Abu Lu'lu'ah
Abu Lu'lu'ah (bahasa Arab: أبو لؤلؤة, translit. Abū-Lūʾlūʾah), dijuluki sebagai Bābā Syujāʿuddīn (bahasa Arab: بابا شجاع الدين) adalah seorang prajurit Kekaisaran Persia Sasaniyah yang berhasil ditangkap dalam Pertempuran al-Qadisiyyah pada tahun 636 M ketika Sasaniyah dikalahkan oleh tentara Muslim pimpinan khalifah Rasyidin kedua Umar bin Khattab di tepi barat Sungai Efrat. Setelah ia dibawa ke Madinah, ia berhasil membunuh sang Khalifah pada tahun ke-23 Hijriah atau 644 Masehi. Setelah ditangkap dalam pertempuran selama penaklukan Muslim di Persia, Abu Lu'lu'ah dibawa ke Madinah, ibu kota Kekhalifahan Rasyidin saat itu yang biasanya terlarang bagi tawanan non-Arab. Namun, sebagai pengrajin yang sangat terampil, Abu Lu'lu'ah diizinkan masuk ke kota untuk bekerja untuk khalifah. Motifnya membunuh khalifah tidak sepenuhnya jelas, tetapi sumber abad pertengahan umumnya mengaitkannya dengan sengketa pajak. Pada satu hari, Abu Lu'lu'ah dikatakan telah meminta khalifah untuk mencabut pajak yang dikenakan kepadanya oleh majikannya, Mughirah bin Syu'bah. Ketika Umar menolak untuk mencabut pajak tersebut, Abu Lu'lu'ah menikamnya pada saat ia memimpin salat dengan belati bermata dua dan membuatnya terluka parah. Abu Lu'lu'ah kemudian dieksekusi atau bunuh diri. Namun menurut legenda selanjutnya yang pertama kali dicatat pada era Safawi, sepupu dan menantu Muhammad, Ali bin Abi Thalib menyelamatkan Abu Lu'lu'ah dari para pengejarnya. Kemudian secara ajaib membawanya ke kota Kashan di Iran, tempat Abu Lu'lu'ah menikah dan menjalani sisa hidupnya. Di beberapa titik, sebuah tempat suci didirikan untuknya di Kashan, yang sejak abad ke-16 dan seterusnya menjadi tempat diselenggarakannya festival tahunan anti-Sunni yang merayakan pembunuhan Umar oleh Abu Lu'lu'ah (yang dianggap Syiah sebagai kalifah awal yang paling menindas), festival ini disebut sebagai Omar Koshan (terj. har. 'pembunuhan Umar'). NamaNama asli Abu Lu'lu'ah kemungkinan besar adalah Pērōz, sebuah nama Persia Tengah yang berarti "Kemenangan" dan ditulis dalam sumber-sumber Arab sebagai Fīrūz atau Fayrūz.[1] Namun, dalam sumber-sumber awal dia lebih sering disebut dengan nama kunya (teknonim) Abū Luʾluʾah, artinya "Bapak Mutiara".[2] Sejak abad ke-16 atau ke-17 dan seterusnya, ia juga menerima laqab (nama kehormatan) Bābā Syujāʿuddīn (terj. har. 'Bapak Keberanian Iman') yang dikaitkan dengan perayaan tahunan yang diadakan untuk menghormatinya di Iran.[3] BiografiKehidupan Abu Lu'lu'ah sangat jarang diketahui.[4] Menurut beberapa catatan sejarah, Abu Lu'lu'ah adalah seorang penganut Zoroaster dari Nahawand, sementara laporan lain menggambarkan dia sebagai seorang Kristen.[5] Abu Lu'lu'ah digambarkan sebagai seorang tukang kayu dan pandai besi yang sangat terampil,[6] Abu Lu'lu'ah ditawan oleh Mughirah bin Syu'bah pada Pertempuran Nahawand (642) kemudian dibawa ke Hijaz. Wilferd Madelung menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa Abu Lu'lu'ah masuk Islam di Hijaz.[7] Sumber-sumber sejarah lainnya melaporkan bahwa ia mungkin ditawan oleh Mughirah di Pertempuran al-Qadisiyyah (636), atau Mughirah membelinya dari Hurmuzan, seorang mantan perwira militer Sasaniyah yang telah bekerja untuk Umar sebagai penasihat setelah ditangkap oleh Muslim.[8] Meskipun Madinah pada umumnya terlarang bagi tawanan non-Arab di bawah pemerintahan Umar, Abu Lu'lu'ah diizinkan memasuki ibu kota Kekhalifahan, ia dikirim ke sana oleh Mughirah untuk melayani khalifah.[9] Pembunuhan UmarKetika Mughirah memaksa Abu Lu'lu'ah untuk membayar pajak kharaj dua dirham sebulan,[11] Abu Lu'lu'ah merasa tidak terima dan mendatangi Umar dan meminta agar Umar mencabut pajak tersebut. Namun Umar menolaknya, sehingga memicu kemarahan Abu Lu'lu'ah.[12] Ini adalah alasan yang diberikan oleh sebagian besar catatan sejarah sebagai penyebab pembunuhan Umar oleh Abu Lu'lu'ah,[13] tetapi motif Abu Lu'lu'ah yang sebenarnya masih tidak jelas.[14] Menurut Wilferd Madelung, kebijakan Umar yang keras terhadap non-Arab mungkin telah memainkan peran penting dalam menciptakan motif yang mengarah pada pembunuhan tersebut.[15] Pada suatu subuh yang gelap, ketika Umar sedang memimpin salat subuh berjamaah di Masjid Nabawi, Madinah, Abu Lu'lu'ah menikamnya dengan belati bermata dua.[16] Ada beberapa versi yang berbeda tentang kronologi kejadiannya: menurut salah satu versi, dia juga membunuh Kulaib bin Bukair al-Laitsi yang berada di belakang Umar,[17] sementara menurut versi lain dia menikam tiga belas orang yang mencoba menahannya.[18] Menurut beberapa catatan, khalifah meninggal pada hari yang sama, sementara catatan lain menyatakan bahwa dia meninggal tiga hari kemudian.[19] Bagaimanapun, Umar meninggal karena luka-lukanya pada hari Rabu 26 Dzulhijjah 23 Hijriyah (6 November 644 menurut penanggalan Masehi).[20] Beberapa sumber sejarah melaporkan bahwa Abu Lu'lu'ah ditawan dan dieksekusi karena membunuh Umar, sementara sumber lain mengeklaim bahwa dia bunuh diri.[21] Setelah kematian Abu Lu'lu'ah, putrinya dibunuh oleh Ubaidullah bin Umar, salah satu putra Umar. Ubaidullah bertindak setelah mendengar klaim salah satu orang (antara Abdurrahman bin Auf atau Abdurrahman bin Abi Bakar) yang mengaku melihat Abu Lu'lu'ah bersekongkol dengan dua orang Persia lainnya yaitu Hurmuzan (penasihat militer Persia Umar), dan Jufainah, seorang pria Kristen dari Irak yang dibawa ke Madinah untuk menjadi guru sebuah keluarga di Madinah.[22] Pada akhirnya, Hurmuzan dan Jufainah juga dibunuh oleh Ubaidullah.[23] Setelah Ubaidullah ditahan karena pembunuhan ini, dia mengancam akan membunuh semua tawanan asing yang tinggal di Madinah, serta beberapa orang lainnya. Meskipun sejarawan Syiah cenderung berpendapat bahwa Ubaidullah mungkin telah dihasut oleh saudara perempuannya Hafshah binti Umar untuk membalas kematian ayah mereka, pembunuhanya terhadap Hurmuzan dan Jufainah kemungkinan disebabkan oleh gangguan mental daripada konspirasi seperti yang dituduhkan oleh para sejarawan Syiah. Hal itu tentu dianggap oleh rekan-rekannya sebagai kejahatan daripada tindakan pembalasan dendam.[24] Wilferd Madelung mengemukakan bahwa pembunuhan Abu Lu'lu'ah terhadap Umar atas sesuatu yang sepele (seperti beban pajak) serta pembunuhan Ubaidullah terhadap non-Arab yang tampaknya acak menjadi saksi ketegangan kuat yang ada antara orang Arab dan non-Arab pada awal kekhalifahan Islam.[25] Menurut Tayeb El-Hibri, sejarawan abad ke-9 yang mencatat peristiwa-peristiwa ini (antara lain Ibnu Sa'ad, al-Baladzuri dan ath-Thabari) menganggapnya sebagai peletakan benih pertama dari kedekatan khusus antara Persia dan keluarga Hasyimiyah (termasuk Ali), yang nantinya akan tercermin dalam peran penting yang dimainkan oleh Khurasani dalam menggulingkan Bani Umayyah dan mendirikan pemerintahan Hasyimiyah Bani Abbasiyah selama revolusi Abbasiyah (750 M).[26] WarisanTempat perlindungan di KashanMenurut legenda Syiah, Abu Lu'lu'ah tidak meninggal di Madinah, tetapi secara ajaib diselamatkan dari para pengejarnya oleh Ali yang membawanya dengan doa khusus ke Kashan (sebuah kota di Iran Tengah), tempat dia menikah dan menjalani sisa hidupnya.[27] Kisah ini juga dicatat oleh polemik anti-Syiah, Mirza Makhdum Sharifi (1540/1541–1587).[28] Hubungan Abu Lu'lu'ah dengan Kashan tampaknya lebih jauh lagi, karena dalam Mujmal at-Tawārīkh wa-l-Qiṣaṣ (sebuah karya anonim yang ditulis ca 1126) disebutkan bahwa Abu Lu'lu'ah berasal dari Fin, sebuah desa dekat Kashan.[29] Di Kashan, sebuah kuil didedikasikan untuk Abu Lu'lu'ah yang konon dibangun di atas makamnya.[30] Catatan pertama makam Abu Lu'lu'ah di Kashan muncul dalam karya sejarawan Ghiyath al-Din Khwandamir (ca 1475–1535) dan Nur Allah al-Shushtari (1549–1610).[31] Pada tahun 2007, terdapat beberapa kontroversi atas tempat suci ini, di mana sejumlah institusi Sunni seperti Universitas al-Azhar dan Persatuan Ulama Muslim Internasional, menuntut pemerintah Iran menghancurkan tempat suci tersebut.[32] Kuil tersebut dilaporkan ditutup pada tahun 2007 oleh Ayatullah Mohammad-Ali Taskhiri, yang dikenal sebagai pendukung kuat rekonsiliasi Sunni-Syiah.[33] Perayaan tahunanSelama abad ke-16 konversi Iran ke Islam Syiah di bawah pemerintahan Safawi, sebuah festival mulai diadakan untuk menghormati Abu Lu'lu'ah dan pembunuhan Umar.[34] Dinamakan Omar Koshan (pembunuhan Umar), pada awalnya diadakan di sekitar tempat suci Abu Lu'lu'ah di Kashan, pada hari peringatan kematian Umar (26 Dzulhijjah).[34] Kemudian perayaan itu menyebar ke tempat lain di Iran, dan kadang-kadang diadakan pada tanggal 9 Rabiul Awal daripada pada tanggal 26 Dzulhijjah.[35] Festival tersebut merayakan Abu Lu'lu'ah, yang dijuluki "Bābā Syujāʿuddīn" (terj. har. 'Bapak Keberanian Iman'), sebagai pahlawan nasional yang telah membela agama dengan membunuh khalifah yang menindas.[36] Umar tidak hanya dipandang sebagai penganiaya non-Arab, ia juga dianggap mengancam dan melukai putri Muhammad dan istri Ali, Fatimah. Karena itu, Umar dianggap oleh kaum Syi'ah (yang menghormati Fatimah) sebagai simbol penindasan sekte mereka.[35] Festival ini diadakan untuk merayakan pembunuhan Umar. Selain itu, festival ini juga merupakan bagian dari tradisi yang lebih luas dari ritual mengutuk tiga khalifah Rasyidin pertama, para khalifah ini dihormati oleh Sunni tetapi dianggap oleh Syiah sebagai perampas posisi sah Ali sebagai khalifah.[37] Festival ini melibatkan pemukulan dan pembakaran patung Umar, disertai dengan kutukan dan pembacaan puisi yang menghina dan menjelekkan Umar.[38] Selama pemerintahan Qajar Iran (1789–1925), ritual pengutukan dan penghinaan terhadap tiga khalifah pertama secara bertahap ditinggalkan karena Qajar sedang berusaha untuk menjalin hubungan politik dengan Kesultanan Utsmaniyah yang menganut paham Sunni. Sejak awal abad ke-20, festival Omar Koshan tidak lagi dirayakan di kota-kota besar Iran dan hanya bertahan di pedesaan.[39] Evolusi ini lebih lanjut didorong oleh munculnya pan-Islamisme (sebuah ideologi yang menganjurkan persatuan semua Muslim, baik Syiah maupun Sunni) pada akhir abad ke-19.[40] Meskipun demikian, festival ini tetap dirayakan secara sembunyi-sembunyi di dalam ruangan dan sekarang diadakan dari tanggal 9 hingga 27 Rabiul Awal.[41] Omar Koshan adalah jenis festival berbentuk karnaval yang berisikan peran sosial dan norma komunal yang dibalik.[42] Secara umum, Omar Koshan berfungsi sebagai bagian dari upacara Ta'zieh yang diselenggarakan untuk memperingati kematian cucu nabi Islam Muhammad, Husain bin Ali di Pertempuran Karbala di 680.[43] Dengan tujuan untuk memusnahkan anti-Sunni, dan memperkuat rekonsiliasi antara Syiah dan Sunni, saat ini Umar yang dicemooh di festival terkadang dianggap sebagai Umar bin Sa'ad, pemimpin pasukan yang membunuh Husain di Karbala.[44] Referensi
Sumber
|