Ahmad Syafi'i Ma'arif
Buya Prof. Drs. K.H. Ahmad Syafii Maarif, M.A., Ph.D., (bahasa Arab: احمد شافعي معارف; 31 Mei 1935 – 27 Mei 2022)[2] atau akrab disapa Buya Syafi'i adalah seorang ulama dan cendekiawan Indonesia. Ia pernah menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute.[3][4] Ia wafat pada Jumat, 27 Mei 2022. KehidupanKehidupan awalAhmad Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935.[5] Ia lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah.[a] Ia bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu.[6] Ayahnya adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya.[7] Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.[7] Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus.[5] Sepulang sekolah, Pi'i, panggilan akrabnya semasa kecil,[8] belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.[7] Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.[9] Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.[5] Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.[6] Merantau ke JawaPada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa. Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra'i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief.[9] Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh.[9] Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama. Pada saat bersamaan, ia bersama Azra'i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar.[9] Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (Kini Dibawahi oleh Lembaga Pers Mu'allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta. Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya.[8] Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru.[8] Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya,[10] kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.[10] Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964.[11] Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat sarjana penuh (doktorandus) pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.[12] Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958.[10] Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.[10][11] Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.[12] KarierSelanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Disana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya. Penulis Damien Dematra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi'i Maarif, yang berjudul 'Si Anak Kampung'.[13] Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).[14] AktivitasSetelah meninggalkan posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah keislaman, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Di harian Republika, ia kerap menulis opininya di kolom "Resonansi". Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul: Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press (1984). Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES (1985) dan Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (1993). Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.[15] Pada tahun 2017, Buya Syafii diangkat sebagai Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Melalui BPIP inilah Buya selalu menyumbangkan pemikiran-pemikirannya baik melalui tulisan maupun diskusinya dengan pihak pemerintah. WafatMantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif meninggal dunia di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Yogyakarta, pukul 10.15 WIB, Jumat (27/5/2022). Sebelumnya, Buya masuk ke rumah sakit itu sejak Sabtu (14/5) karena mengeluh sesak napas akibat jantung. Bahkan pada awal Maret lalu, Buya Syafii juga sempat menjalani perawatan medis di RS PKU Gamping. Buya hampir dua pekan menjalani perawatan sampai kondisinya membaik dan diperkenankan untuk pulang.[butuh rujukan] Jenazah almarhum disemayamkan di Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, sebelum dimakamkan.{{[1]}} Buya Syafii dimakamkan di Taman Makam Husnul Khotimah Muhammadiyah di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.[16] KontroversiIslam liberalCendekiawan muslim Adian Husaini mengkategorikan Ahmad Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah pendukung gagasan Islam Liberal (neomodernisme) yang diusung oleh Fazlur Rahman.[17] Adian mencatat bahwa Syafii memuji setinggi-tingginya Fazlur Rahman yang merupakan dosennya.[18] Ia juga mencatat penyataan Syafii pada 2001 yang menolak kembalinya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi.[17][19] Zuly Qadir mencatat Syafii dan Hasyim Muzadi menolak pemberlakuan syariat Islam secara formal di Indonesia.[20] Dalam buku berjudul 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekulerisasi, Pluralisme, dan Liberalisasi Agama karya Budi Handrianto, Syafii dikelompokkan sebagai kelompok senior.[21] Budi Munawar Rachman mengelompokkan Syafii termasuk ke dalam golongan neo-modernis Islam bersama Nurcholish Madjid dan tokoh-tokoh lainya.[22] Muhamad Afif Bahaf menuliskan bahwa gerakan Islam Liberal tumbuh subur di Muhammadiyah semasa dipimpin Syafii. Hal ini ditandai dengan berdirinya tiga komunitas intelektual yaitu Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institute, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).[23] Pembelaan kasus AhokPada November 2016, ia membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama. Pandangannya ini melawan pendapat mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan bahwa Ahok melakukan penistaan agama Islam dan para ulama.[24] Dalam pembelaannya, Buya Syafii sempat menulis di Koran Tempo dan menyatakan: "jika dalam proses pengadilan nanti terbukti terdapat unsur pidana dalam tindakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 27 September 2016 itu, saya usulkan agar dia dihukum selama 400 tahun atas tuduhan menghina Al-Quran, kitab suci umat Islam, sehingga pihak-pihak yang menuduh terpuaskan tanpa batas", ia menambahkan: "biarlah generasi yang akan datang yang menilai berapa bobot kebenaran tuduhan itu, sebuah generasi yang diharapkan lebih stabil dan lebih arif dalam membaca politik Indonesia yang sarat dengan dendam kesumat ini".[25] Pendidikan
Karya tulis
KeteranganRujukan
Mengenang Prof Dr. Ahmad Syafii Maarif, https://karyakarsa.com/AjiSetiawan1/me-185487 Pranala luar
|