Abu Sulayman Sijistani

Abu Sulayman Muhammad Sijistani, (bahasa Persia: ابوسلیمان سجستانی) atau disebut juga al-Mantiqi atau al Maqdisi (Ahli Logika) (c. 932 – c. 1000 CE), dinamai berdasarkan asal-usulnya di Sijistan atau provinsi Sistan pada masa sekarang di Iran, menjadi pemikir Persia yang terdepan[1] dan filsuf Islam humanisme di Baghdad pada masanya.

Ia sangat religius, dan menganggap agama dan filsafat sebagai sesuatu yang valid dan benar; tetapi terpisah, peduli dengan masalah-masalah yang berbeda, dan memikirkannya dengan cara yang berbeda. Dia dengan demikian menolak klaim para teolog yang mempekerjakan Ilm al-Kalam yang telah membangun sebuah teologi "yang dibuktikan" oleh rasionalitas dan Ikhwan Suci untuk menawarkan sintesis filsafat dan agama.

Karya

Karyanya yang paling terkenal adalah "Siwān al-Ḥikma", "Vessel of Wisdom", sebuah sejarah filsafat dari awal mula hingga pada zamannya.

Buku kumpulan risalah (Rasa'il) yang turut disusun al Maqdisi berpengaruh besar terhadap perkembangan bidang filsafat dan etika Arab Islam. Kitab itu disusun seperti ensiklopedi. Buku itu dikenal juga dengan nama Rasail Ikhwan al-Shafa. Tak hanya membahas filsafat, Rasa’il juga membahas berbagai disiplin ilmu lain, misalnya matematika, astronomi, geografi, hingga musik.[2]

Al Maqdisi menjelaskan, pengetahuan inti dari Ikhwan, bertujuan menyelamatkan jiwa dari kejahatan badan, kemudian kembali ke rumah yang sebenarnya dengan sebuah upaya pendakian spiritual. Ia menyimpulkan ada tiga tingkatan pada Ikhwan. Pertama, tingkatan guru-guru yang mengajar seni atau ilmu di dalam kota pada usia 15 tahun. Kedua, tingkatan pemimpin (ru'asa) yang memelihara dan mengatur persaudaraan dengan kasih sayang pada usia 30 tahun. Ketiga, tingkatan raja-raja yang memiliki kekuasaan, mempertahankan pemerintahan melalui perantara kebaikan pada usia 40 tahun. Menurut al Maqdisi, tingkatan pertama adalah tingkat kekuatan rasional. Kedua, tingkat kekuasaan dan kekuatan. Dan ketiga, tingkatan kekuatan hukum.

Al Maqdisi melihat, hukum agama adalah obat untuk penyakit. Sedangkan filsafat merupakat obat bagi kesehatan. Karena itu, filsafat harus dijaga dan dipelihara. Menurut dia, pemeliharaan kesehatan melalui filsafat memungkinkan terciptanya kebajikan.[3]

Referensi

  1. ^ Frye, ed. by R.N. (1975). The Cambridge history of Iran (edisi ke-Repr.). London: Cambridge U.P. ISBN 978-0-521-20093-6. During the second half of the 4th/ioth century the philosophical scene in Baghdad was dominated by a Persian originating from Sistan, Abu Sulaiman al-Sijistanl, entitled Mantiqi. 
  2. ^ Philip K Hitti, History of the Arabs
  3. ^ "Rasail Ikhwan al-Shafa. Ensiklopedia Abad Pertengahan?". Republika Online. 2019-10-24. Diakses tanggal 2019-10-24. 

Bacaan lanjut

Templat:Filsafat Islam

Kembali kehalaman sebelumnya