Abu al-Mafakhir dari Banten
Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau juga dikenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Sultan Agung Banten adalah raja ke-4 Kesultanan Banten yang bertakhta dari tahun 1596 hingga 1651. Dia adalah putra dari Sultan Maulana Muhammad[1] dan menjadi raja pertama di wilayah Nusantara yang menggunakan gelar "Sultan" secara resmi.[2][3] Setelah berkuasa selama 27 tahun, Sultan Abul Mafakhir wafat di tanggal 10 Maret 1651 dan dimakamkan di Pemakaman Kenari Banten.[4][5] Kehidupan awalSultan Maulana Muhammad wafat pada awal tahun 1596 di Palembang ketika sedang melakukan ekspedisi militer terhadap Kesultanan Palembang.[6] Kemudian pada tanggal 23 Juni 1596, dikarenakan putranya Abul Mafakhir masih berusia lima bulan, maka untuk menjalankan roda pemerintahan ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara sebagai walinya. Pada tahun 1602, Mangkubumi Jayanegara meninggal, jabatannya digantikan oleh adiknya. Namun 17 November 1602 ia dipecat karena berkelakuan tidak baik. Khawatir akan terjadi perpecahan dan iri hati, maka pemerintahan diputuskan untuk tidak dipegang oleh Mangkubumi, tetapi langsung oleh Ibunda Sultan, Nyimas Ratu Ayu Wanagiri yang menikah lagi dengan Pangeran Camara.[7] Nyimas Ratu lalu mendesak agar suami barunya itu diperkenankan menjadi wali bagi Sultan Abul Mafakhir.[7] Keberadaan Pangeran Camara sebagai wali sultan tidak dihiraukan oleh pejabat wilayah kesultanan Banten sehingga dikatakan bahwa kekuasaan wali sultan yang sekaligus adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya terbatas pada keraton dan wilayah sekitarnya saja. Pada tahun 1604 terdapat insiden ditahannya sebuah kapal jung dari Johor oleh Pangeran Arya Mandalika (anak dari Maulana Yusuf), seruan dari Patih untuk melepaskan jung tersebut tidak dihiraukan, bahkan Pangeran Arya Mandalika bersekutu dengan para pangeran lain dan orang-orang yang menentang kekuasaan Patih, dimana mereka kemudian membuat benteng pertahanan di luar kota Banten, Masalah ini kemudian dapat diselesaikan dengan penyerangan ke benteng pertahanan Pangeran Arya Mandalika oleh Pangeran Jayakarta yang dibantu oleh Inggris pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke Banten bersama pasukannya untuk menghadiri acara khitanan Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir pada saat itu Patih meminta bantuan militernya, lalu akhirnya dibuatlah perjanjian damai antara kubu istana dengan kubu Pangeran Arya Mandalika, dimana dalam perjanjian disebutkan bahwa mereka diharuskan meninggalkan wilayah Kesultanan Banten selambatnya 6 hari dan hanya boleh diikuti oleh 30 orang anggota keluarga.[7] Konflik PailirPada 8 Maret 1608 sampai 26 Maret 1609 terjadi konflik pailir (bahasa Indonesia: bertempat di hilir) antara kubu Pangeran Arya Ranamanggala dengan kubu Pangeran Camara dikarenakan pengaruh dan kebijakan Pangeran Camara yang dianggap lebih menguntungkan para pedagang asing.[7] Melalui usaha Pangeran Jayakarta akhirnya perang dapat dihentikan dan perjanjian damai dapat disepakati bersama. Banten kembali aman, lalu diangkatlah Pangeran Arya Ranamanggala sebagai mangkubumi baru sekaligus menjadi wali Sultan Muda. Untuk menertibkan kemananan negara, Ranamanggala menghukum para pangeran atau penggawa yang melakukan penyelewengan serta mengganti peraturan yang berlaku sebelumnya antara Pangeran Camara dengan para pedagang Eropa.[8] Pada Januari 1624, Pangeran Arya Ranamanggala mundur dari jabatannya karena sakit. Saat itu Abul Mafakhir sudah cukup dewasa, sehingga ia pun dinobatkan sebagai raja dan kekuasaan atas Kesultanan Banten sepenuhnya dipegang olehnya. Dua tahun kemudian tepatnya 13 Mei 1626 Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia, dimana sebelum wafatnya ia berpesan kepada Abul Mafakhir bahwa Kesultanan Banten tidak boleh bersahabat dengan Belanda.[7][9] SilsilahSultan Abu al-Mafakir mempunyai silsilah sebagai berikut : Hubungan luar negeriKonflik dengan VOCDi tahun 1598, Banten dikunjungi oleh kapal-kapal rombongan ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Jacob Corneliszoon van Neck.[10] Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut baik oleh istana Kesultanan Banten, tidak seperti pendahulunya yakni Cornelis de Houtman yang tercatat bermasalah dan merendahkan keluarga sultan di Banten.[11] Para pedagang Belanda lalu mulai berdatangan ke Banten untuk berdagang. Setelah VOC berdiri di tahun 1602, purnawirawan AL Belanda Pieter Both lalu ditunjuk sebagai gubernur jenderal pertama untuk memudahkan urusan perdagangan Belanda di wilayah Nusantara.[12] Dikarenakan Pangeran Arya Ranamanggala memberlakukan peraturan baru yang dianggap memberatkan VOC, maka Pieter Booth mulai melirik daerah sekitar Jayakarta untuk dijadikan basis dagang VOC, dimana saat itu Jayakarta dikelola oleh Pangeran Wijayakrama, cucu dari Maulana Hasanuddin. pada masa Gubernur Jenderal Laurens Reael tepatnya di tahun 1617 dibangunlah sebuah rumah perkantoran bernama Mauritius Huis yang berada di sisi Sungai Ciliwung, dimana pembangunan ini merupakan pelanggaran dari kesepakatan awal antara kedua belah pihak.[13] Pada tahun 1619, gubernur jenderal baru Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta dari kendali Pangeran Wijayakrama, dimana sang pangeran lantas berjuang untuk mendapatkan kembali Jayakarta namun ia terlebih dahulu meninggal di daerah yang sekarang disebut Jatinegara.[14] Keinginan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan lada di Banten merupakan sumber konflik antara Banten dan VOC, karena sultan Abulmufakhir menolak mentah-mentah kemauan VOC tersebut yang hendak memaksakan monopoli perdagangan. Dengan kokohnya kedudukan VOC di Batavia sejak 1619 setelah berganti nama dari Jayakarta, konflik antara kedua belah pihak kian memuncak.[15] VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan niaga Banten dengan melarang dan menyerang jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten.[16] Blokade ini mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanara, Anyer, dan Lampung. Bahkan Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade VOC.[17] Situasi ini mendorong terjadinya perang antara kedua belah pihak pada bulan November 1633. Perang tersebut menurut versi VOC dimulai karena orang Banten banyak yang melalukan pengerusakan dan perampokan kepada aset dan barang milik VOC, sehingga memicu perang besar antara Kesultanan Banten dengan VOC. Pihak Kesultanan Banten berhasil mengalahkan pasukan VOC dikarenakan pada masa itu VOC sedang melemah akibat berperang dengan Mataram.[18] Di tanggal 5 Januari 1634 VOC mengirimkan lagi pasukan laut yang lebih kuat untuk mengepung Keraton Surosowan, lalu diadakan blokade menyeluruh atas wilayah perairan Teluk Banten. Pengepungan VOC di perairan Tanara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin Tubagus Singaraja, bangsawan pejabat Banten di Tanara, sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan Banten baru dapat digagalkan setelah digunakannya taktik yang baru melalui pembakaran kapal-kapal pemblokade VOC yang dipimpin kapal induk yang disebut Barungut.[18] Kapal Barungut yang sebelumnya diperbaiki di Batavia pada malam harinya dibakar atas usul Wangsadipa,[2] peristiwa pembakaran blokade ini dikenal dengan nama Pabaranang,[19] dimana pembakaran ini terbagi dalam dua sesi, sesi pertama terjadi pada malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari 1634 dan sesi kedua terjadi pada malam hari di tanggal 10 dan 11 Januari 1634.[7][20] Banten dan VOC lalu sepakat menandatangani perjanjian perdamaian di masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Antonio van Diemen di tahun 1639, meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka tetap tegang.[9][20] Konflik dengan MataramDi timur, Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung sejak 1613 menerapkan politik ekspansi yang bertujuan untuk menyatukan seluruh Jawa di bawah kepemimpinan Mataram.[21][22] Sultan Agung menganggap Banten harus menjadi bagian dari Mataram karena Banten dahulunya adalah bagian dari Kesultanan Demak yang mendahului Mataram.[23] Di tahun 1619, Kesultanan Cirebon menyatakan tunduk sebagai vasal Mataram.[24] Lalu di tahun 1620, Kerajaan Sumedang Larang di Parahyangan yang memiliki hubungan buruk dengan Banten menyatakan bergabung dengan Mataram.[25] Dengan bergabungnya Sumedang Larang dengan Mataram, wilayah Banten menjadi berbatasan langsung dengan wilayah Mataram. Setelah Mataram berhasil menaklukan Surabaya di tahun 1625, Sultan Agung mempersiapkan tentaranya untuk berekspansi ke arah barat. Di tahun 1626, dua tahun setelah Abul Mafakhir naik takhta sebagai sultan, Mataram mencoba melakukan penyerangan terhadap Banten dengan bantuan Palembang, namun penyerangan ini tidak berhasil menaklukan Banten.[7] Di tahun 1627, anak dari bupati wedana Parahyangan Rangga Gempol I yang bernama Kartajiwa menghadap Abulmafakhir dikarenakan kekecewaannya karena jabatan bupati wedana ayahnya tidak turun kepada dirinya namun pamannya yaitu Rangga Gede. Kartajiwa mengusulkan untuk memimpin tentara Banten menyerbu daerah Parahyangan, dimana apabila Parahyangan berhasil dikuasai olehnya, maka daerah tersebut akan menggabungkan diri sebagai bagian dari Banten.[26] Abulmafakhir menyanggupi usulan tersebut, dimana ia memberikan Kartajiwa pasukan untuk dipimpin olehnya. Dalam penyerbuan ini daerah-daerah perbatasan di Parahyangan sebelah barat berhasil diduduki oleh Banten, meskipun hanya bersifat sementara karena pasukan Mataram di bawah pimpinan Dipati Ukur berhasil mengusir pasukan Banten keluar dari daerah Parahyangan.[27] Sultan Agung memiliki niatan untuk menaklukan Banten secara menyeluruh, namun sebelumnya ia menyerbu Batavia terlebih dahulu agar bisa mengusir VOC kemudian menjadikan Batavia sebagai pangkalan militer sebelum menyerbu Banten secara langsung. Dua serbuan Mataram yang dilakukan tahun 1628 & 1629 ini gagal menaklukan Batavia.[28] Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan anaknya Amangkurat I, ia meminta bantuan penguasa Cirebon Panembahan Ratu II (Sultan Abdul Karim) untuk membujuk Banten agar mau bersahabat dengan Mataram.[29] Utusan Banten di Mataram yang bernama Astranaya melaporkan bahwa Mataram kemungkinan akan kembali berusaha menyerang Banten dikarenakan pergerakannya di Mataram selalu dibatasi dan diawasi.[19] Oleh karenanya Abul Mafakhir kemudian memperkuat angkatan lautnya dengan membangun kapal bergaya Tiongkok bernama Wangkang di tahun 1571 Saka atau 1649 M.[30] Di tahun 1650, Cirebon mengirim kembali utusan atas perintah Mataram bernama Jiwaprana dan Nalawangsa untuk kembali membujuk Banten agar mau mengakui eksistensi dan superioritas Mataram, menurut Abul Mafakhir Jiwaprana kata-katanya manis dalam membujuk sultan untuk mengakui eksistensi Mataram di atas Banten namun sultan Abul Mafakhir tetap tidak bersedia.[19] Kegagalan Jiwaprana dan Nalawangsa dalam membujuk Abul Mafakhir untuk mengakui eksistensi Mataram membuat Penambahan Ratu II mengirimkan langsung kerabatnya yaitu Pangeran Martasari, Pangeran Suradimarta beserta para pengiring dan pejabat Cirebon bernama Wiratantaha.[19] Pangeran Martasari menyampaikan pesan agar Abul Mafakhir mau menemui Amangkurat I, serta eksistensi Mataram dan menghentikan serangan kepada Belanda, dimana permintaan ini ditolak Abul Mafakhir.[19][29]
Pada pertemuan itu, cucu Abul Mafakhir yaitu Pangeran Surya mengajak para utusan Cirebon agar mereka lebih baik bersekutu dengan Banten daripada dengan Mataram, dimana ia mengingatkan bahwa pengaruh Mataram sesungguhnya dapat mengancam kedaulatan Cirebon.[29] Pernyataan Banten untuk tidak memenuhi permintaan Mataram ini kemudian disampaikan Pangeran Martasari kepada Panembahan Ratu II, yang sangat marah dengan kegagalan misi para utusan tersebut.[19] Perang PacirebonanSetelah kegagalan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta membujuk Banten, terjadi Peristiwa Girilaya, yaitu peristiwa penahanan sultan Cirebon Panembahan Ratu II oleh Mataram di tahun 1650.[31] Amangkurat I mengundang Panembahan Ratu II beserta kedua putranya untuk mengunjungi keraton Mataram di Plered sebagai penghormatan untuk penguasa baru Cirebon tersebut. Selepas acara penghormatan selesai, Panembahan Ratu II serta kedua putranya malah dilarang untuk kembali ke Cirebon[32] dan tinggal di lingkungan Mataram sebagai tahanan hingga kematiannya.[31] Penahanan ini memicu krisis di Cirebon dikarenakan kosongnya kepemimpinan. Amangkurat I lalu memerintahkan Pangeran Martasari untuk menyerang Banten, dimana perintah dari Mataram ini disanggupi sang pangeran untuk menjaga keselamatan sultan Cirebon yang berada dalam penawanan.[30] Ia memimpin 60 kapal perang yang dikepalai Laksamana Ngabei Panjangjiwa untuk menyerang Banten, dimana konflik antara Banten dan Cirebon ini kelak disebut Perang Pacirebonan atau Perang Pagarage yang terjadi di penghujung tahun 1650.[19][33] Kabar rencana serangan Cirebon terdengar Banten, dimana Banten mempersiapkan pertahanan laut sejumlah 50 kapal.[33] Banten menyiapkan pasukan yang bersembunyi di Tanjung Gede dan muara sungai Ci Pasilian (sekarang masuk daerah Kronjo, Tangerang). Serangan Cirebon pertama yang ditujukan terhadap Tanara mendapat sergapan pasukan Banten, dimana Ngabei Panjangjiwa berhasil ditangkap dan diampuni Abul Mafakhir. Sergapan dari Banten tersebut tidak diketahui oleh pasukan Cirebon yang menyerang selanjutnya, dimana Banten berhasil menguasai 50 kapal Cirebon dan Pangeran Martasari kemudian segera menarik mundur sisa pasukannya ke Cirebon.[33] Banten dan Mataram lalu terus bermusuhan hingga terjadi Pemberontakan Trunajaya di tahun 1674.[34] Misi DiplomatikPada masa pemerintahannya, Abul Mafakhir telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, di antaranya kepada Raja Inggris, James I tahun 1605[35] dan tahun 1629 kepada Charles I, terkait dengan kerugian yang diakibatkan oleh blokade laut dari Belanda.[2][36] Selain itu, dia juga mengutus beberapa pembesar istana ke Makkah pada tahun 1633. Utusan ini dipimpin oleh Labe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran Pekik sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji.[9] Pemberian Gelar SultanDi tahun 1638 Syarif Makkah Zaid bin Muhsin dengan kewenangan dari penguasa Utsmaniyah Sultan Mehmed IV mengesahkan gelar sultan kepada Abul Mafakhir serta sang putra mahkota, Abu al-Ma'ali Ahmad sebagai sultan muda. Pengesahan ini menjadikan Abul Mafakhir sebagai raja Islam di Nusantara yang pertama kali menggunakan gelar sultan secara resmi.[37][38] WafatDikarenakan anaknya Abu al-Ma'ali Ahmad wafat terlebih dahulu di tahun 1650 dikarenakan suatu penyakit, maka cucunya Pangeran Surya menjadi putra mahkota atau sultan muda baru.[9] Abul Mafakhir wafat di tanggal 10 Maret 1651, dimana kepemimpinan Banten kemudian dilanjutkan cucunya yang naik takhta dengan gelar Sultan Abdul Fattah Al-Mafaqih. Kelak Sultan Abdul Fattah Al-Mafaqih lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa sesuai dengan keraton yang ditinggalinya.[39] Rujukan
Pranala luar
|