Air lindi

Kolam penampungan air lindi di Cancún, Meksiko.

Air lindi (bahasa Inggris: leachate) adalah suatu cairan yang dihasilkan dari pemaparan air hujan di timbunan sampah. Cairan ini sangat berbahaya dan beracun karena mengandung konsentrasi senyawa organik maupun senyawa anorganik tinggi, yang terbentuk dalam landfill (sistem pengelolaan sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya, dan kemudian menimbunnya dengan tanah) akibat adanya air hujan yang masuk ke dalamnya. Selain itu, cairan tersebut juga dapat mengandung unsur logam, yaitu seng (Zn) dan raksa (Hg). Air lindi dalam kehidupan sehari-hari dapat dianalogikan seperti seduhan teh yang membawa materi tersuspensi dan terlarut dari produk degradasi sampah. Cairan itu dapat diproses menjadi biogas dan pupuk cair. Hal ini disebabkan karena air tersebut mengandung berbagai macam bahan organik, yaitu nitrat dan mineral.

Definisi

Purwanti yang melakukan penelitian air lindi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor mengemukakan bahwa air lindi merupakan suatu cairan beracun hasil ekstraksi bahan terlarut maupun tersuspensi dengan kandungan polutan tinggi, yang dihasilkan dari pemaparan air hujan,[1] saluran drainase, air tanah, maupun pembusukan di timbunan sampah[a] yang berada di sekitar Tempat Pembuangan Sampah (TPS).[2][3] Sejalan dengan Purwanti, Larasati dan beberapa mahasiswa lain dari Universitas Brawijaya mendefinisikan air lindi sebagai cairan yang dihasilkan sebagai akibat dari perkolasi air hujan melalui sel sampah, proses biokimia dalam sel sampah, dan kadar air yang melekat di sampah itu sendiri.[4]

Ali, staf pengajar di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, menambahkan bahwa cairan berwarna hitam pekat ini[5][6] mengandung mineral, zat organik, dan zat anorganik yang tinggi jika hujan turun.[7] Namun, resapan air lindi yang berada di bawah timbunan sampah berpotensi mencemari sumber air dalam tanah dan lingkungan sekitarnya[8] apabila dibiarkan begitu saja, termasuk bagi manusia.[6][9][10][11] Untuk mengurangi kadar bahayanya, cairan tersebut harus diolah dari suatu unit pengolahan aerobik atau anaerobik dan diketahui kualitasnya sebelum dibuang ke lingkungan.[12][13][14] Faktor lain yang menyebabkan pengolahan air lindi tidak boleh dilakukan sembarangan adalah tingginya kadar COD dan amonia yang bisa mencapai ribuan mg/L.[15]

Sebagai salah satu dosen di Universitas Hasanuddin yang melakukan penelitian mengenai air lindi, Ngatimin dan Syatrawati menyebutkan bahwa beberapa tempat yang berpotensi menghasilkan air lindi adalah TPA[b] (produknya berupa limbah organik maupun anorganik), perumahan (produknya berupa limbah rumah tangga, yaitu plastik, sisa makanan, dan sisa sayuran), pasar tradisional (produknya berupa limbah organik dari sayur-sayuran, buah-buahan, dan sisa daging yang membusuk), lahan pertanian (produknya berupa limbah sisa panen dan sisa bahan kimia/pestisida), serta industri (produknya berupa sisa pengolahan limbah kimia).[14][16]

Kandungan

Sampah yang tertimbun di lokasi TPA mengandung zat organik maupun anorganik. Apabila hujan turun, akan menghasilkan air lindi dengan kandungan mineral yang tinggi.

Air lindi merupakan cairan terkontaminasi yang mengandung banyak material terlarut atau terendapkan.[14][17] Karakteristik dari cairan tersebut tergantung dari proses yang terjadi dalam landfill[c] di setiap TPA.[18] Adapun kandungannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis sampah terdeposit, jumlah curah hujan di daerah TPA, dan kondisi spesifik tempat pembuangan tersebut.[19]

Menurut penelitian bersama yang dilakukan oleh Daryat, umumnya toksisitas cairan ini berasal dari kandungan senyawa organik (hidrokarbon dan sulfat), anorganik (natrium, kalium, kalsium, magnesium, klor, ortofosfat, fenol, dan logam berat beracun),[d] serta sejumlah bakteri patogen yang terkandung di dalamnya. Selain itu, beberapa genus bakteri aerob yang dapat muncul di dalamnya, yaitu streptococcus, escherichia, pseudomonas, dan proteus.[20] Cairan tersebut juga dapat mengandung mikrob parasit, seperti kutu air (Sarcoptes sp) yang menyebabkan gatal-gatal di kulit.[21]

Selain mengeluarkan bau busuk yang berasal dari hidrogen sulfida, Sartohadi dan pakar lain yang melakukan penelitian mengenai cairan tersebut di sekitar TPA Piyungan turut memperjelas bahwa air lindi mengandung zat padat halus, yaitu ortofosfat dan seng.[22] Unsur kimia ini mudah bereaksi di dalam air dan menjadi penyebab utama pencemaran sumber air dalam tanah.[23][24] Konsentrasi dari komponen-komponen tersebut dapat mencapai 1000–5000 kali lebih tinggi daripada konsentrasi di dalam air tanah.[15]

Parameter

Kualitas

Menurut Adam, faktor utama yang mempengaruhi kualitas air lindi adalah keberagaman komposisi sampah. Keberagaman tersebut dapat terjadi di limbah padat domestik dibandingkan dengan limbah padat yang berasal dari industri. Secara umum, magister program studi teknik lingkungan Universitas Indonesia tersebut menyimpulkan bahwa keberagaman kualitas air lindi akan sangat tinggi apabila komposisi sampah didominasi oleh sampah yang mudah membusuk.[17] Kualitas gas dan cairan tersebut yang terbentuk juga sangat bergantung pada waktu.[25] Kandungan bahan organik serta bahan pencemar di air lindi yang masih baru lebih tinggi dibandingkan dengan air lindi yang telah lama dalam landfill.[26] Pada tahap awal akan banyak dijumpai senyawa organik dengan berat molekul yang kecil, yaitu Chemical Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD),[e] dan amonia yang terkandung di dalam cairan itu. Namun, senyawa-senyawa tersebut akan mengalami perubahan secara bertahap pada tahun-tahun berikutnya. BOD berkurang lebih cepat dibandingkan dengan COD, karena BOD tersusun dari zat organik yang mudah terdekomposisi oleh berbagai bakteri yang ada di TPA.[27] Nilai BOD dan COD yang rendah membuat pengolahan cairan ini sulit dilakukan secara biologis.[28] Sependapat dengan Adam, Ali dan Purwanti menengarai faktor lain yang mempengaruhi kualitas air lindi adalah suhu lingkungan. Suhu berpengaruh terhadap perkembangan mikroorganisme dan keberlangsungan reaksi kimia.[2][25] Suhu yang dingin di sekitar landfill akan mengurangi produksi cairan tersebut dan dapat menghambat beberapa reaksi kimia di dalamnya.[29]

Selain faktor yang disebutkan di atas, Ali menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas air lindi adalah kelembapan landfill. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa kelembapan landfill sangat penting untuk proses biodegradasi sampah dan dalam proses pelarutan pencemar. Kualitas cairan air lindi yang dihasilkan dari sampah yang ditimbun di daerah beriklim kering akan lebih baik jika dibandingkan dengan dari sampah yang ditimbun di daerah beriklim basah.[30][31] Selain itu, infiltrasi air hujan juga dapat membawa kontaminan dari tumpukan sampah dan memberikan kelembapan yang dibutuhkan bagi proses penguraian biologis dalam pembentukannya.[8][32] Meskipun sumber dari kelembapannya kemungkinan dibawa oleh sampah masukannya, tetapi sumber utama dari pembentukannya adalah adanya infiltrasi air hujan.[f] Jumlah presipitasi[g] yang tinggi dan sifat timbunan yang tidak solid akan mempercepat pembentukan dan peningkatan kualitas yang dihasilkan. Faktor terakhir yang mempengaruhi kualitas cairan tersebut adalah ketersediaan oksigen. Unsur ini diperlukan bagi sampah yang mudah terdekomposisi dan keberadaannya di landfill anaerobik hanya terbatas pada fase awal. Ketika pelapisan tanah penutup sudah dilakukan, oksigen di dalam landfill akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu.[29]

Kuantitas

Rezagama dan peneliti lain dari Universitas Diponegoro menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi kuantitas air lindi adalah aspek operasional yang diterapkan, yaitu desain lapisan tanah penutup dan kemiringan permukaan atau kondisi geografis landfill, sehingga kuantitasnya bervariasi dan fluktuatif.[33] Senada dengan penelitian bersama yang dilakukan oleh Rezagama, Adam menambahkan bahwa kuantitas cairan tersebut turut dipengaruhi oleh intrusi air tanah.[34] Hal ini disebabkan karena landfill terkadang diletakkan di bawah permukaan tanah.[8] Volume yang terbentuk akan semakin meningkat apabila intruisi air ke dalam sistem landfill juga semakin tinggi. Dia juga menyimpulkan bahwa air lindi akan lebih sedikit terbentuk di landfill yang terdiri atas sampah kering. Terakhir, kuantitasnya dipengaruhi oleh desain lapisan penutup. Lapisan penutup yang digunakan harus dirancang sebaik mungkin untuk mengurangi pembentukan air lindi pasca pengoperasian landfill.[35] Selain harus memiliki permeabilitas yang rendah, lapisan tanah penutup sebaiknya ditanami oleh vegetasi yang berfungsi untuk menyerap cairan tersebut yang masuk ke dalam landfill.[36][37]

Pengelolaan

Salah satu contoh pengolahan air lindi di Seneca Landfill, Evans City, Pennsylvania.

Berbagai teknologi pengolahan air lindi telah dilakukan, baik yang berbasis proses fisika, kimia, maupun biologi, tetapi sampai saat ini sebagian besar TPA di Indonesia belum mampu mengolah limbah cairan tersebut sesuai standar baku mutu buangannya.[35][38] Usaha pengelolaan cairan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu mencegah air meresap ke dalam timbunan sampah dengan mengisolasinya menggunakan lapisan tanah penutup, melakukan pemilihan sistem dasar lahan yang kedap air, mengalirkan cairan yang terkumpul di dasar lahan menuju ke bangunan pengolah menggunakan saluran sekunder pengumpul, serta menurunkan kadar kandungan pencemar di dalamnya agar dapat dibuang ke saluran pembuangan air terdekat.[27] Selain cara-cara tersebut, Hadisuwito dan Artomo mengemukakan bahwa cairan yang dihasilkan dari timbunan sampah juga bisa digunakan sebagai biogas dan pupuk kompos cair yang bermanfaat bagi tanaman.[39][40][41] Air lindi yang akan dimanfaatkan menjadi biogas maupun pupuk kompos cair di dalam proses produksinya akan ditambahkan bahan kimia EM-4[h] dan diendapkan di dalam tempat tertutup selama 2–3 hari.[42]

Biogas

Salah satu cara untuk mendapatkan biogas dari air lindi adalah proses anerobik digestion. Tahap pertama dalam proses ini adalah material organik yang berasal dari timbunan sampah yang telah menjadi cairan akan didegradasi menjadi asam lemah dengan bantuan bakteri pembentuk asam. Bakteri ini akan menguraikan sampah di tingkat hidrolisis dan asidifikasi. Hidrolisis adalah penguraian senyawa kompleks atau senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, dan karbohidrat menjadi senyawa yang sederhana. Adapun asidifikasi adalah pembentukan asam dari senyawa sederhana. Setelah material organik berubah menjadi asam, tahap kedua dari proses anaerobik digestion adalah pembentukan gas metana dengan bantuan bakteri pembentuk metana seperti methanococus, methanosarcina, dan methano bacterium.[43]

Proses pembentukan metana dalam landfill melibatkan reaksi yang kompleks, sehingga laju pembentukannya akan bervariasi di antara landfill yang lain. Laju maksimal dapat dicapai ketika kondisi lingkungan mencapai kondisi optimal, yaitu pH mendekati netral, kelembapan yang cukup, serta suhu yang stabil. Unsur yang mengganggu dalam proses ini adalah kehadiran oksigen yang akan menghentikan reaksi anaerobik menjadi aerobik.[43]

Resirkulasi

Air lindi memerlukan perlakuan yang baik, yaitu dengan menghilangkan kandungan inorganik di dalamnya.[44] Setelah kandungan tersebut dapat dihilangkan atau dikurangi, cairan ini kemudian dapat diolah lebih lanjut untuk menghilangkan kadar kandungan organiknya. Pengolahannya dapat dilakukan dengan berbagai alternatif, misalnya resirkulasi air lindi kembali ke dalam landfill. Metode pengolahan ini dapat meningkatkan laju dekomposisi kandungan organik menjadi biogas hingga sekitar 70%. Resirkulasi dapat dilakukan pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan, cairan tersebut harus diolah lebih lanjut untuk mengurangi volumenya.[45]

Limbah biologis

Pengolahan ini juga dikenal dengan pengolahan limbah secara kimiawi. Pengolahan tersebut biasa dilakukan dengan menggunakan lumpur aktif yang berfungsi mendegradasi kandungan organik, yang terdapat di dalam air lindi.[46] Setelah kandungan organik di dalam cairan itu turun drastis, dapat dilakukan pemurnian kembali dengan menggunakan alat filtrasi. Air keluaran yang diharapkan dari pengolahan semacam ini dapat langsung dibuang ke lingkungan karena tidak berbahaya bagi lingkungan.[47]

Penggunaan membran

Selain digunakan untuk mengurangi kekeruhan atau turbiditas, pengolahan dengan membran dimaksudkan untuk mengurangi kadar COD, BOD, dan kandungan logam di air lindi. Pada umumnya, diperlukan pengolahan bertahap untuk menghasilkan limbah yang memenuhi syarat baku mutu limbah, seperti bioreaktor dengan membran atau integrasi antara ultrafiltrasi dan karbon aktif.[48]

Dampak

Air lindi yang dihasilkan oleh TPA Bantar Gebang pernah mencemari sumur warga sekitar.

Secara sepintas, metode landfill relatif mudah dilakukan dan dapat menampung sampah dalam jumlah yang besar. Namun, anggapan ini kurang tepat karena landfill dapat menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan.[49] Masalah utama yang sering muncul adalah bau dan pencemaran air lindi.[50][51] Selain itu, gas metana dari landfill yang tidak dimanfaatkan dengan baik akan menyebabkan efek pemanasan global, bahkan dapat meledak jika mampat di dalam tanah.[52] Hal inilah yang menyebabkan diperlukan adanya unit pengolahan air lindi dan biogas yang baik dalam sistem landfill.[53]

Sembiring dan Muntalif manambahkan bahwa dampak lain yang ditimbulkan oleh cairan tersebut adalah pencemaran air permukaan dan air bawah tanah yang berada di sekitarnya, karena umumnya cairan itu mengandung nilai BOD sebesar 2.000–30.000 mg/L dan COD 3.000–60.000 mg/L.[54][55] Beberapa kasus pencemaran air lindi di Indonesia yang berhasil dicatat oleh Usman dan Santosa adalah puluhan tambak udang yang gagal panen di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, pencemaran sumur warga di sekitar TPA Bantar Gebang, dan pencemaran aliran Kali Asem.[10][56]

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Sampah merupakan produk samping dari aktivitas sehari-hari manusia. Apabila tidak dikelola dengan baik, sampah akan menumpuk semakin banyak. Menurut Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, definisi dari sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat. Sumber sampah antara lain tempat-tempat komersil, pabrik atau industri, rumah tangga, kantor, intitusi umum, pemotongan hewan, selokan, tangki septik, dan lain-lain (Purwanti 2014, hlm. 57–58).
  2. ^ Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia, khususnya limbah domestik, kebanyakan menggunakan metode open dumping dengan cara ditumpuk dalam suatu daerah tertentu yang terbuka dan dapat diakses oleh siapa pun. Umumnya, TPA tidak mempunyai penutup, sehingga tempat tersebut akan menghasilkan air lindi saat hujan tiba (Ngatimin & Syatrawati 2019, hlm. 16).
  3. ^ Landfill adalah suatu fasilitas fisik yang digunakan sebagai tempat pemrosesan akhir sampah. Pembuangan sampah ke dalam tanah merupakan cara yang paling sering dijumpai dalam pengelolaan limbah padat. Landfilling diperlukan karena pada dasarnya pengurangan limbah di sumber, daur ulang, atau minimalisasi limbah padat tidak dapat dilakukan secara keseluruhan, sehingga pasti ada sisa sampah yang seharusnya diolah (Adam 2015, hlm. 35).
  4. ^ Dalam senyawa organik maupun anorganik terdapat unsur-unsur yang bernilai nutrisi lebih untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme (Daryat, dkk 2017, hlm. 69).
  5. ^ Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik secara biologis dan kimiawi, baik oleh organisme maupun proses-proses kimia perairan (Ulfah, dkk 2017, hlm. 106).
  6. ^ Ramadhan bersama dengan peneliti lain dari Universitas Gadjah Mada yang melakukan penelitian pencemaran air tanah di sekitar TPA Piyungan menyebutkan bahwa aliran air tanah bergerak dari TPA Piyungan menuju kawasan permukiman penduduk, sehingga dapat membahayakan kesehatan masyarakat sekitar karena air hujan yang jatuh dan meresap ke tanah melewati tumpukan sampah terlebih dahulu sebelum bergerak menuju kawasan permukiman (Ramadhan, dkk 2019, hlm. 4).
  7. ^ Hujan merupakan bentuk presipitasi yang paling umum dan paling sering dijumpai. Diameter air hujan bervariasi antara 2–5 mm (Hariyanto, dkk 2019, hlm. 100).
  8. ^ EM-4 merupakan suatu cairan berwarna kecokelatan dan beraroma manis asam (segar), yang di dalamnya berisi campuran beberapa mikroorganisme hidup yang menguntungkan bagi proses penyerapan atau persediaan unsur hara dalam tanah. Salah satu pengaruhnya yang menguntungkan adalah meningkatkan manfaat bahan organik sebagai sumber pupuk (Sutanto 2002, hlm. 85).

Rujukan

  1. ^ Jati, Yusuf Waluyo (25 Oktober 2016). "Teknologi: Inovasi Pengolahan Air Lindi Tembus Final Olimpiade Sains". Bisnis.com. Diakses tanggal 10 November 2019. 
  2. ^ a b Purwanti (2014), hlm. 57
  3. ^ Hakim, Johansyah (30 April 2013). "Kolam Air Lindi TPA Bocor". Protokol dan Komunikasi Publik Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-14. Diakses tanggal 15 November 2019. 
  4. ^ Larasati, dkk (2015), hlm. 45
  5. ^ Arifianto, Bambang (30 Agustus 2018). "Air Lindi TPA Cipayung Dibuang ke Kali Pesanggrahan". Pikiran Rakyat. Diakses tanggal 10 November 2019. 
  6. ^ a b Liputan6 (18 November 2015). "Kelola Sampah dengan Baik agar Tak Ganggu Kesehatan". Liputan6.com. Diakses tanggal 10 November 2019. 
  7. ^ Ali (2011), hlm. 4
  8. ^ a b c Ramadhan, dkk (2019), hlm. 4
  9. ^ Setyojati, Randhat (24 Mei 2019). "Limbah Rumah Tangga serta Penanganannya". Mesin Pencacah Plastik. Diakses tanggal 10 November 2019. 
  10. ^ a b Buana, Gana (1 Desember 2018). "Aliran Kali Asem Diduga Tercemar Air Lindi TPA Sumur Batu". Media Indonesia. Diakses tanggal 10 November 2019. 
  11. ^ Ngatimin & Syatrawati (2019), hlm. 16–17
  12. ^ Daryat, dkk (2017), hlm. 68
  13. ^ Hadisuwito (2007), hlm. 4
  14. ^ a b c Ngatimin & Syatrawati (2019), hlm. 17
  15. ^ a b Permana, Rizky Wahyu (23 Agustus 2016). "Air Sampah Ternyata Bisa Dimanfaatkan Sebagai Alternatif Energi". Merdeka.com. Diakses tanggal 11 November 2019. 
  16. ^ Purwanti (2014), hlm. 58
  17. ^ a b Adam (2015), hlm. 41
  18. ^ Sari & Afdal (2017), hlm. 93
  19. ^ Ali (2011), hlm. 1
  20. ^ Daryat, dkk (2017), hlm. 69
  21. ^ Malita, dkk (2015), hlm. 82
  22. ^ Sartohadi, dkk (2005), hlm. 17
  23. ^ Arief (2016), hlm. 84
  24. ^ Takwanto, dkk (2018), hlm. 12
  25. ^ a b Ali (2011), hlm. 10
  26. ^ Adam (2015), hlm. 41–42
  27. ^ a b Purwanti (2014), hlm. 60
  28. ^ Rezagama, dkk (2016), hlm. 79
  29. ^ a b Adam (2015), hlm. 42
  30. ^ Ali (2011), hlm. 9–10
  31. ^ Novianty, dkk (2015), hlm. 241
  32. ^ Arief (2016), hlm. 82–83
  33. ^ Rezagama, dkk (2016), hlm. 78–79
  34. ^ Adam (2015), hlm. 42–43
  35. ^ a b Rezagama, dkk (2016), hlm. 78
  36. ^ Adam (2015), hlm. 43
  37. ^ Arief (2016), hlm. 83
  38. ^ Purwati & Surachman (2007), hlm. 78
  39. ^ Sanjiwani, Wira (24 Juli 2017). "Limbah Air Leachate Dapat Dijadikan Pupuk Cair". Bali Post. Diakses tanggal 11 November 2019. 
  40. ^ Hadisuwito (2007), hlm. iv
  41. ^ Artomo (2015), hlm. 50
  42. ^ Effendi, Zainal (16 Juni 2015). "Terobosan di Rumah Kompos, Olah Sampah Jadi Energi Listrik". detikcom. Diakses tanggal 11 November 2019. 
  43. ^ a b Arief (2016), hlm. 86
  44. ^ Syamsudin, dkk (2007), hlm. 70
  45. ^ Arief (2016), hlm. 84–85
  46. ^ Syamsudin, dkk (2007), hlm. 69
  47. ^ Arief (2016), hlm. 85
  48. ^ Arief (2016), hlm. 85–86
  49. ^ Aditya, Ivan (16 Juli 2019). "Lindi TPAS Banyuroto Dikeluhkan Warga". Kedaulatan Rakyat. Diakses tanggal 14 November 2019. 
  50. ^ Sutisna, Nanang (10 Maret 2003). "Air Lindi dari Saluran Siluman". Tempo.co. Diakses tanggal 14 November 2019. 
  51. ^ Yolanda, Friska (3 Juli 2019). "Tetesan Air Lindi Truk Sampah Resahkan Warga Bekasi". Republika. Diakses tanggal 14 November 2019. 
  52. ^ Yenita & Siprana (2015), hlm. 5
  53. ^ Arief (2016), hlm. 83-84
  54. ^ Sembiring & Muntalatif (2017), hlm. 2
  55. ^ Herison (2009), hlm. 1–2
  56. ^ Usman & Santosa (2014), hlm. 99

Daftar pustaka

Buku

  • Ali, Munawar (2011). Rembesan Air Lindi (Leachate): Dampak Kepada Tanaman Pangan dan Kesehatan (PDF). Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur Press. ISBN 978-602-9372-44-1. 
  • Arief, Latar Muhammad (2016). Pengolahan Limbah Industri: Dasar-Dasar Pengetahuan dan Aplikasi di Tempat Kerja. Yogyakarta: Andi. ISBN 978-979-2955-45-3. 
  • Artomo (2015). Halaman Hijau: Cara Bijak dan Cerdas Mengelola Lingkungan dari Rumah. Jakarta: Agro Media Pustaka. ISBN 978-979-0065-51-2. 
  • Hadisuwito, Sukamto (2007). Membuat Pupuk Kompos Cair. Jakarta: Agro Media Pustaka. ISBN 978-979-0061-16-3. 
  • Hariyanto, Sucipto, dkk (2019). Lingkungan Abiotik (Jilid 1). Surabaya: Airlangga University Press. ISBN 978-602-7924-95-6. 
  • Ngatimin, Sri Nur Aminah; Syatrawati (2019). Teknik Menanggulangi Pencemaran Tanah Pertanian di Kota dan Desa. Yogyakarta: Leutika Prio. ISBN 978-602-3717-09-5. 
  • Sutanto, Rachman (2002). Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 978-979-2101-86-7. 

Tesis

Jurnal

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya