Air bah (Nuh)Air bah pada zaman Nuh ("Air bah raksasa"; bahasa Inggris: Great Deluge) adalah sebuah cerita tentang banjir bandang yang ditemukan di dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Al-Qur'an.[1] Ceritanya mengisahkan tentang keputusan Tuhan untuk mengembalikan Bumi ke keadaan sebelum terjadinya penciptaan yang kondisinya kacau balau dengan air, lalu membangunnya kembali sedari awal.[2] Banjir besar yang meliputi seluruh bumi seperti yang dikisahkan dalam cerita ini tidak sesuai dengan temuan fisik atas geologi, paleontologi, dan distribusi spesies secara global.[3][4][5][6][7][8][9][10] Cabang dari pembelajaran Kreasionisme yang dikenal dengan Geologi Banjir adalah sebuah upaya pseudosains untuk mendukung klaim kalau banjir global tersebut memang pernah terjadi.[11] Kisah banjir bandang Nuh memiliki kemiripan yang sangat kuat dengan beberapa bagian dari Kisah Utnapishtim pada Epos Gilgamesh, yang dituliskan lebih awal dari sumber-sumber Samawi. SumberNarasi air bah adalah bagian dari 11 bab pertama dari Kitab Kejadian, yang diberi kategori "kisah sejarah purba".[12] Bab-bab ini membentuk bagian pengantar untuk narasi patriarki yang ada pada bab-bab berikutnya, meskipun hanya terdapat sedikit hubungan di antaranya. Isi dari bab-bab ini seperti dongeng dan legenda.[13][12][14] Sebagai contoh, nama karakter dan geografinya—Adam ("Manusia") dan Hawa ("Hidup"), Tanah Nod ("Mengembara"), dan seterusnya—adalah berupa nama-nama simbolik ketimbang nama-nama yang realistis, dan sebagian besar narasi terdiri dari daftar "pengalaman pertama". Seperti pembunuhan pertama, anggur pertama, pembangun kerajaan pertama, dan seterusnya.[15] Beberapa tokoh, tempat dan peristiwa yang disebutkan dalam Kitab ini disebutkan di tempat lain dalam Alkitab.[15] Hal ini membuat para ahli menganggap bahwa kisah dalam bab-bab ini membentuk susunan akhir yang ditambahkan ke Kitab Kejadian untuk dijadikan sebagai bagian pendahuluan.[16] Salah satu pendapat ekstrim mengatakan bahwa kisah ini adalah produk dari periode Hellenistik, yang mana berarti penulisan kisah ini terjadi tidak lebih awal dari dekade-dekade pertama di abad ke-4 SM;[17] Di lain pihak, sejumlah ahli yang lain menilai sumber Yahwis ditulis pada abad ke-6 SM, yakni pada masa sebelum dikontrolnya Israel oleh Persia, konklusi ini diambil dikarenakan di dalam kisah "sejarah purba" terdapat banyak pengaruh Babilonia dalam bentuk mitos.[18][a] Kisah banjir Nuh adalah dua versi cerita yang digabungkan.[19] Yang mengakibatkan banyak rinciannya kontradiktif, seperti berapa lama air bah-nya berlangsung (40 hari menurut Kejadian 7:17, 150 hari menurut Kejadian 7:24), berapa banyak hewan yang harus dibawa ke dalam Bahtera (dari segala yang hidup masing-masing satu pasang menurut Kejadian 6:19, sedangkan menurut Kejadian 7:2 adalah tujuh pasang untuk masing-masing hewan yang halal dan sepasang untuk yang haram), dan mengenai apakah Nuh melepaskan burung gagak yang "pergi ke sana kemari sampai air mengering" atau seekor burung merpati yang pada kesempatan ketiga melakukannya "tidak kembali kepadanya lagi," atau mungkin keduanya.[20] Terlepas dari kontradiksi pada detail-detail ini, cerita ini membentuk satu kesatuan yang utuh (beberapa ahli melihatnya memiliki "struktur kiastik", yakni sebuah struktur sastra di mana butir pertama disesuaikan dengan butir yang terakhir, yang kedua dengan yang kedua terakhir, dan seterusnya),[b] dan banyak upaya telah dilakukan untuk menjelaskan kesatuan ini, termasuk upaya untuk mengidentifikasi mana dari kedua sumber ini yang lebih awal yang kemudian mempengaruhi yang lainnya.[21][c] Narasi tentang banjir Nuh dalam Kitab Kejadian sebagian besar terdiri dari Sumber Yahwis dan Sumber Keimaman; sedangkan Sumber Elohis yang kemudian digabungkan dengan narasi Yahwis tampaknya tidak memiliki narasi yang berkaitan dengan peristiwa yang mendahului perselisihan antara Sarah dan Hagar.[22] Narasi Yahwis, yang berabad-abad lebih tua dari sumber Keimaman,[23] tampaknya memiliki kemiripan yang sangat kuat dengan mitos air bah dari Epos Gilgamesh: Setelah ditemukan oleh Yahweh (Tuhan) sebagai orang yang benar di dunia yang penuh dengan kejahatan, Nuh membangun Bahtera atas perintah-Nya. Dia menerima instruksi tentang jumlah hewan yang harus dibawa (tujuh hewan dan unggas yang halal, tetapi dua dari hewan yang haram). Aliran deras selama seminggu menyebabkan Air Bah, yang berlangsung selama empat puluh hari, setelah itu Nuh melepaskan seekor merpati seminggu sekali selama empat minggu sampai merpati itu gagal kembali. Nuh menganggap ini berarti bahwa burung itu akhirnya menemukan tanah kering untuk bersarang. Sehingga dia memimpin keluarganya keluar dari Bahtera, di mana dia membangun sebuah altar untuk Yahweh, mendorong Sang Ilahi untuk membentuk sebuah perjanjian dengannya. Sedangkan Sumber Keimaman yang sebagian besar berfungsi sebagai alat untuk mempromosikan pengaruh Tuhan secara keseluruhan dalam kejadian tersebut, menyisipkan narasi di mana Tuhan berbicara langsung kepada Nuh dan memuji kebajikannya, sebelum akhirnya bersumpah akan membuat perjanjian dengannya dan memberikan instruksi yang ketat mengenai struktur Bahtera-nya. Tuhan kemudian memerintahkan Nuh untuk membawa masing-masing dua ekor yang unggul dari hewan-hewan untuk dibawa ke Bahtera-nya, meskipun dikarenakan teks sumber Keimaman tidak pernah benar-benar menceritakan Nuh melakukannya, hal ini segera dilanjutkan dengan klaim kontradiktif dari sumber Yahwis di mana Nuh membawa tujuh ekor untuk sebagian besar hewan dan dua ekor untuk beberapa. Sumber Keimaman kemudian menceritakan bahwa air bah yang berlangsung selama 150 hari, tanpa menjelaskan bagaimana airnya bisa naik seperti yang diceritakan sumber Yahwis—meskipun kemudian menjelaskan bahwa Tuhan menutup jendela cakrawala dan jurang maut untuk meredakan air, yang menyiratkan bahwa detail-detail ini bersumber darinya juga. Pada akhirnya, di tempat peristirahatan Bahtera, yang dikenal sebagai pegunungan Ararat, Tuhan memberitahu Nuh untuk memerintahkan penghuni Bahtera untuk turun.[24] Secara ringkas, narasi Yahwis yang 'asli' tentang Kisah Air Bah ini cukup sederhana; terjadi hujan dalam seminggu yang dilanjutkan dengan banjir empat puluh hari yang kemudian hanya membutuhkan waktu seminggu untuk surut untuk menyediakan panggung bagi Nuh untuk membentuk perjanjian dengan Tuhan. Sumber Keimaman lah yang menambahkan lebih banyak angka fantastis, seperti banjirnya berlangsung 150 hari, yang airnya berasal dari tangan Tuhan di langit dan di bumi, dan membutuhkan waktu sepuluh bulan untuk akhirnya berhenti. Gilbert Christopher berpendapat bahwa penggambaran sifat Yahweh yang pikiran dan suasana hatinya gampang berubah dan agak lugu di Sumber Yahwis jelas sangat berbeda dari sumber Keimaman yang menggambarkan Yahweh sebagai sosok yang agung, transendental dan berbudi tinggi.[25] Mitologi perbandinganMitos air bah Nuh dianggap terinspirasi dari Kisah banjir bandang yang serupa yang berasal dari Mesopotamia.[26] Kisah dari Mesopotamia memiliki tiga versi berbeda, yakni epos berbahasa Sumeria tentang Ziusudra; dan sebagai episode dalam epos-epos Babilonia yakni Atrahasis dan Gilgamesh.[27] Penyiratan kisah air bah juga ditemukan dalam Daftar Raja Sumeria dan Instruksi Shurrupak. Yi Samuel Chen Berpendapat bahwa narasi ini ditambahkan selama Periode Babilonia Lama, sebagai analisa atas mengapa teks-teks sebelumnya tidak mengandung mitos ini, dan teks-teks yang memuatnya ditulis selama dan setelah Periode Babilonia Lama.[28] Periode Babilonia Lama terjadi setelah Periode Ur III, sebuah era yang dikenal sebagai era di mana raja-raja mendewakan diri mereka sendiri.[29] Chen berpendapat bahwa kemangkatan periode Ur III mengilhami unsur-unsur narasi air bah ini.[30] Catatan AlkitabKisah air bah ini dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen dalam Kitab Kejadian pasal 6-9. Latar belakangSetelah 10 generasi manusia muncul sejak penciptaan manusia pertama, Adam dan Hawa, maka "kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata."[31] Bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi.[32] Akibatnya berfirmanlah TUHAN:
Nuh diberi tugasDi antara umat manusia waktu itu, Alkitab mencatat bahwa "Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan,"[34] serta "Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah."[35] Berfirmanlah Allah kepada Nuh:
Perjanjian Allah dengan NuhDalam rangka kedatangan air bah dan pembuatan bahtera itu, Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh:
PelaksanaanLalu Nuh melakukan semuanya itu; tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya.[38] Nuh membuat bahtera itu dengan bantuan tiga orang anak laki-lakinya: Sem, Ham dan Yafet.[39] Bahtera itu selesai sebelum hari ke-10 bulan ke-2 ketika Nuh berusia 600 tahun.[40] Tujuh hari sebelum air bah datang (hari ke-10 bulan ke-2 ketika Nuh berusia 600 tahun), berfirmanlah TUHAN kepada Nuh:
Kronologi air bahTabel kronologi air bah pada zaman Nuh.[43]
Persembahan syukur setelah keluar dari bahteraLalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu. Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hati-Nya: "Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam."[45] Lalu Allah memberkati Nuh dan anak-anaknya serta berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi. Akan takut dan akan gentar kepadamu segala binatang di bumi dan segala burung di udara, segala yang bergerak di muka bumi dan segala ikan di laut; ke dalam tanganmulah semuanya itu diserahkan. Segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau. Hanya daging yang masih ada nyawanya, yakni darahnya, janganlah kamu makan. Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia. Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri. Dan kamu, beranakcuculah dan bertambah banyak, sehingga tak terbilang jumlahmu di atas bumi, ya, bertambah banyaklah di atasnya."[46] Perjanjian Allah dengan manusia dan hewan setelah air bahBerfirmanlah Allah kepada Nuh dan kepada anak-anaknya yang bersama-sama dengan dia:
Kisah air bah dalam budaya-budaya di duniaCerita-cerita air bah MesopotamiaKebanyakan sarjana Alkitab modern menerima tesis bahwa cerita air bah di dalam Alkitab berkaitan dengan sebuah siklus mitologi Asyur-Babilonia yang banyak mengandung kesamaan dengan cerita Alkitab. Mitos air bah Mesopotamia sangat populer—pengisahan kembali yang terakhir dari cierta ini berasal dari abad ke-3 SM. Sejumlah besar teks-teks asli dalam bahasa Sumeria, Akkadia dan Asyur, ditulis dalam huruf paku, telah ditemukan oleh para arkeolog, tetapi tugas pencarian kembali prasasti-prasasti lainnya tetap berlangsung, seperti halnya juga penerjemahan atas prasasti-prasasti yang telah ditemukan. Prasasti-prasasi tertua yang telah ditemukan ini, epos Atrahasis, dapat diduga waktu penulisannya melalui colophon (identifikasi penulisan) ke masa pemerintahan buyut Hammurabi, Ammi-Saduqa (1646–1626 SM). Prasasti ini ditulis dalam bahasa Akkadia (bahasa Babilonia kuno), dan menceritakan bagaimana dewa Enki memperingatkan sang pahlawan Atrahasis ("Sangat Bijaksana") dari Shuruppak untuk membongkar rumahnya (yang dibuat dari buluh-buluh) dan membangun sebuah kapal untuk menyelamatkan diri dari air bah yang dipakai oleh dewa Enlil, yang murka karena hingar-bingar di kota-kota, untuk memusnahkan manusia. Kapal ini mempunyai atap "seperti Apsu" (samudra dunia bawah yang berisikan air tawar yang tuannya adalah Enki), lantai atas dan bawah, dan harus ditutup dengan aspal (bitumen). Atrahasis naik ke kapal itu bersama dengan keluarganya dan binatang-binatang lalu mengunci pintunya. Badai dan air bah pun datang. Bahkan para dewata pun takut. "Mayat-mayat menyumbat sungai seperti capung." Setelah tujuh hari banjir berhenti dan Atrahasis memberikan kurban. Enlil murka, tetapi Enki, sahabat umat manusia, tidak peduli kepadanya - "Aku telah memastikan bahwa kehidupan diselamatkan" - dan pada akhirnya Enki dan Enlil sepakat dengan cara-cara lain untukmengendalikan populasi manusia. Cerita ini juga ada dalam versi Asyur yang belakangan.[49] Cerita Ziusudra dikisahkan dalam bahasa Sumeria dalam potongan-potongan Kejadian Eridu, yang dapat diperkirakan tanggal penulisannya dari tulisannya yaitu akhir abad ke-17 SM. Cerita ini mengisahkan bagaimana Enki memperingatkan Ziusudra (yang berarti "ia melihat kehidupan," dalam rujukan kepada hadiah keabadian yang diberikan kepadanya oleh para dewata), raja Shuruppak, tentang keputusan dewata untuk menghancurkan umat manusia dengan air bah (teks yang menggambarkan mengapa dewata telah memutuskan hal ini telah hilang). Enki memerintahkan Ziusudra untuk membangun sebuah kapal yang besar (teks yang menceritakan perintah ini juga hilang). Setelah air bah selama tujuh hari, Ziusudra memberikan kurban yang selayaknya dan menyembah kepada An (dewa langit) dan Enlil (penghulu dewata), dan memperoleh kehidupan yang kekal di Dilmun, Taman Eden di kalangan bangsa Sumeria.[50] Kisah tentang Utnapishtim (terjemahan dari "Ziusudra" dalam bahasa Akkadia), sebuah episode dalam Epos Gilgames di kalangan bangsa Babilonia, dikenal dari salinan-salinan milenium pertama dan barangkali berasal dari cerita Atrahasis.[51][52] Ellil, (setara dengan Enlil), penghulu para dewata, bermaksud menghancurkan seluruh umat manusia dengan air bah. Utnapishtim, raja Shurrupak, diperingatkan oleh dewa Ea (setara dengan Enki) untuk menghancurkan rumah yang dibangunnya dari buluh dan menggunakan bahan-bahannya untuk membangun sebuah bahtera serta memuatinya dengan emas, perak, dan benih dari segala makhluk hidup dan semua tukangnya.. Setelah badai yang berlangsung selama tujuh hari, dan kemudian 12 hari lagi hingga air surut, kapal itu mendarat di Gunung Nizir; setelah tujuh hari lagi Utnapishtim mengeluarkan seekor merpati, yang kemudian kembali, lalu seekor burung layang-layang, yang juga kembali, dan akhirnya seekor gagak, yang tidak kembali. Utnapishtim kemudian memberikan persembahan (yang terdiri dari masing-masing tujuh ekor binatang) kepada para dewata, dan dewata mencium bau harum daging bakar dan berkerumun "seperti lalat." Ellil marah karena ada manusia yang selamat, tetapi Ea memakinya, sambil berkata, "Bagaimana mungkin engkau mengirim air bah tanpa berpikir panjang? Terhadap orang-orang berdosa, biarkanlah dosa mereka tetap ada, tentang mereka yang jahat biarkanlah kejahatannya tetap bertahan. Hnetikanlah, jangan biarkan hal itu terjadi, kasihanilah, [Agar manusia tidak binasa]." Utnapishtim dan istrinya kemudian memperoleh karunia keabadian dan dikirim untuk tinggal "jauh di mulut sungai."[53] Pada abad ke-3 SM Berossus, seorang imam agung dari kuil Marduk di Babilonia, menulis sejarah Mesopotamia dalam bahasa Yunani untuk Antiokhos I Soter (323–261 SM). Tulisan Berossus Babyloniaka telah lenyap, tetapi seorang sejarahwan Kristen abad ke-3 dan ke-4, Eusebius mengisahkannya kembali dari legenda tentang Xisuthrus, versi Yunani dari Ziusudra, dan pada hakikatnya adalah cerita yang sama.[54] Cerita-cerita air bah lainnyaCerita-cerita tentang air bah tersebar luas dalam mitologi dunia, dengan contoh-contoh praktis dari setiap masyarakat. Padanan Nuh dalam mitologi Yunani adalah Deucalion, sedangkan dalam teks-teks India sebuah banjir yang mengerikan dikisahkan telah meninggalkan hanya satu orang yang selamat, yaitu seorang suci yang bernama Manu yang diselamatkan oleh Wisnu dalam bentuk seekor ikan, dan dalam Zoroastrian tokoh Yima menyelamatkan sisa-sisa umat manusia dari kehancuran oleh es. Cerita-cerita air bah telah ditemukan pula dalam berbagai mitologi dari banyak bangsa pra-tulisan dari wilayah-wilayah yang jauh dari Mesopotamia dan benua Eurasia; salah satu contohnya adalah legenda orang-orang Indian Chippewa.[55] Para etnolog dan mitologis mengatakan bahwa legenda-legenda seperti legenda orang Chippewa harus diperlakukan dengan sangat hati-hati karena adanya kemungkinan kontaminasi dari hubungan mereka dengan agama Kristen (dan keinginan untuk menyesuaikan bahan tradisional agar cocok dengan agama yang baru mereka peluk), serta sebagai kebutuhan yang lazim untuk menjelaskan bencana alam yang tidak dapat dikendalikan oleh masyarakat-masyarakat purba. Mereka yang menafsirkan Alkitab secara harafiah menunjukkan bahwa cerita-cerita ini adalah bukti bahwa air bah di dalam Alkitab itu benar-benar terjadi dalam sejarah. Perbandingan antara kisah-kisah air bahEpos GilgamesTablet 11 dari Epos Gilgames, yang dibuat di Mesopotamia pada abad ke-14 sampai ke-11 SM, memuat suatu kisah air bah yang mirip dengan riwayat air bah Nuh.[56] Professor Gary Rendsburg mengamati persamaan dan perbedaannya:[57]
Lihat pula
Referensi
Pustaka tambahan
Pranala luar
|