Aboean Goeroe-GoeroeWikimedia Commons memiliki media mengenai Aboean Goeroe-Goeroe. Aboean Goeroe-Goeroe (disingkat AGG) adalah perkumpulan para guru yang bertugas di Sumatera Barat, khususnya di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi). Perkumpulan ini didirikan di Fort de Kock pada tahun 1921.[1] Aboean Goeroe-Goeroe memiliki sebuah berkala atau majalah bulanan dengan nama yang sama yang terbit dari 1927 hingga 1931. Majalah ini digunakan sebagai sarana komunikasi dan bertukar informasi di antara para anggota perkumpulan khususnya dan masyarakat pada umumnya.[1] KepengurusanPada tahun pertama didirikan, kepengurusan AGG dipimpin oleh M. Thaib St. Pamoentja didampingi Dt. Bagindo sebagai wakil ketua, Kasip sebagai sekretaris, dan St. Saripado sebagai bendahara. M. Thaib adalah hoofdschoolopziener atau seorang penilik sekolah merangkap kepala sekolah. Anggota AGG terdiri dari penilik sekolah (schoolopziener), kepala sekolah, dan guru yang bertugas di Sumatera Barat, terutama Fort de Kock. Adapun di tataran komisaris, terdapat nama Manan, Dt. Radja Ibadat, St. Pamenan, H. St. Ibrahim, Dj. St. Machoedoem, B. Soetan Maroehoen, dan Z. St. Sinaro.[1] Nomenklatur dan susunan kepengurusan diperbarui seiring waktu. Rapat umum AGG yang berlangsung pada 19 Maret 1927 menetapkan St. Baheramsjah sebagai ketua didampingi B. St. Radja Emas sebagai wakil ketua. Posisi sekretaris dipegang oleh A. St. Negeri bersama H. St. Ibrahim. Posisi bendahara tetap dipegang oleh St. Saripado. Di tataran komisaris, terdapat nama Dt. Baginda, Manan, Soehoed, J. St. Radja Emas, dan Kasip.[2] Anggota Aboean Goeroe-Goeroe dipungut iuran setiap bulan sebagai simpanan yang diperuntukkan untuk "mentjahari keoentoengan jang halal". Iuran para pemilik sekolah dan guru sebesar 2,5 gulden, sedangkan yang berstatus sebagai guru bantu sebesar 1 gulden.[1] Setahun sejak didirikan, AGG telah memiliki 167 anggota dengan jumlah uang simpanan sebesar 3.728,50 gulden. Pada 1928, jangkauan anggotanya meluas sampai ke Jambi, Palembang, dan Borneo (Kalimantan) yang jumlahnya mencapai 422 orang, dengan jumlah uang simpanan sebesar 25.112 gulden.[1] PerkembanganSelama tujuh tahun pertama, AGG tidak punya kantor. Pada 1928, AGG berhasil menyewa sebuah rumah di Fort de Kock untuk kantornya.[1] MajalahMajalah Aboean Goeroe-Goeroe terbit perdana 19 April 1927[3] oleh penerbitan "Agam" di Fort de Kock. Edisinya berjumlah 20 halaman. Di halaman sampul majalah, dinyatakan tujuan AGG sebagai "orgaan oentoek pemadjoekan pendidikan, bahasa, dan bangsa". Redaksinya diisi oleh Dt. Radja Besar, H. St. Ibrahim, dan B. St. Kajo.[2] Pada edisi tahun terakhir, redaksi hanya dipegang oleh Mahjoedin didukung Abbas St. Pamoentjak N.S. (ditulis sebagai redaktur di negeri lain) dan Oesman Idris Sutan Pangeran (ditulis sebagai redaktur di Eropa). Majalah Aboean Goeroe-Goeroe terbit hingga 1931.[4] Saat ini, sebagian eksemplar asli Aboean Goeroe-Goeroe tersimpan di Universitas Leiden, Belanda, sedangkan salinannya tersedia di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau.[1] IsiEdisi pertama majalah Aboean Goeroe-Goeroe merekam perdebatan rapat umum AGG pada 19 Maret 1927 soal pengajaran bahasa Minangkabau di sekolah-sekolah Barat milik pemerintah dan partikelir. Rapat itu dimulai dengan sambutan inspektur pendidikan pemerintah kolonial, W. Wilmink yang mengatakan bahasa Minangkabau "patut diajarkan di sekolah-sekolah bumiputra". Pandangan W. Wilmink disambut antusias oleh para guru yang hadir. Thaib Soetan Pamoentjak, penasihat Aboean Goeroe-Goeroe, setuju bahwa bahasa Minangkabau mestinya diajarkan, bukan sekadar bahasa pengantar.[5][6] Namun, sebagian guru modernis menilai pengajaran bahasa Minangkabau hanya membuang waktu saja karena bahasa Minangkabau adalah bahasa pergaulan sehari-hari. Rapat melahirkan keputusan yang di antaranya menyatakan bahasa Minangkabau tetap dijadikan bahasa pengantar dan "buku-buku yang ada sekarang disalinkan ke bahasa Minangkabau".[5] Pada 26 Juni 1930, pemerintah kolonial menunjuk M.G. Emeis, direktur sekolah OSVIA Bukittinggi untuk membuat buku teks bahasa Minangkabau sebagai media pengajaran.[6][7] Buku teks yang ditulis dalam bahasa Minangkabau diperkenalkan pertama kali pada tahun ajaran 1931/1932. Namun, buku ini ditolak dan dikritisi oleh sebagian besar pendidik dan intelektual di Sumatera Barat. Mereka mempelesetkan seri buku berbahasa Minang yang berjudul Lakeh Pandai (berarti "Lekas Pandai") menjadi Lakeh Pandia (berarti "Lekas Bodoh"). Pendidik dan intelektual Abdoel Aziz Soetan Kenaikan, mewakili para penentang, membawa kasus ini ke sidang Minangkabau Raad. Ia mengatakan pemakaian bahasa Minangkabau sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Sumatera Barat adalah sebuah langkah mundur mengingat orang Minangkabau sudah lama memakai bahasa Melayu baik ragam tulis dan lisan di situasi formal.[8][9] Galeri
Referensi
Pranala luar |