Al-Jawab as Sahih li man Baddala Din al-Masih
Al-Jawab as Sahih li man Baddala Din al-Masih (Jawaban yang Benar kepada Orang-orang yang Telah Menyelewengkan Agama yang dibawa oleh Sang Mesias) adalah buku yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah untuk memberi kritik terhadap ajaran-ajaran Kristen. Di dalam edisi bahasa Arab, buku ini berisi lebih dari 1400 halaman.[3] Taqi al-Din Ahmad Ibnu Taimiyah (661/1263-728/1328) atau lebih dikenal sebagai Ibnu Taimiyah adalah seorang mutakallim dari mazhab Hanbali dan juga seorang faqih.[4] Menurut seorang pakar studi Islam, David Thomas, Ibnu Taymiyya menulis tujuh buah buku yang memuat kritik terhadap agama Kristen.[5] Di antara semua karya-karya tersebut, Al Jawab al-Sahih merupakan yang paling komprehensif dan sistematis di antara tulisan-tulisan polemis lainnya yang berisi kritik dari perspektif Islam untuk agama Kristen.[6] Latar belakang dan tujuanKarya ini ditulis oleh Ibnu Taimiyah sebagai tanggapan terhadap situasi umat Muslim pada waktu itu yang resah dikarenakan sebuah surat anonim dari Siprus yang berisi kritik terhadap agama Islam.[5] Ibnu Taimiyah diketahui menerima surat tersebut pada tahun 716 H/1316 M.[5] Penulis surat tersebut adalah seorang Kristen yang tidak diketahui namanya, namun merupakan penyempurnaan dari sebuah tulisan polemik yang ditulis Paulus dari Antiokhia, uskup Kristen Melkit dari Sidon, pada akhir abad ke-12.[5] Surat dari Siprus tersebut berisi klaim dari perspektif Kristen bahwa Kekristenan adalah agama yang benar dan menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk melegitimasi klaim tersebut.[5] Nada yang digunakan di dalam surat tersebut berisi ajakan kepada umat Muslim untuk menerima agama Kristen dan meyakinkan mereka bahwa agama Islam adalah persiapan menuju agama Kristen.[5] David Thomas menyebutkan bahwa surat tersebut kemungkinan ditulis dengan tujuan yang berkaitan dengan upaya perang-perang Salib.[5] Waktu penulisannya sekitar tahun 715 H/1315 M.[5] Ibnu Taimiyah yang melihat keresahan umat Muslim berupaya menanggapi surat dari Siprus tersebut dengan menulis al-Jawab al-Sahih untuk menunjukkan kesalahan-kesalahan klaim buku itu.[5] Ibnu Taimiyah menulis buku al-Jawab al-Sahih sekitar tahun 717 H/1317 M.[7] Ibnu Taimiyah tidak menujukan al-Jawab al-Sahih kepada si pengarang anonim surat dari Siprus, melainkan kepada seluruh umat Islam supaya mereka tidak mengikuti isi surat tersebut yang akan membawa kepada jalan yang salah.[8] Karena itulah, Ibnu Taimiyah di dalam buku ini juga mengajak umat Islam untuk tidak mengikuti jalan-jalan yang ia anggap sebagai keliru di dalam Islam seperti sufisme yang telah keluar batas (ghuluw).[7][9] Isi BukuKritik terhadap Ajaran Allah TritunggalMenurut Ibnu Taimiyah, ajaran Allah Tritunggal tidak memiliki dasar yang kuat, baik dasar Kitab Suci maupun dasar filosofis-rasional.[8] Kritik tersebut berkaitan dengan argumentasi di dalam surat dari Siprus yang menyebutkan bahwa ajaran mengenai Allah Tritunggal dapat dibuktikan melalui kutipan ayat-ayat Qur’an.[8] Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah justru menunjukkan dalam buku ini bahwa ajaran Allah Tritunggal bahkan tidak memiliki basis Kitab Suci, baik Qur’an maupun Alkitab.[8] Di dalam Qur’an, jelas dikatakan bahwa Yesus adalah seorang nabi yang tidak dapat salah dan karena itu pewahyuan yang dibawa oleh Yesus pastilah koheren dengan nabi-nabi sebelum dan sesudahnya, termasuk juga Kitab Suci yang dibawanya.[8] Karena Qur’an menolak ajaran Allah Tritunggal dan juga keilahian Yesus, maka Ibnu Taimiyah berkeyakinan pasti tidak ada dasar untuk ajaran itu di dalam Kitab Suci yang dibawa oleh Yesus.[8] Baginya, ajaran mengenai ‘Bapa, Anak, dan Roh Kudus’ tidak pernah diungkapkan di dalam Kitab Suci sebelumnya (Perjanjian Lama) secara eksplisit, jadi ajaran tersebut merupakan hasil kesalahan interpretasi atau penyelewengan dari ajaran Yesus yang sebenarnya.[8] Bahkan jika Yesus sebagai nabi yang tidak dapat salah berbicara mengenai istilah ‘Bapa, Anak, dan Roh Kudus’ maka itu pastilah akan koheren dengan seluruh Kitab Suci yang diwahyukan Allah.[8] Artinya, mandat baptisan yang diungkapkan Yesus pasti memiliki makna sebenarnya yang bukan menunjuk pada pengertian Allah Tritunggal.[8] Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa contoh dari Perjanjian Lama yang mengungkapkan hubungan antara Allah dan hamba-Nya dalam metafora ayah dan anak.[8] Sebagai contoh Allah menyebut Israel sebagai anak yang sulung (Kejadian 4:22).[8] Dengan demikian Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa metafora ayah dan anak di dalam Kitab Suci berarti bahwa Allah adalah Maha Pengasih yang dekat dengan hamba-hamba-Nya lebih daripada seorang ibu dengan anaknya.[8] Sedangkan Roh Kudus, yang dikirimkan kepada para nabi dan orang-orang suci, adalah wahyu, bimbingan, dan dukungan Allah, baik dalam rupa malaikat ataupun bukan.[8] Jika ada argumentasi yang membuat pembedaan antara status Yesus sebagai Anak Allah dengan status hamba-hamba Allah lainnya sebagai anak, Ibnu Taimiyah menolak argumentasi tersebut karena berdasar kepada interpretasi alegoris (ta’wil), bukan pernyataan eksplisit.[8] Pranala luarReferensi
|