang dan seniman seperti Muhammad Dimyati. Menurutnya, Muhammad Dimyati mempunyai jasa yang sangat besar di bidang kesusasteraan dan kebudayaan. Pada tahun 1953, setelah terkena penyakit jantung dan paru-paru, Ali Audah berhenti bekerja. Semenjak itu, ia hidup dari hasil karangannya. Ali Audah mendapat hadiah pertama dalam menulis biografi dan filsafat penyair Pakistan, Muhammad Iqbal. Motivasi Ali Audah menjadi pengarang adalah karena ingin berbicara. Banyak masalah yang menekan perasaan dan pikirannya, tetapi ia tidak mengerti cara mengatakannya. Ali Audah ingin menyatakan pikiran dan perasaan yang berkecamuk di dalam pikirannya, tetapi ia tidak pandai bicara. Ali Audah lebih dikenal sebagai seorang penerjemah daripada sastrawan. Dua puluh tahun lebih ia menerjemahkan buku-buku sastra, filsafat, dan agama. Lebih lanjut, Ali Audah mengkhususkan diri dalam menerjemahkan karya sastra Arab modern. Pengkhususan itu dilakukan atas dorongan Asrul Sani. Ali Audah juga mempunyai perhatian yang besar dalam pengajaran sastra di sekolah.[5] Karya[3]Kumpulan cerpen
Drama
Novel
TerjemahanSuasana Bergema, kumpulan cerita Hamid G. As-Sahar (1959) Peluru dan Asap, kumpulan cerita karya para pengarang Aljazair (1963) Kleopatra dan Konperensi Perdamaian, kumpulan cerita (1966) Pembinaan Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, karya Iqbal; bersama Goenawan Mohaad dan Taufiq Ismail (1966) Genta Daerah Wadi, kumpulan cerita (1967) Sejarah Hidup Muhammad, karya Haikal (1972) Lampu Minyak Ibnu Hasyim, karya Yusuf Hakki (1977) Kisah-Kisah Mesir, kumpulan puisi penyair Mesir (1977) Setan dalam Bahaya (1978) Murba (1979) Theseus, novel Andre Gide (1979) Saat Lonceng Berbunyi (1982) Di Bawah Jembatan Gantung, kumpulan esai Aljazair (1983) Hari-Hari Sudah Berlalu, karya Thaha Husain (1985) Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam, karya Thaha Husain (1986) Maria Antoinette, karya Stefan Zweig (1986) Referensi
|